RELASI ANTARA ILMU PENGETAHUAN DENGAN AGAMA

Oleh : Rifqi
A.  Pendahuluan
Di dalam diri manusia terdapat dua kebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi, pertama adalah kebutuhan jasmani dan kedua adalah kebutuhan naluri[1]. Karena tuntutan kebutuhan tersebut, maka menjadi hal yang niscaya manusia selalu berfikir untuk memenuhinya seoptimal mungkin baik untuk melangsungkan kehidupannya maupun dalam rangka meraih kebahagiaan-kebahagiaan yang di idamkan. Dan disamping dua kebutuhan tersebut, manusia juga memiliki potensi akal agar ia dapat merumuskan langkah dan usaha yang tepat dalam memenuhi kebutuhannya.
Salah satu kebutuhan naluriah manusia adalah naluri beragama[2]. Naluri ini secara faktual menunjukkan kecenderungan manusia untuk mengkultuskan sesuatu atau zat yang memiliki kekuatan yang dapat melindungi manusia. Perasaan lemah dan terbatas ini adalah indikator keberadaan naluri beragama. oleh karena eksistensi insting beragama ini, maka manusia sepanjang sejarahnya selalu berupaya mencari-cari jawaban atas pertanyaan mendasar yang selalu mengganggu pikirannya, mulai dari pertanyaan darimana ia berasal dan diciptakan, untuk apa ia hidup di dunia hingga kemana ia berlabuh setelah kematiannya menjemput. Jawaban atas pertanyaan itu yang akan membentuk pandangan hidup dan memandu kehidupan manusia. Sejarah para filosof Yunani juga menceritakan demikian, misalnya seorang filsuf yang bernama Thales (624-548 SM), ia mengemukakan pemikiran falsafahnya dengan konsep “arche is water” yaitu bahwa semua makhluk hidup di dunia ini membutuhkan air. Thales ini menganggap bahwa azas terbentuknya semua yang ada di alam semesta ini berasal dari air. Kemudian pemikiran falsafah ini dikembangkan hingga pada tataran yang bersifat ilahiyah oleh Anaximandros (610-540 SM) dengan konsep ”to Apeiron” yaitu asas alam semesta berasal dari sesuatu yang bersifat permulaan, kekal, tidak terbatas dan bersifat ilahiyah serta tidak mengalami perubahan. Hasil telaah filosofis ini semakin tercerahkan oleh Xenopanes (580-470 SM) yang menyimpulkan bahwa semua yang ada di alam semesta ini berasal dari zat yang satu yang lebih tinggi dari apeiron[3]. Bahkan jauh sebelum filsuf yunani mengungkapkan hasil penjelajahan intelektualnya tentang asal mula penciptaan alam semesta ini, Nabi Ibrahim as telah mengungkapkan bahwa Tuhan yang menciptakan dan menguasai alam semesta adalah Tuhan yang satu. Kesimpulan ini beliau peroleh melalui pengamatan terhadap benda-benda langit seperti bulan dan matahari yang sebelumnya dianggapnya sebagai Tuhan. Namun karena sifat terbatas yang dimiliki oleh benda-benda itu akhirnya ia menyimpulkan bahwa Tuhannya adalah Tuhan yang Maha Esa, yang menciptakan alam semesta.
Kenyataan ini menegaskan bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari insting keagamaan yang sudah melekat dalam dirinya sejak penciptaannya. Kemudian dari pencariannya tentang Tuhan, manusia mulai merambah nilai-nilai dan norma yang akan dijadikan sebagai pegangan dan pedoman hidupnya. Hasil pencarian norma-norma tersebut tentu melahirkan banyak konsep ilmu pengetahuan semisal sosiologi yang membicarakan tentang tata hubungan dan interaksi antar anggota masyarakat. Tentang konsepsi dan ilmu politik yang akan menjadi panduan dalam aktifitas pemerintahan dan pelayanan terhadap rakyat, dan lain sebagainya. Bahkan banyak temuan-temuan ilmiah justru lahir dari motivasi pengabdian kepada Tuhan yang diyakininya karena ingin memudahkan dan memberikan manfaat kepada orang lain dengan hasil temuannya tersebut.   
