RELASI ANTARA ILMU PENGETAHUAN DENGAN AGAMA
Oleh : Rifqi
A. Pendahuluan
Di dalam diri manusia
terdapat dua kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi, pertama adalah kebutuhan
jasmani dan kedua adalah kebutuhan naluri[1].
Karena tuntutan kebutuhan tersebut, maka menjadi hal yang niscaya manusia
selalu berfikir untuk memenuhinya seoptimal mungkin baik untuk melangsungkan
kehidupannya maupun dalam rangka meraih kebahagiaan-kebahagiaan yang di idamkan.
Dan disamping dua kebutuhan tersebut, manusia juga memiliki potensi akal agar
ia dapat merumuskan langkah dan usaha yang tepat dalam memenuhi kebutuhannya.
Salah satu kebutuhan
naluriah manusia adalah naluri beragama[2].
Naluri ini secara faktual menunjukkan kecenderungan manusia untuk mengkultuskan
sesuatu atau zat yang memiliki kekuatan yang dapat melindungi manusia. Perasaan
lemah dan terbatas ini adalah indikator keberadaan naluri beragama. oleh karena
eksistensi insting beragama ini, maka manusia sepanjang sejarahnya selalu
berupaya mencari-cari jawaban atas pertanyaan mendasar yang selalu mengganggu
pikirannya, mulai dari pertanyaan darimana ia berasal dan diciptakan, untuk apa
ia hidup di dunia hingga kemana ia berlabuh setelah kematiannya menjemput. Jawaban
atas pertanyaan itu yang akan membentuk pandangan hidup dan memandu kehidupan manusia.
Sejarah para filosof Yunani juga menceritakan demikian, misalnya seorang filsuf
yang bernama Thales (624-548 SM), ia mengemukakan pemikiran falsafahnya dengan
konsep “arche is water” yaitu bahwa semua makhluk hidup di dunia ini membutuhkan
air. Thales ini menganggap bahwa azas terbentuknya semua yang ada di alam
semesta ini berasal dari air. Kemudian pemikiran falsafah ini dikembangkan
hingga pada tataran yang bersifat ilahiyah oleh Anaximandros (610-540 SM)
dengan konsep ”to Apeiron” yaitu asas alam semesta berasal dari sesuatu
yang bersifat permulaan, kekal, tidak terbatas dan bersifat ilahiyah serta
tidak mengalami perubahan. Hasil telaah filosofis ini semakin tercerahkan oleh
Xenopanes (580-470 SM) yang menyimpulkan bahwa semua yang ada di alam semesta
ini berasal dari zat yang satu yang lebih tinggi dari apeiron[3].
Bahkan jauh sebelum filsuf yunani mengungkapkan hasil penjelajahan
intelektualnya tentang asal mula penciptaan alam semesta ini, Nabi Ibrahim as
telah mengungkapkan bahwa Tuhan yang menciptakan dan menguasai alam semesta
adalah Tuhan yang satu. Kesimpulan ini beliau peroleh melalui pengamatan terhadap
benda-benda langit seperti bulan dan matahari yang sebelumnya dianggapnya
sebagai Tuhan. Namun karena sifat terbatas yang dimiliki oleh benda-benda itu
akhirnya ia menyimpulkan bahwa Tuhannya adalah Tuhan yang Maha Esa, yang
menciptakan alam semesta.
Kenyataan ini
menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari insting keagamaan yang
sudah melekat dalam dirinya sejak penciptaannya. Kemudian dari pencariannya
tentang Tuhan, manusia mulai merambah nilai-nilai dan norma yang akan dijadikan
sebagai pegangan dan pedoman hidupnya. Hasil pencarian norma-norma tersebut
tentu melahirkan banyak konsep ilmu pengetahuan semisal sosiologi yang
membicarakan tentang tata hubungan dan interaksi antar anggota masyarakat.
Tentang konsepsi dan ilmu politik yang akan menjadi panduan dalam aktifitas
pemerintahan dan pelayanan terhadap rakyat, dan lain sebagainya. Bahkan banyak
temuan-temuan ilmiah justru lahir dari motivasi pengabdian kepada Tuhan yang
diyakininya karena ingin memudahkan dan memberikan manfaat kepada orang lain
dengan hasil temuannya tersebut.
