METODE MENAFSIRKAN AL-QUR'AN
Oleh : Rifqi
A. PENDAHULUAN
Dalam Alquran Allah SWT berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti
apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS:
Al-Israa’ : 36)
Pengertian ayat ini
menegaskan bahwa seluruh perbuatan manusia baik pendengaran, penglihatan maupun
kecenderungan hatinya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT di
akhirat kelak. Dengan demikian tidak diperkenankan seseorang berbuat tanpa
dasar dan pengetahuan, yang tentu maksud dari pengetahuan tersebut adalah petunjuk
dan pesan-pesan Allah SWT. oleh karena itu, ayat ini menuntut agar umat islam
melakukan kajian terhadap petunjuk-petunjuk ilahiyah agar dapat mengikat semua
perbuatannya sesuai dengan ketentuan shariahNya.
Didasarkan pada
pengertian ayat di atas, maka menjadi satu keharusan dan niscaya bahwa memahami
Islam adalah kewajiban bagi kaum muslimin. Dan sudah menjadi masyhur bahwa
sumber hukum Islam adalah Alquran dan Hadits. Dengan begitu memahami keduanya adalah
hal yang tak bisa ditolak. Alquran adalah kitab suci yang menjadi rujukan dan
pedoman hidup umat Islam. keberadaan Alquran sebagai sumber pertama telah mampu
mengantarkan umat Islam meraih posisinya sebagai khairu ummah dalam
rentang sejarah yang cukup panjang. Sedangkan hadits Rasul SAW sebagaimana yang
di sebutkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuti berfungsi sebagai penjelas yang memperjelas
pengertiannya[1].
Karena urgensitas Alquran
bagi kehidupan umat Islam, maka tentu proses penafsirannya juga merupakan hal
yang amat mendesak. Atas hal ini, penulis ingin mengetengahkan studi hukum
shara’ terkait dengan tafsir Alquran berikut seluk beluk yang menyertai aktifitas
penafsirannya. Studi ini dimaksudkan untuk memberikan satu kajian akademis yang
mendorong para pecinta Alquran agar semakin menaburkan kerinduannya dengan
makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam pembahasan
makalah ini, penulis juga terpanggil untuk memberikan kontribusi pemikiran terkait
dengan etika dan paradigma dasar dalam penafsiran Alquran. Hal ini diupayakan
untuk menetapkan standard penafsiran yang benar sesuai dengan apa yang dipahami
oleh nabi dan para sahabat. Dalam keterkaitan dengan hal ini, sesungguhnya
penulis merasa telah dihinggapi rasa kegelisahan secara intelektual terhadap
perkembangan budaya tafsir modern yang sarat dengan penyimpangan melalui
idiom-idiom yang memukau seperti reinterpretasi makna Alquran, kontekstualisasi
hukum Islam agar sesuai dengan semangat zaman, hingga keberaniannya untuk membuat
pemahaman Islam yang justru keluar dari makna yang terkandung dalam nas. Keberanian
penafsiran model ini tidak jarang disertai dengan kelancangan mereka untuk
menuduh para ulama-ulama salafush shaleh telah melakukan penafsiran Alquran
dengan penuh bias dan tendensi duniawi semata. Sajian makalah yang penulis
lakukan ini tidak dimaksudkan untuk menyeragamkan pemahaman terhadap Alquran
karena hal itu merupakan perkara yang mustahil. Para sahabat sekalipun tidak
sedikit dari mereka yang berbeda pemahamannya ketika memaknai Alquran maupun
Hadith. Begitu juga dengan para ulama salafus-Saleh berbeda-beda tingkat
pemahamannya terhadap Alquran disebabkan karena perbedaan tingkat kekuatan
istimbat yang mereka lakukan. Mereka juga berbeda pada gaya dan uslub
penafsiran Alquran, namun mereka memiliki kesamaan dalam metode memahami dan
menafsirkan Alquran.
Atas dasar hal itu,
penulis ingin menyajikan masalah tafsir dengan metode penafsiran yang telah
diyakini kebenarannya dan bisa dipertanggung jawabkan secara shar’i serta
penulis nukil dari penuturan para ulama shaleh. Semoga Allah SWT menuntun kita
semua di jalan-Nya yang lurus. tidak ada kebenaran sejati kecuali yang
datangnya dari Allah Rabbul Izzati.
B. DEFINISI AL-QUR’AN
1.