Kendati agama diyakini oleh sebagian kalangan, terutama para tokoh agama sebagai akar prinsipil yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan, namun sepanjang sejarahnya hubungan ilmu dengan agama mengalami dinamika dan kemelut yang perlu di telaah secara intelektual. Oleh karena itu, makalah yang penulis sajikan ini adalah sebuah ekspedisi ilmiah untuk mencari formulasi relasi agama dan ilmu pengetahuan secara integral. Relasi antara ilmu dan agama bukan sekedar dipahami sebagai pihak yang beriringan menuju tujuan yang sama dengan rute yang terpisah, namun berupa keterpaduan yang integratif
B.  Kemelut Paradigmatik Mengenai Relasi Agama dan Ilmu Pengetahuan
Sejarah tentang hubungan ilmu dan agama selalu mengalami problematika menyangkut relasi keduanya. Telah tercatat pada abad pertengahan seorang ilmuwan Galilei Galileo harus menjadi korban dari hubungan buruk antara agama dan ilmu pengetahuan. Hal itu terjadi disebabkan adanya keyakinan doktrinal bahwa agama adalah kebenaran mutlak yang tak perlu diuji dan tidak perlu tunduk pada proses pembuktian empiris. Sedangkan ilmu selalu bersifat terbuka untuk selalu mengalami pembuktian dan pengujian ilmiah. Dua kutub yang berseberangan ini lalu mengundang sejumlah problem yang menyebabkan ketegangan antara ilmu dan agama. Banyak para akademisi maupun kalangan agamawan memberikan perhatiannya terhadap masalah tersebut hingga menimbulkan berbagai paradigma dan perspektif untuk menilai hubungan keduanya, mulai dari yang bersikap pesimistik terhadap hubungan agama dengan ilmu pengetahuan hingga yang bersikap optimis terhadap harmonisasi hubungan antara agama dan ilmu.
Ketegangan hubungan antara ilmu dan agama pada tataran selanjutnya secara akademis telah menimbulkan dikotomisasi antara ilmu agama yang membahas tentang keyakinan dan masalah moralitas dengan ilmu-ilmu umum yang dianggap tidak ada kaitannya dengan masalah keagamaan. Kenyataan inilah mungkin yang menyebabkan kegelisahan intelektual Amin Abdullah ketika beliau melihat realitas bahwa ada dikotomi antara ilmu agama yang diajarkan di perguruan tinggi agama semisal IAIN dengan ilmu-ilmu umum yang diajarkan di perguruan tinggi umum, dimana hal itu menurutnya akan menimbulkan krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kebuntuan dan tidak menemukan alternative yang lebih mensejahterakan manusia dan selalu penuh dengan bias kepentingan.[4]
Dalam rangka menggambarkan fakta tentang relasi antara agama dengan ilmu pengetahuan, penulis akan mengemukakan empat paradigma yang dipaparkan oleh Jhon F. Haught, yaitu pertama adalah paradigma konflik, kedua paradigma kontras, ketiga adalah paradigma kontak dan keempat adalah paradigma konfirmasi.[5] Keempat paradigma ini, kendati lahir dari akar sejarah masyarakat Kristen eropa pada abad pertengahan disatu sisi dan agama Kristen pada sisi lainnya, namun gagasan paradigma ini  setidaknya akan membantu menemukan fakta tentang masalah hubungan agama dengan ilmu pengetahuan, sekaligus dapat melacak akar masalah sekularisasi ilmu yang berkembang saat ini, termasuk yang melanda dunia Islam.
Paradigma konflik berkeyakinan bahwa agama dengan ilmu pengetahuan tidak dapat dipertemukan karena keduanya saling bertentangan dan tidak dapat dirujuk. Paradigma ini semakin dipertegas oleh catatan sejarah yaitu penyiksaan oleh pihak gereja terhadap Galileo pada abad ke-17 serta merebaknya konsep teologis maupun agama yang menentang teori evolusi Darwin pada abad 19 dan 20. Menurut paradigma konflik ini, disamping disebabkan karena pertimbangan historis sebagaimana yang dikemukakan di atas, ada juga pertimbangan mengenai kendala-kendala filosofis yaitu secara epistemologis agama merupakan sebuah keyakinan aksiomatik yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dan lepas dari pengujian empiris. Sedangkan ilmu pengetahuan senantiasa terbuka untuk diuji. Jika temuan ilmiah  suatu ketika ternyata keliru maka ia akan berani untuk membuang hasil temuannya dan diganti dengan temuan yang baru. Namun tidak demikian pada agama. Agama menurut kaum skeptik dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori dan bersandar pada imajinasi liar, terlalu emosional, penuh gairah dan subyektif.[6] Antitesis ini membuktikan bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipertemukan karena keduanya menyimpan permusuhan timbal balik yang tidak kunjung selesai.