Kendati agama diyakini
oleh sebagian kalangan, terutama para tokoh agama sebagai akar prinsipil yang
mendasari perkembangan ilmu pengetahuan, namun sepanjang sejarahnya hubungan
ilmu dengan agama mengalami dinamika dan kemelut yang perlu di telaah secara
intelektual. Oleh karena itu, makalah yang penulis sajikan ini adalah sebuah
ekspedisi ilmiah untuk mencari formulasi relasi agama dan ilmu pengetahuan secara
integral. Relasi antara ilmu dan agama bukan sekedar dipahami sebagai pihak
yang beriringan menuju tujuan yang sama dengan rute yang terpisah, namun berupa
keterpaduan yang integratif
B. Kemelut Paradigmatik Mengenai Relasi Agama dan Ilmu
Pengetahuan
Sejarah
tentang hubungan ilmu dan agama selalu mengalami problematika menyangkut relasi
keduanya. Telah tercatat pada abad pertengahan seorang ilmuwan Galilei Galileo
harus menjadi korban dari hubungan buruk antara agama dan ilmu pengetahuan. Hal
itu terjadi disebabkan adanya keyakinan doktrinal bahwa agama adalah kebenaran
mutlak yang tak perlu diuji dan tidak perlu tunduk pada proses pembuktian
empiris. Sedangkan ilmu selalu bersifat terbuka untuk selalu mengalami
pembuktian dan pengujian ilmiah. Dua kutub yang berseberangan ini lalu
mengundang sejumlah problem yang menyebabkan ketegangan antara ilmu dan agama.
Banyak para akademisi maupun kalangan agamawan memberikan perhatiannya terhadap
masalah tersebut hingga menimbulkan berbagai paradigma dan perspektif untuk
menilai hubungan keduanya, mulai dari yang bersikap pesimistik terhadap
hubungan agama dengan ilmu pengetahuan hingga yang bersikap optimis terhadap harmonisasi
hubungan antara agama dan ilmu.
Ketegangan
hubungan antara ilmu dan agama pada tataran selanjutnya secara akademis telah
menimbulkan dikotomisasi antara ilmu agama yang membahas tentang keyakinan dan
masalah moralitas dengan ilmu-ilmu umum yang dianggap tidak ada kaitannya
dengan masalah keagamaan. Kenyataan inilah mungkin yang menyebabkan kegelisahan
intelektual Amin Abdullah ketika beliau melihat realitas bahwa ada dikotomi
antara ilmu agama yang diajarkan di perguruan tinggi agama semisal IAIN dengan
ilmu-ilmu umum yang diajarkan di perguruan tinggi umum, dimana hal itu
menurutnya akan menimbulkan krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak
persoalan), mengalami kebuntuan dan tidak menemukan alternative yang lebih
mensejahterakan manusia dan selalu penuh dengan bias kepentingan.[4]
Dalam
rangka menggambarkan fakta tentang relasi antara agama dengan ilmu pengetahuan,
penulis akan mengemukakan empat paradigma yang dipaparkan oleh Jhon F. Haught,
yaitu pertama adalah paradigma konflik, kedua paradigma kontras, ketiga
adalah paradigma kontak dan keempat adalah paradigma konfirmasi.[5]
Keempat paradigma ini, kendati lahir dari akar sejarah masyarakat Kristen eropa
pada abad pertengahan disatu sisi dan agama Kristen pada sisi lainnya, namun
gagasan paradigma ini setidaknya akan
membantu menemukan fakta tentang masalah hubungan agama dengan ilmu pengetahuan,
sekaligus dapat melacak akar masalah sekularisasi ilmu yang berkembang saat
ini, termasuk yang melanda dunia Islam.
Paradigma
konflik berkeyakinan bahwa agama dengan ilmu pengetahuan tidak dapat
dipertemukan karena keduanya saling bertentangan dan tidak dapat dirujuk.
Paradigma ini semakin dipertegas oleh catatan sejarah yaitu penyiksaan oleh
pihak gereja terhadap Galileo pada abad ke-17 serta merebaknya konsep teologis
maupun agama yang menentang teori evolusi Darwin pada abad 19 dan 20. Menurut
paradigma konflik ini, disamping disebabkan karena pertimbangan historis
sebagaimana yang dikemukakan di atas, ada juga pertimbangan mengenai
kendala-kendala filosofis yaitu secara epistemologis agama merupakan sebuah
keyakinan aksiomatik yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dan lepas dari
pengujian empiris. Sedangkan ilmu pengetahuan senantiasa terbuka untuk diuji.