Pengertian Bahasa
Sebagian pakar bahasa
menyebutkan bahwa kata Alqur’an merupakan bentuk masdar dari kata qara-a
dengan mengikuti standard fu’lan. Konotasi bahasa ini adalah semisal
dengan kata syukron. Konotasi istilah bahasa ini kemudian mengalami
konversi dari makna harfiyah ke makna istilah syar’i yang berarti nama untuk
bacaan tertentu. Istilah semacam ini oleh tradisi bahasa arab disebut dengan “tasmiyah
al-maf’ul bi al-masdar” yaitu menyebut obyek dengan menggunakan kata
masdarnya[2].
Istilah bahasa ini dikuatkan oleh firman Allah dalam Alquran :
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا
جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (18)
Artinya : Janganlah kamu
gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. (QS: 75 : 16-18)
2. Pengertian Syar’i
Mengenai pengertian Alquran secara
istilah syara’ maka para ulama ushul dan kalam berbeda pendapat tentang hal
tersebut, namun penulis akan mengambil pendapat yang cukup komprehensif dan
memiliki batasan yang jelas tentang pengertian Alquran yaitu :
“Alquran adalah kalam Allah SWT yang berupa mukjizat, diturunkan
kepada Muhammad SAW dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta di nilai
beribadah ketika membacanya”[3]
Pengertian Alquran sebagai kalam Allah
yang berupa mukjizat menegaskan bahwa setiap kata yang diucapkan oleh manusia,
jin bahkan nabi dan Rasul sekalipun tidak termasuk dalam cakupan ini. Karena
kendati ucapan atau kalam yang berasal dari nabi atau Rasul sejatinya adalah
wahyu namun kalam tersebut secara redaksional tetaplah di nisbatkan kepada
Rasul, yang tentu tidak berfungsi sebagai mukjizat. sedangkan pengertian
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW adalah pembatasan kalam yang khusus
diturunkan kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian kalam yang diturunkan kepada
nabi-nabi sebelumnya tidak termasuk dalam cakupan ini. Sementara maksud dinukil
secara mutawatir adalah menafikan ayat-ayat yang mungkin diriwayatkan secara
ahad[4]
sebagaimana riwayatnya Ibn Mas’ud, yang akhirnya tidak diakui sebagai Alquran. Pengertian
bernilai ibadah ketika membacanya adalah bahwa kalam yang mungkin juga di
nisbatkan kepada Allah dan diriwayatkan secara mutawatir seperti hadith Qudsi
tidaklah termasuk dalam pengertian ini. Karena membaca hadith Qudsi kendati
diriwayatkan secara mutawatir tetap tidak bernilai ibadah ketika membacanya.
C. METODE MENAFSIRKAN ALQURAN
1.
Sekilas Tentang Tafsir
Istilah
tafsir adalah derivasi dari kata bahasa arab Fassara yang bermakna kasyafa
yang berarti membuka. pengertian ini juga bisa berarti bayan yang
bermakna penjelasan[5]. Pengertian Tafsir secara
bahasa ini juga telah ditunjukkan oleh Alquran yang berbunyi :
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ
تَفْسِيرًا
Artinya:
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. ( QS : 25 ; 33)
Secara terminologis
pengertian Tafsir dikemukakan oleh Ali al-Hasan sebagaimana yang dikutip oleh
Hafidz Abdurrahman, yaitu ilmu yang membahas tentang Alquran dari pemahaman yang
ditunjukkan oleh aspek dilalah nya sesuai dengan kadar kemampuan manusia[6].
Dari pengertian ini amat jelas bahwa cakupan tafsir terhadap Alquran tidak
boleh keluar dari pengertian lafadz yang dikehendakinya. Meskipun pengertian
tersebut terkadang diperoleh berdasarkan penjelasan hadits Rasul SAW dalam
Hadith atau pengertian sahabat terkait dengan masalah yang sedang dipahami.
Dengan demikian jika ada proses penafsiran Alquran justru tidak merujuk pada
pengertian yang terkandung di dalam Alquran, namun berjalan bebas sesuai dengan
selera dan kehendak penafsir maka aktifitas penafsirannya tidak termasuk
kategori tafsir, dan tidak boleh bagi umat Islam untuk mengambil hasil
istimbatnya.
2.
Antara Tafsir dengan Takwil
Pengertian takwil
dengan tafsir terjadi perbedaan di antara para ulama, ada yang berpendapat
bahwa antara takwil dengan tafsir adalah mirip atau sinonim. Menurut Ibn Faaris
seperti yang dikutip oleh Imam Zarkasi bahwa setiap pengertian kalimat atau
ungkapan akan merujuk pada tiga kata yaitu makna, tafsir dan takwil. sekalipun
kata tersebut berbeda-beda pengertiannya namun memiliki maksud yang hampir sama
atau berdekatan[7]. Namun pengertian yang
lebih memperjelas perbedaan antara tafsir dengan takwil adalah apa yang
dikemukakan oleh An-Nabha>ni bahwa tafsir adalah
penjelasan yang dimaksud oleh kata, sedangkan takwil adalah penjelasan maksud dari
makna kata[8].