Paradigma konflik ini sesungguhnya merupakan paradigma yang dilandasi sikap traumatic atas sejarah kelam di era abad pertengahan, sekaligus kenyataan akan doktrin-doktrin gereja yang tidak bisa mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan. Pendekatan konflik tersebut baik sadar maupun tidak sadar juga memiliki pengaruh terhadap cara pandang sebagian kalangan umat Islam bahwa ilmu-ilmu umum tidaklah penting untuk dipelajari karena tidak memiliki urgensitas di dalam agama. Banyak kalangan para tokoh agama tradisional memandang curiga terhadap perkembangan sains dan tekhnologi karena menurut mereka mengancam moralitas agama. Islam menurut mereka hanya mengajarkan masalah tauhid, syariah dan akhlak saja, tidak ada kaitannya dengan masalah sains dan tekhnologi. Dengan demikian Islam hanya dipahami sebagai ajaran yang memuat keyakinan spiritualitas dan moral, tidak lebih dari itu kecuali hanya berada di ruang sempit ritualitas dan sedikit mengandung pesan-pesan moral dan petuah-petuah, bukan sebagai totalitas system hidup yang dapat menjawab seluruh problem kemanusiaan. Adanya dikotomisasi antara ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu rasional, antara yang esensial dan yang superficial tersebut menurut Parves Manzoor sebagaimana yang dikutip oleh Ziauddin Sardar hanya akan berakibat fatal bagi cara berfikir kaum muslimin.[7]
Paradigma kedua adalah paradigma kontras, yaitu sebuah paradigma yang menganggap antara ilmu pengetahuan memiliki jalannya masing-masing dalam konteks yang berbeda sehingga keduanya tidak bisa dipertentangkan. Antara ilmu dan agama memberikan tanggapan terhadap masalah yang berbeda. Menurut pendekatan kontras, sains menguji dunia natural secara empiris, sedangkan agama memainkan peranannya dalam pengungkapan makna terakhir yang melampaui dunia yang dikenal secara empiris.[8] Pendekatan kontras sejatinya merupakan paradigma yang di kemudian hari melahirkan sekularisme di negara barat. Agama berjalan mengikuti kebenaran dan doktrin gereja. Sedangkan ilmu pengetahuan akan berjalan dengan standard rasionalitas dan melalui pengujian empiris. Sehingga menurut Amsal Bakhtiar hal itu akan mengakibatkan antara agama dengan ilmu pengetahuan tidak akan mengalami persinggungan, dan pada gilirannya sains yang berkembang di barat tidak mengenal nilai-nilai agama.[9] Paradigma ini juga mengandung masalah cukup serius dan tidak bisa beranjak ke arah masa depan yang prospektif, meskipun telah berupaya menghentikan perseteruan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Menurut paradigma kontras, agama dan ilmu pengetahuan harus tidak saling mencampuri urusan satu sama lainnya karena berada diwilayah persoalan yang berbeda. Pendekatan ini tentu tidak memuaskan akal, disebabkan beberapa alasan, pertama, bagaimana mungkin keyakinan agama yang dalam sebagian ajarannya menyentuh dan terkait dengan masalah masalah kosmologi semisal keyakinan penciptaan alam semesta oleh Tuhan di diamkan untuk tidak melakukan kontak interaktif dengan hasil temuan ilmiah yang bisa jadi ada pertentangan. Kedua, banyak temuan-temuan ilmiah yang bersinggungan secara kontradiktif dengan keyakinan agama semisal teori evolusi Darwin, mesti di dihentikan untuk di abaikan karena menghindari konflik antara agama dengan ilmu pengetahuan. Ini adalah hal yang tidak mungkin kecuali bagi yang sudah mengalami frustasi karena dihadapkan oleh jalan buntu dalam meretas jalan hubungan ilmu dengan agama. Pandangan dan pendekatan kontras tentu masih bersifat parsial dan tidak mampu menjawab realitas secara memadai. Agama yang memuat keyakinan kepada Tuhan yang menguasai kosmos tentu secara logis akan relevan dengan temuan-temuan ilmiah yang sudah terbukti kebenarannya. Jika tidak memiliki relevansi, maka antara agama dengan hasil penelitian haruslah diuji tingkat kebenarannya secara adil dan berimbang. 