Jika temuan ilmiah suatu ketika ternyata
keliru maka ia akan berani untuk membuang hasil temuannya dan diganti dengan
temuan yang baru. Namun tidak demikian pada agama. Agama menurut kaum skeptik
dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori dan bersandar pada imajinasi
liar, terlalu emosional, penuh gairah dan subyektif.[6]
Antitesis ini membuktikan bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak dapat
dipertemukan karena keduanya menyimpan permusuhan timbal balik yang tidak
kunjung selesai.
Paradigma
konflik ini sesungguhnya merupakan paradigma yang dilandasi sikap traumatic
atas sejarah kelam di era abad pertengahan, sekaligus kenyataan akan
doktrin-doktrin gereja yang tidak bisa mengakomodasi perkembangan ilmu
pengetahuan. Pendekatan konflik tersebut baik sadar maupun tidak sadar juga
memiliki pengaruh terhadap cara pandang sebagian kalangan umat Islam bahwa
ilmu-ilmu umum tidaklah penting untuk dipelajari karena tidak memiliki
urgensitas di dalam agama. Banyak kalangan para tokoh agama tradisional
memandang curiga terhadap perkembangan sains dan tekhnologi karena menurut
mereka mengancam moralitas agama. Islam menurut mereka hanya mengajarkan
masalah tauhid, syariah dan akhlak saja, tidak ada kaitannya dengan masalah
sains dan tekhnologi. Dengan demikian Islam hanya dipahami sebagai ajaran yang
memuat keyakinan spiritualitas dan moral, tidak lebih dari itu kecuali hanya
berada di ruang sempit ritualitas dan sedikit mengandung pesan-pesan moral dan
petuah-petuah, bukan sebagai totalitas system hidup yang dapat menjawab seluruh
problem kemanusiaan. Adanya dikotomisasi antara ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu
rasional, antara yang esensial dan yang superficial tersebut menurut Parves
Manzoor sebagaimana yang dikutip oleh Ziauddin Sardar hanya akan berakibat
fatal bagi cara berfikir kaum muslimin.[7]
Paradigma
kedua adalah paradigma kontras, yaitu sebuah paradigma yang menganggap antara
ilmu pengetahuan memiliki jalannya masing-masing dalam konteks yang berbeda
sehingga keduanya tidak bisa dipertentangkan. Antara ilmu dan agama memberikan
tanggapan terhadap masalah yang berbeda. Menurut pendekatan kontras, sains
menguji dunia natural secara empiris, sedangkan agama memainkan peranannya
dalam pengungkapan makna terakhir yang melampaui dunia yang dikenal secara
empiris.[8] Pendekatan
kontras sejatinya merupakan paradigma yang di kemudian hari melahirkan
sekularisme di negara barat. Agama berjalan mengikuti kebenaran dan doktrin
gereja. Sedangkan ilmu pengetahuan akan berjalan dengan standard rasionalitas
dan melalui pengujian empiris. Sehingga menurut Amsal Bakhtiar hal itu akan
mengakibatkan antara agama dengan ilmu pengetahuan tidak akan mengalami
persinggungan, dan pada gilirannya sains yang berkembang di barat tidak
mengenal nilai-nilai agama.[9] Paradigma
ini juga mengandung masalah cukup serius dan tidak bisa beranjak ke arah masa
depan yang prospektif, meskipun telah berupaya menghentikan perseteruan antara
agama dengan ilmu pengetahuan. Menurut paradigma kontras, agama dan ilmu
pengetahuan harus tidak saling mencampuri urusan satu sama lainnya karena
berada diwilayah persoalan yang berbeda. Pendekatan ini tentu tidak memuaskan
akal, disebabkan beberapa alasan, pertama, bagaimana mungkin keyakinan
agama yang dalam sebagian ajarannya menyentuh dan terkait dengan masalah
masalah kosmologi semisal keyakinan penciptaan alam semesta oleh Tuhan di
diamkan untuk tidak melakukan kontak interaktif dengan hasil temuan ilmiah yang
bisa jadi ada pertentangan. Kedua, banyak temuan-temuan ilmiah yang
bersinggungan secara kontradiktif dengan keyakinan agama semisal teori evolusi
Darwin, mesti di dihentikan untuk di abaikan karena menghindari konflik antara
agama dengan ilmu pengetahuan. Ini adalah hal yang tidak mungkin kecuali bagi
yang sudah mengalami frustasi karena dihadapkan oleh jalan buntu dalam meretas
jalan hubungan ilmu dengan agama. Pandangan dan pendekatan kontras tentu masih
bersifat parsial dan tidak mampu menjawab realitas secara memadai. Agama yang
memuat keyakinan kepada Tuhan yang menguasai kosmos tentu secara logis akan
relevan dengan temuan-temuan ilmiah yang sudah terbukti kebenarannya. Jika
tidak memiliki relevansi, maka antara agama dengan hasil penelitian haruslah diuji
tingkat kebenarannya secara adil dan berimbang.