Imam jurjani mengungkapkan pengertian takwil secara shar’i yaitu memalingkan
kata dari makna eksplisit kepada makna implisit jika makna tersebut bersesuaian
dengan Al-Quran dan As-Sunnah[9].
Kemudian untuk memperjelas perbedaan antara tafsir dengan takwil al-Jurjani (w.
816 H) memberikan gambaran contoh pada Al-Qur’an:
يخرج الحي من الميت ( ألأنعام : 95)
Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati.
Dari
ayat tersebut jika yang dimaksud adalah mengeluarkan burung dari telur maka itu
berarti tafsir, namun jika yang dimaksud adalah mengeluarkan orang yang beriman
dari kekafiran atau mengeluarkan orang yang alim dari kebodohan maka itu adalah
takwil[10].
pengambilan makna tersebut masih sesuai dengan ungkapan yang juga telah
dinyatakan di dalam Al-Qur’an dengan penggunaan makna kiasan seperti maksud
petunjuk atau hidayah dengan kata kegelapan/dzulumat dan makna
jalan keimanan dengan cahaya. Namun aktifitas takwil seperti ini baru dianggap
sah ketika memenuhi tiga syarat yatu : [11]
a.
Hendaknya
orang yang melakukan takwil adalah orang yang memiliki keahlian dibidang
pentakwilan dan menguasai berbagai bidang ilmu shara’
b.
Lafadz
atau kata yang di takwilkan disamping memiliki makna yang lazim sekaligus mempunyai
makna yang tak lazim, namun makna yang tak lazim tersebut masih sesuai dengan
segi bahasa ataupun penggunaannya.
c.
Terdapat
dalil yang mendukung terhadap pemalingan makna tersebut, dalil yang digunakan
bukan sembarang dalil namun merupakan dalil yang kuat yang dapat menjelaskan
kata yang ditakwil.
3.
Tafsir dan Terjemahan Alquran
Sedangkan maksud dari
terjemahan Alquran adalah pengalih bahasaan Al-Qur’an dari bahasa arab pada
bahasa non arab. untuk konteks terjemahan ini maka aktifitas terjemah terbagi
menjadi dua bagian : pertama terjemahan harfiyah dan kedua adalah
terjemahan tafsiriyah/maknawiyah[12]. Terjemahan harfiyah
adalah pengalih bahasaan kata perkata dari suatu bahasa pada bahasa yang
lain dengan mengikuti padanan dan struktur bahasa asal. Sedangkan terjemahan maknawiyah/tafsi>riyah adalah penjelasan pengertian
kalimat dengan menggunakan bahasa lain tanpa ada keterikatan dengan struktur
atau sistem bahasa asal.[13]
Terjemahan secara harfiyah terhadap Al-Qur’an adalah
sesuatu yang mustahil dilakukan karena struktur bahasa Arab yang digunakan oleh
Alquran tentu amat sangat berbeda dengan struktur bahasa yang lain, disamping
itu bahasa apapun tidak akan pernah bisa mewakili makna Alquran. Alquran dengan
bahasa Arabnya adalah Kalam Allah yang berfungsi sebagai mukjizat. Dengan
demikian terjemah harfiyah pada Alquran adalah satu hal yang tidak
diperbolehkan, apalagi kalau terjemah tersebut kemudian dinisbahkan sebagai
kalam Allah, hal yang demikian adalah jelas merupakan bentuk kebohongan terhadap
Al-Qur’an itu sendiri.
Sedangkan terjemahan tafsiri>yah/maknawiyah adalah suatu perkara yang diperbolehkan jika hal tersebut menjadi
alasan atau sebab tersampaikannya dakwah Islam kepada masyarakat non arab yang
tidak berbahasa Arab, karena penyampaian risalah Islam kepada seluruh manusia adalah
kewajiban yang telah di amanahkan oleh Allah SWT. Al-Hafidh Ibn Hajar menyatakan:
“Barangsiapa yang telah
masuk Islam atau ingin masuk Islam, lalu dibacakan kepadanya Al-Quran namun ia
tidak memahaminya maka tidak ada masalah penterjemahan baginya agar ia bisa
mengetahui hukum-hukum Al-Qur’an atau agar ia memiliki hujjah sehingga ia bisa masuk
di dalam Islam”[14]
Kendati terjemah tafsiri>yah diperbolehkan, namun kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran
tetap menjadi hal penting agar dapat dipahami oleh setiap muslim. adalah satu
hal yang tidak mungkin memahami pokok-pokok dan dasar-dasar Islam kecuali
apabila kita memahami Alquran berikut bahasanya. oleh karena itu menurut Manna’
al-Qaththan : merupakan satu kewajiban bagi setiap orang yang masuk Islam untuk
bisa menerima bahasa kitab sucinya baik secara dzahir maupun batin hingga mampu
melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dan pada kondisi demikian penerjemahan
Al-Quran sudah tidak lagi dibutuhkan.[15]
4.