 Paradigma ketiga adalah paradigma kontak, yaitu sebuah paradigma yang berupaya melakukan pendekatan dialogis, interaksi dan kemungkinan penyesuaian antara ilmu dengan agama, sehingga bisa diharapkan dapat mempengaruhi pemahaman keagamaan dan masalah teologis. Istilah “kontak” menurut Jhon F. Haught adalah upaya untuk berkumpul bersama-sama tanpa harus melebur dan antara ilmu dengan agama tetap harus ada pemisahan dengan tegas. Masing-masing harus mempertahankan perbedaan-perbedaan yang ada, namun juga harus menghargai relasi antara keduanya.[10]Kendati paradigma kontak ini merupakan satu pendekatan yang menjanjikan harapan bagi terwujudnya harmonisasi hubungan agama dengan ilmu pengetahuan namun ia merupakan pendekatan yang jauh lebih sulit dimantapkan dari pendekatan sebelumnya. Ada kemungkinan pendekatan ini justru jatuh pada model kontras yang bersikap apatis terhadap proses dialogis, dan kemungkinan lainnya juga bisa terjebak dalam upaya peleburan. Untuk mencegah kemungkinan terburuk tersebut, menurut Jhon F.Haught harus menggunakan cara yang biasa di sebut sebagai “realisme kritis” yaitu sebuah pemahaman, baik dari hasil ilmiah maupun dari ajaran agama, bisa diarahkan ke alam dunia yang nyata, baik berkaitan dengan alam semesta maupun terkait dengan Tuhan. Namun karena alam semesta maupun Tuhan terlalu agung untuk bisa dijangkau oleh kemampuan akal manusia, maka pemikiran kita, baik yang berupa sains maupun agama harus selalu terbuka untuk diperbaiki.[11] Menurutnya setiap pemikiran di bidang ilmu pengetahuan maupun agama selalu berada dalam konstruksi manusia. Oleh karena itu antara agama dengan ilmu pengetahuan bisa berbagi secara timbal balik dalam sikap keterbukaan secara kritis. Dan ini yang menjadi landasan bagi pendekatan dan paradigma kontak.  
Jika kita amati, landasan yang dijadikan sebagai pijakan dalam membangun paradigma kontak ini mengandung nilai relatifistik, yaitu dimana hasil temuan ilmu pengetahuan dan ajaran agama harus berani di uji kembali tingkat validitas kebenarannya, disebabkan semua bersifat relative dan ada pengaruh konstruksi subyektifitas manusia. Hal itu mungkin akan cukup problematis dan sulit dipecahkan, jika ada temuan ilmu pengetahuan yang telah mengalami pengujian dan pembuktian berulang dan ternyata terbukti secara pasti kebenarannya, lalu bertentangan dengan keyakinan agama yang sudah di anggap sebagai kebenaran absolut, maka tentu pendekatan kontak dalam konteks ini akan mengalami kebuntuan solusi. Atas dasar itu, pendekatan kontak guna membangun relasi antara ilmu dan agama akan menemukan banyak kesulitan yang tak terpecahkan jika agama maupun hasil ilmu pengetahuan mengandung sejumlah masalah-masalah rumit secara internal.  