Paradigma ketiga adalah paradigma kontak,
yaitu sebuah paradigma yang berupaya melakukan pendekatan dialogis, interaksi
dan kemungkinan penyesuaian antara ilmu dengan agama, sehingga bisa diharapkan dapat
mempengaruhi pemahaman keagamaan dan masalah teologis. Istilah “kontak” menurut
Jhon F. Haught adalah upaya untuk berkumpul bersama-sama tanpa harus melebur
dan antara ilmu dengan agama tetap harus ada pemisahan dengan tegas.
Masing-masing harus mempertahankan perbedaan-perbedaan yang ada, namun juga
harus menghargai relasi antara keduanya.[10]Kendati
paradigma kontak ini merupakan satu pendekatan yang menjanjikan harapan bagi
terwujudnya harmonisasi hubungan agama dengan ilmu pengetahuan namun ia
merupakan pendekatan yang jauh lebih sulit dimantapkan dari pendekatan
sebelumnya. Ada kemungkinan pendekatan ini justru jatuh pada model kontras yang
bersikap apatis terhadap proses dialogis, dan kemungkinan lainnya juga bisa
terjebak dalam upaya peleburan. Untuk mencegah kemungkinan terburuk tersebut,
menurut Jhon F.Haught harus menggunakan cara yang biasa di sebut sebagai
“realisme kritis” yaitu sebuah pemahaman, baik dari hasil ilmiah maupun dari
ajaran agama, bisa diarahkan ke alam dunia yang nyata, baik berkaitan dengan
alam semesta maupun terkait dengan Tuhan. Namun karena alam semesta maupun
Tuhan terlalu agung untuk bisa dijangkau oleh kemampuan akal manusia, maka
pemikiran kita, baik yang berupa sains maupun agama harus selalu terbuka untuk
diperbaiki.[11]
Menurutnya setiap pemikiran di bidang ilmu pengetahuan maupun agama selalu
berada dalam konstruksi manusia. Oleh karena itu antara agama dengan ilmu
pengetahuan bisa berbagi secara timbal balik dalam sikap keterbukaan secara
kritis. Dan ini yang menjadi landasan bagi pendekatan dan paradigma kontak.
Jika
kita amati, landasan yang dijadikan sebagai pijakan dalam membangun paradigma
kontak ini mengandung nilai relatifistik, yaitu dimana hasil temuan ilmu
pengetahuan dan ajaran agama harus berani di uji kembali tingkat validitas
kebenarannya, disebabkan semua bersifat relative dan ada pengaruh konstruksi
subyektifitas manusia. Hal itu mungkin akan cukup problematis dan sulit
dipecahkan, jika ada temuan ilmu pengetahuan yang telah mengalami pengujian dan
pembuktian berulang dan ternyata terbukti secara pasti kebenarannya, lalu
bertentangan dengan keyakinan agama yang sudah di anggap sebagai kebenaran
absolut, maka tentu pendekatan kontak dalam konteks ini akan mengalami
kebuntuan solusi. Atas dasar itu, pendekatan kontak guna membangun relasi
antara ilmu dan agama akan menemukan banyak kesulitan yang tak terpecahkan jika
agama maupun hasil ilmu pengetahuan mengandung sejumlah masalah-masalah rumit
secara internal.
Sedangkan
paradigma keempat adalah paradigma konfirmasi, yaitu sebuah pendekatan yang
menegaskan sebuah perspektif untuk menjadikan agama sebagai hal yang akan
mengkonfirmasikan proses perkembangan ilmu pengetahuan, bukan sebagai
kontradiksi ilmu. “Konfirmasi” sebagaimana yang dimaksudkan oleh Jhon F.Haught
adalah sejajar dengan memperkuat atau mendukung. Namun menurutnya dukungan
agama terhadap ilmu pengetahuan bukan berarti dukungan sepenuhnya terhadap
hasil ilmu pengetahuan yang mungkin mengakibatkan hal-hal yang berbahaya bagi
kemanusiaan. Karena sebagaimana yang ia akui bahwa ilmu pengetahuan belakangan
mendapatkan kritikan pedas karena telah menyebabkan sebagian penderitaan yang
di alami dunia modern. Dukungan agama yang ia maksudkan adalah semacam kerinduan
yang netral akan pengetahuan, darimana sains tumbuh dan berkembang mekar,
diteguhkan dengan sangat kuat oleh penafsiran agama atas alam semesta.[12]
Pendekatan
konfirmasi yang di gagas oleh Jhon F.