Gaya dan Model Penafsiran Al-Quran
Gaya penafsiran Alquran adalah cara atau teknis yang digunakan
oleh para Mufassir untuk menafsirkan Al-Quran. gaya atau cara seperti
ini merupakan kecenderungan para mufassir di dalam menafsirkan Alquran sesuai
dengan penekanan yang di inginkan. misalnya ada yang memiliki kecenderungan
pada aspek kebahasaannya sehingga ia menafsirkan ayat per ayat dalam Al-Quran
dalam gaya bahasa dan makna yang terkandung di dalamnya. Ada yang lebih
menekankan pada aspek teologis sehingga muatan tafsirnya banyak memperhatikan
masalah aqidah. ada juga yang mengedepankan masalah hukum dan fiqh sehingga
cakupan tafsirnya lebih dominan masalah hukum. disamping itu juga ada yang
menekankan aspek historisitas sehingga tafsirnya ditopang dengan kisah-kisah
sejarah yang diambil dari buku-buku sejarah. Semua itu merupakan gaya
penafsiran yang dipilih oleh masing-masing mufassir zaman terdahulu sesuai
dengan kecenderungan dan penekanannya.
Sedangkan model penafsiran yang berkembang di kalangan kaum
muslimin secara umum terbagi menjadi dua model, yaitu tafsi>r bi al-ma’thu>r dengan tafsi>r bi al-ra’yi
a.
Tafsir bi al-Ma’thur
Tafsir
bi al-Ma’thur adalah tafsir yang disusun oleh para mufassir dengan menggunakan sumber
riwayat yang shahih, misalnya tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan
as-sunnah yang berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an atau dengan riwayat para
sahabat, karena mereka yang paling mengetahui tentang kitab Allah, atau dengan
perkataan para pembesar tabi’in karena mereka pula yang pernah ketemu dengan
para sahabat[16]. ada juga yang memasukkan
dalam kategori tafsir ini riwayat israiliyyat.[17].
b.
Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir
bi ar-Ra’yi adalah tafsir yang disusun oleh para mufassir untuk menjelaskan
makna kata berdasarkan pemahaman khas dan di istimba>t
melalui proses penalaran.[18]Model
tafsir seperti ini contohnya adalah tafsir al-Kasysya>f yang disusun oleh Zamakhshari, Tafsir mafa>tih al-ghayb karya Fakhruddin ar-Razi serta tafsir al-bahr al-muhi>th yang ditulis oleh Abu Hayyan.
Disamping
kedua model tafsir di atas, ada juga tafsir yang berkembang di kalangan kaum
muslimin, yaitu tafsi>r bi al isha>rah atau
tafsir Isha>ri. Tafsir model seperti
ini banyak digunakan oleh para ahli tasawwuf. Namun tafsir ini diperselisihkan
keabsahannya oleh para ulama dan tidak layak disebut sebagai tafsir serta tidak
bisa diterima kecuali apabila memenuhi empat syarat yaitu : Pertama, harus
tidak bertentangan dengan pengertian kata di dalam Alqur’an. kedua, makna yang
ditunjukkan harus benar. ketiga, harus ada di dalam kata tersebut sesuatu yang
menunjukkan maknanya. dan keempat, antara tafsir dengan makna ayat harus ada keterkaitan.[19]
5.
Metode Menafsirkan Al-Qur’an
Pada konteks metode penafsiran, penulis tidak hanya membatasi pada
tata cara yang dibutuhkan untuk menafsirkan Alqur’an saja, namun mencakup
hal-hal yang saling terkait di dalam menghasilkan hukum syara’. Hal ini sangat
penting di karenakan Allah SWT telah mewajibkan hambanya agar selalu terikat
dengan hukum shara’ dalam seluruh aktifitasnya. Sedangkan proses untuk memahami
secara komprehensif terhadap hukum shara’ tidak sekedar terbatas pada pemahaman
atau penafsiran terhadap petunjuk-petunjuk Alquran, namun ada sumber-sumber
hukum Islam lainnya yang mesti dirujuk seperti Sunnah Rasulullah, ijma’ sahabat
maupun qiyas shar’i. Sementara aktifitas menafsirkan atau melakukan istimba>th terhadap hukum shara’ memerlukan langkah-langkah yang harus
ditempuh oleh para mufassir, agar hasil ijtihadnya bisa dipertanggung jawabkan
secara shar’i. Secara umum langkah-langkah tersebut terbagi dua yaitu memahami
nash dan memahami realitas yang menjadi fakta hukum.