Sedangkan paradigma keempat adalah paradigma konfirmasi, yaitu sebuah pendekatan yang menegaskan sebuah perspektif untuk menjadikan agama sebagai hal yang akan mengkonfirmasikan proses perkembangan ilmu pengetahuan, bukan sebagai kontradiksi ilmu. “Konfirmasi” sebagaimana yang dimaksudkan oleh Jhon F.Haught adalah sejajar dengan memperkuat atau mendukung. Namun menurutnya dukungan agama terhadap ilmu pengetahuan bukan berarti dukungan sepenuhnya terhadap hasil ilmu pengetahuan yang mungkin mengakibatkan hal-hal yang berbahaya bagi kemanusiaan. Karena sebagaimana yang ia akui bahwa ilmu pengetahuan belakangan mendapatkan kritikan pedas karena telah menyebabkan sebagian penderitaan yang di alami dunia modern. Dukungan agama yang ia maksudkan adalah semacam kerinduan yang netral akan pengetahuan, darimana sains tumbuh dan berkembang mekar, diteguhkan dengan sangat kuat oleh penafsiran agama atas alam semesta.[12]  
Pendekatan  konfirmasi yang di gagas oleh Jhon F. Haught mengenai relasi agama dan ilmu pengetahuan hanya berupa relasi inspiratif, yaitu agama sebagai system kepercayaan terus menumbuhkan cita rasa akan ilmu pengetahuan. Agama bukan untuk melebur atau mencari dukungan dari temuan-temuan ilmu pengetahuan, namun ia hanya menumbuhkan rangsangan atas perkembangan ilmu pengetahuan. Pendekatan seperti ini menurut hemat penulis masih belum cukup untuk menjawab masalah-masalah ketika ada pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Ini tentu berbeda dengan relasi antara Islam dengan ilmu pengetahuan yang akan dikemukakan secara tuntas pada bagian berikutnya. 
C.  Krisis Madzhab Epistemologi; Sebuah ikhtiar Melacak Madzhab Baru
Untuk membangun relasi antara agama dengan ilmu pengetahuan bukan satu perkara yang mudah, namun harus memperhatikan hal-hal yang terkait dengan ilmu itu sendiri, baik ilmu sebagai produk kreatifitas manusia maupun ilmu sebagai proses pencapaiannya. Ilmu sebagai produk merupakan hasil capaian yang diperoleh manusia melalui aktifitas berfikir, sedangkan ilmu sebagai proses adalah menyangkut cara dan metode memperoleh pengetahuan. Sebelum sesuatu itu bisa disebut sebagai ilmu, tentu hal yang amat penting untuk diperhatikan adalah metode memperolehnya atau cara dan tekhnik tertentu yang digunakan sehingga pengetahuan layak disebut sebagai ilmu, dan inilah yang dinyatakan dalam kajian filsafat dengan epistemologi.
Analisa secara kritis terhadap epistemologi juga menjadi hal yang mendesak, agar kita tidak terburu-buru atau gegabah menyatakan satu pengetahuan disebut sebagai ilmu, padahal metode berfikir yang digunakannya mengalami kekacauan epistemologis. Dengan demikian pada bagian ini penulis akan menganalisa berbagai madzhab epistemologis dan berupaya menemukan metode yang tepat mengenai cara memperoleh pengetahuan. Hal ini dimaksudkan sebagai sarana atau pembuka jalan membangun hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama secara meyakinkan, bukan terjebak para paradigma problematis yang telah dipaparkan sebelumnya.
Ada beberapa aliran epistemologi yang berkembang, di antaranya adalah maz}hab rasionalisme yang menyebutkan bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Kendati akal membutuhkan instrumen panca indera untuk membantu memperoleh data dari alam nyata, namun menurut Rasionalisme, akal lah yang menyusun dan menghubungkan antara data yang satu dengan data lainnya. Akal pula yang menyusun dan merumuskannya sesuai konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Dan yang dimaksud dari ide-ide universal tersebut adalah abstraksi dari benda-benda konkrit seperti hukum kausalitas.[13]Dan menurut Jujun S. Suriasumantri, rasionalisme menggunakan metode penalaran deduktif dalam mengkaji obyek pemikiran tertentu. Dari penalaran deduktif berdasarkan ide-ide universal tersebut memungkinkan banyaknya ragam pendapat, aliran maupun pemikiran sehingga amat sulit menentukan mana pendapat yang paling benar.[14] Atas dasar itu aliran rasionalisme mendapatkan koreksi dari madzhab empirisme yang memiliki pendapat bahwa sumber pengetahuan bersumber dari fakta. Sesuatu dianggap benar jika telah melalui pengalaman atau dibuktikan melalui data empiris. Jika Rasionalisme mendasarkan proses penalarannya secara deduktif, maka empirisisme menggunakan system penalaran induktif, yaitu melalui data-data secara terperinci lalu disimpulkan hingga membentuk pengetahuan. empirisisme berpendirian bahwa pengetahuan hanya diperoleh dari pengalaman inderawi. John Locke seorang penganut mazhab empirisisme dari Britania menyatakan bahwa manusia ketika dilahirkan, akalnya adalah sejenis buku atau catatan kosong, dimana di dalam buku catatan tersebut ditulis pengalaman-pengalaman inderawi.