Haught mengenai relasi agama dan ilmu pengetahuan hanya berupa relasi
inspiratif, yaitu agama sebagai system kepercayaan terus menumbuhkan cita rasa
akan ilmu pengetahuan. Agama bukan untuk melebur atau mencari dukungan dari
temuan-temuan ilmu pengetahuan, namun ia hanya menumbuhkan rangsangan atas
perkembangan ilmu pengetahuan. Pendekatan seperti ini menurut hemat penulis
masih belum cukup untuk menjawab masalah-masalah ketika ada pertentangan antara
agama dengan ilmu pengetahuan. Ini tentu berbeda dengan relasi antara Islam
dengan ilmu pengetahuan yang akan dikemukakan secara tuntas pada bagian
berikutnya.
C. Krisis Madzhab Epistemologi; Sebuah ikhtiar Melacak
Madzhab Baru
Untuk membangun
relasi antara agama dengan ilmu pengetahuan bukan satu perkara yang mudah,
namun harus memperhatikan hal-hal yang terkait dengan ilmu itu sendiri, baik
ilmu sebagai produk kreatifitas manusia maupun ilmu sebagai proses
pencapaiannya. Ilmu sebagai produk merupakan hasil capaian yang diperoleh
manusia melalui aktifitas berfikir, sedangkan ilmu sebagai proses adalah
menyangkut cara dan metode memperoleh pengetahuan. Sebelum sesuatu itu bisa
disebut sebagai ilmu, tentu hal yang amat penting untuk diperhatikan adalah
metode memperolehnya atau cara dan tekhnik tertentu yang digunakan sehingga
pengetahuan layak disebut sebagai ilmu, dan inilah yang dinyatakan dalam kajian
filsafat dengan epistemologi.
Analisa secara
kritis terhadap epistemologi juga menjadi hal yang mendesak, agar kita tidak
terburu-buru atau gegabah menyatakan satu pengetahuan disebut sebagai ilmu,
padahal metode berfikir yang digunakannya mengalami kekacauan epistemologis.
Dengan demikian pada bagian ini penulis akan menganalisa berbagai madzhab
epistemologis dan berupaya menemukan metode yang tepat mengenai cara memperoleh
pengetahuan. Hal ini dimaksudkan sebagai sarana atau pembuka jalan membangun
hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama secara meyakinkan, bukan terjebak
para paradigma problematis yang telah dipaparkan sebelumnya.
Ada beberapa
aliran epistemologi yang berkembang, di antaranya adalah maz}hab rasionalisme yang menyebutkan
bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Kendati akal membutuhkan instrumen
panca indera untuk membantu memperoleh data dari alam nyata, namun menurut
Rasionalisme, akal lah yang menyusun dan menghubungkan antara data yang satu
dengan data lainnya. Akal pula yang menyusun dan merumuskannya sesuai
konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Dan yang dimaksud dari ide-ide
universal tersebut adalah abstraksi dari benda-benda konkrit seperti hukum
kausalitas.[13]Dan
menurut Jujun S. Suriasumantri, rasionalisme menggunakan metode penalaran
deduktif dalam mengkaji obyek pemikiran tertentu. Dari penalaran deduktif
berdasarkan ide-ide universal tersebut memungkinkan banyaknya ragam pendapat,
aliran maupun pemikiran sehingga amat sulit menentukan mana pendapat yang
paling benar.[14]
Atas dasar itu aliran rasionalisme mendapatkan koreksi dari madzhab empirisme
yang memiliki pendapat bahwa sumber pengetahuan bersumber dari fakta. Sesuatu
dianggap benar jika telah melalui pengalaman atau dibuktikan melalui data
empiris. Jika Rasionalisme mendasarkan proses penalarannya secara deduktif,
maka empirisisme menggunakan system penalaran induktif, yaitu melalui data-data
secara terperinci lalu disimpulkan hingga membentuk pengetahuan. empirisisme
berpendirian bahwa pengetahuan hanya diperoleh dari pengalaman inderawi. John
Locke seorang penganut mazhab empirisisme dari Britania menyatakan bahwa
manusia ketika dilahirkan, akalnya adalah sejenis buku atau catatan kosong,
dimana di dalam buku catatan tersebut ditulis pengalaman-pengalaman inderawi.[15]
Namun empirisisme juga mengandung kelemahan-kelemahan konseptual, disebabkan
pengalaman inderawi atau fakta empiris sesungguhnya tidak dapat menunjukkan