[15] Namun empirisisme juga mengandung kelemahan-kelemahan konseptual, disebabkan pengalaman inderawi atau fakta empiris sesungguhnya tidak dapat menunjukkan apapun kalau fakta tersebut menyangkut hakekat sesuatu atau mengenai fakta pemikiran, misalnya ada kunjungan presiden Amerika Serikat, Obama datang ke Indonesia dengan agenda membangun kemitraan komprehensif. Pengamatan empiris hanya akan menyebutkan bahwa kedatangan obama ke Indonesia sesuai data informasi yang ada hanyalah merupakan kunjungan kepala negara untuk membangun kemitraan. Empirisisme tidak akan bisa menjangkau hal-hal yang ada di luar pengalaman inderawi. Untuk mendapatkan kesimpulan yang jauh dari sekedar fakta kunjungan tersebut tentu dibutuhkan berbagai informasi mengenai ideologi negara Amerika. Setelah pengetahuan tentang ideologi sebuah negara, maka langkah selanjutnya adalah mengaitkan antara kebijakan politik luar negeri negara tersebut dengan negara-negara lain sehingga bisa diukur kesesuaiannya dengan ideology yang di anutnya. Lalu dengan demikian, baru bisa di identifikasi agenda tersembunyi yang ada dibalik kunjungan tersebut.
Pada perkembangan berikutnya, upaya untuk memadukan rasionalisme dan empirisme telah dilakukan, sehingga memunculkan metode eksperimen, yang pada gilirannya disebut dengan metode ilmiah.
D.  Klasifikasi Ilmu; Sebuah Pendekatan Menuju Integrasi Ilmu dan Agama
E.  Islam dan Ilmu Pengetahuan
F.   Kesimpulan

Daftar Pustaka
1.       Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. III, 2012),
2.       Abdullah, Muhammad Husain. Mafahim Islamiyah; Menajamkan pemahaman Islam, “terj” M.Romli (Bangil, al-Izzah, 2003),
3.       Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi,Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011)
4.       Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama, (Jakarta, Logos , 1997)
5.       Haught, Jhon F. Perjumpaan Sains dan Agama; Dari Konflik ke Dialog, terj; Fransiskus Borgias (Bandung, Mizan, 2004),
6.       muhammad Ismail, Muhammad. al-Fikr al-Islami (Beirut, al-Maktab al-Wa’y, 1958)
7.       Sardar, Ziauddin. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj; Agung Prihantoro, dkk. ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000)
8.       Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996)




[1] Kebutuhan jasmani menuntut untuk bisa dipenuhi dan tuntutannya bersifat pasti yaitu jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kematian atau kerusakan tubuh. Sedangkan kebutuhan naluri, tuntutannya tidak bersifat pasti. Namun jika kebutuhan naluri tidak terpenuhi maka bisa mengakibatkan kegelisahan dan kegalauan hidup. lihat Muhammad muhammad Ismail, al-Fikr al-Islami (Beirut, al-Maktab al-Wa’y, 1958), 12
[2] Kebutuhan naluri secara umum ada tiga, yaitu naluri beragama, naluri mempertahankan diri dan naluri melestarikan jenis atau naluri seksual. Lihat Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah; Menajamkan pemahaman Islam, “terj” M.Romli (Bangil, al-Izzah, 2003), 13-14
[3] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi,Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011), xii
[4] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. III, 2012), 97
[5] Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; Dari Konflik ke Dialog, terj; Fransiskus Borgias (Bandung, Mizan, 2004), xx-xxi.
[6] Ibid, 5
[7] Ziauddin Sardar, Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj; Agung Prihantoro, dkk. ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000), x
[8] Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama, 13
[9] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta, Logos , 1997), 228
[10] Jhon F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama, 19.
[11] Ibid, 23
[12] Mengenai paradigma konfirmasi secara panjang lebar di jelaskan oleh Jhon F. Haught di dalam bukunya, Ibid, 24-32
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, 45
[14] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996), 112
[15] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, 42

Komentar

Postingan Populer