apapun kalau fakta tersebut menyangkut hakekat sesuatu atau mengenai fakta
pemikiran, misalnya ada kunjungan presiden Amerika Serikat, Obama datang ke
Indonesia dengan agenda membangun kemitraan komprehensif. Pengamatan empiris
hanya akan menyebutkan bahwa kedatangan obama ke Indonesia sesuai data
informasi yang ada hanyalah merupakan kunjungan kepala negara untuk membangun
kemitraan. Empirisisme tidak akan bisa menjangkau hal-hal yang ada di luar
pengalaman inderawi. Untuk mendapatkan kesimpulan yang jauh dari sekedar fakta
kunjungan tersebut tentu dibutuhkan berbagai informasi mengenai ideologi negara
Amerika. Setelah pengetahuan tentang ideologi sebuah negara, maka langkah
selanjutnya adalah mengaitkan antara kebijakan politik luar negeri negara
tersebut dengan negara-negara lain sehingga bisa diukur kesesuaiannya dengan
ideology yang di anutnya. Lalu dengan demikian, baru bisa di identifikasi
agenda tersembunyi yang ada dibalik kunjungan tersebut.
Pada
perkembangan berikutnya, upaya untuk memadukan rasionalisme dan empirisme telah
dilakukan, sehingga memunculkan metode eksperimen, yang pada gilirannya disebut
dengan metode ilmiah.
D. Klasifikasi Ilmu; Sebuah Pendekatan Menuju Integrasi
Ilmu dan Agama
E. Islam dan Ilmu Pengetahuan
F.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
1.
Abdullah, Amin. Islamic
Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. III, 2012),
2.
Abdullah, Muhammad Husain. Mafahim
Islamiyah; Menajamkan pemahaman Islam, “terj” M.Romli (Bangil, al-Izzah,
2003),
3.
Adib, Mohammad. Filsafat
Ilmu; Ontologi, Epistemologi,Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011)
4.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat
Agama, (Jakarta, Logos , 1997)
5.
Haught, Jhon F. Perjumpaan
Sains dan Agama; Dari Konflik ke Dialog, terj; Fransiskus Borgias (Bandung,
Mizan, 2004),
6.
muhammad Ismail, Muhammad. al-Fikr
al-Islami (Beirut, al-Maktab al-Wa’y, 1958)
7.
Sardar, Ziauddin. Merombak
Pola Pikir Intelektual Muslim, terj; Agung Prihantoro, dkk. ( Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2000)
8.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996)
[1]
Kebutuhan jasmani menuntut untuk bisa dipenuhi dan tuntutannya bersifat pasti
yaitu jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kematian atau kerusakan tubuh.
Sedangkan kebutuhan naluri, tuntutannya tidak bersifat pasti. Namun jika
kebutuhan naluri tidak terpenuhi maka bisa mengakibatkan kegelisahan dan
kegalauan hidup. lihat Muhammad muhammad Ismail, al-Fikr al-Islami (Beirut,
al-Maktab al-Wa’y, 1958), 12
[2]
Kebutuhan naluri secara umum ada tiga, yaitu naluri beragama, naluri
mempertahankan diri dan naluri melestarikan jenis atau naluri seksual. Lihat
Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah; Menajamkan pemahaman Islam, “terj”
M.Romli (Bangil, al-Izzah, 2003), 13-14
[3]
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi,Aksiologi dan Logika
Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011), xii
[4]
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. III, 2012), 97
[5]
Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; Dari Konflik ke Dialog, terj;
Fransiskus Borgias (Bandung, Mizan, 2004), xx-xxi.
[6]
Ibid, 5
[7]
Ziauddin Sardar, Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj; Agung
Prihantoro, dkk. ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), x
[8]
Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama, 13
[9]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta, Logos , 1997), 228
[10]
Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama, 19.
[11]
Ibid, 23
[12]
Mengenai paradigma konfirmasi secara panjang lebar di jelaskan oleh Jhon F.
Haught di dalam bukunya, Ibid, 24-32
[13]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, 45
[14]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1996), 112
[15]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, 42
Komentar
Posting Komentar