A.
Memahami Nash
Tata cara memahami nash ini tentu yang lebih dulu harus diutamakan
adalah pengetahuan tentang sumber-sumber hukum Islam. Sumber-sumber hukum atau
yang lebih populer disebut dengan dalil-dalil syara’ sebagaimana yang telah
disepakati oleh para ulama hanya terdiri dari empat hal yaitu : Al-Quran,
Hadith, Ijma sahabat dan Qiyas.[20]
Sedangkan hal-hal lain seperti istihsan, mashalih mursalah, ‘urf, madzhab
sahabat dan lain sebagainya masih diperselisihkan.
Sedangkan dalam rangka memahami nash, maka ada hal-hal yang harus
diperhatikan oleh para Mufassir yaitu sebagai berikut:
1.
Memperhatikan Aspek Kebahasaan
Sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan Alqur’an dengan
menggunakan bahasa arab. oleh karena itu cara memahami Alquran tidak akan
pernah lepas dari bahasa yang digunakannya. Allah SWT berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا
عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya
kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS: 12: 2)
Dan
cara memahami bahasa arab tentu mengharuskan kita mengetahuinya berdasarkan
hasil transmisi dari orang-orang arab, dalam hal ini akal tidak bisa mendesain
atau mencoba memahaminya kecuali berdasarkan hasil transmisi penuturnya yaitu orang-orang
arab. Dari hasil kajian fakta
tentang bahasa arab, maka untuk memahami bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur’an
setidaknya ada 4 hal yaitu: [21]
a.
Makna
Hakiki
Makna hakiki dari penggunaan bahasa
arab ini terbagi menjadi tiga yaitu :
1.
Hakikat
kebahasaan
Adalah makna yang ditunjukkan oleh
kata sebagaimana asal kata tersebut digunakan oleh orang-orang arab. misalnya
kata ra’sun yang memiliki arti “kepala” yang menunjuk pada anggota tubuh
bagian atas, baik pada hewan maupun pada manusia.
2.
Hakikat ‘urfiyah
Adalah makna kata yang telah
mengalami transformasi dari makna asal kepada makna lain dan sudah menjadi
makna yang populer digunakan oleh para penuturnya dengan meninggalkan makna
asalnya. seperti kata dabbatun, kata ini makna asalnya adalah setiap hewan
yang melata di bumi menjadi populer di kalangan arab dengan makna hewan yang
berkaki empat
3.
Hakikat
Shar’iyah
Hakikat shar’iyah adalah makna kata
yang mengalami trasformasi dari makna asal yang digunakan oleh orang-orang arab
menjadi makna yang dikehendaki oleh pembuat syari’at atau Allah SWT. misalnya
kata “Shalat”, makna asalnya adalah do’a namun mengalami trasformasi
menjadi makna khas yang diinginkan oleh Islam yaitu suatu aktifitas peribadatan
yang dilakukan oleh seorang muslim kepada Allah SWT. makna ini diambil dari
perkataan maupun perbuatan Rasulullah SAW ketika menunjuk pada pengertian
shalat.[22]
b.
Makna
Konotatif atau Majaz
Makna konotatif atau majaz ini
adalah penggunaan kata yang pengertiannya tidak sebagaimana makna asalnya, dan
pengertiannya bisa di analisa melalui berbagai indikasi, dan ini membutuhkan
keahlian dalam bidang ilmu balaghah atau kesusasteraan arab seperti contoh yang
disebutkan di dalam Al-Qur’an :
الر. كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ
لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
Artinya : Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang
kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita
kepada cahaya terang benderang (QS: Ibrahim :1)
Kata dzulumat pada ayat di
atas digunakan dengan makna asal gelap gulita, sementara yang dimaksudkan
adalah kesesatan atau kekufuran. Kemudian kata nur yang bermakna cahaya
adalah dimaksudkan Hidayah atau Islam.
c.
Isytiqaq
Isytiqaq adalah
penggunaan kata pecahan dengan konotasi yang berkaitan langsung dengan kata
dasarnya, atau dalam ilmu nahwu di kenal dengan istilah tashriif (perubahan
kata) dengan menggunakan standard kata (wazan-al-kalimah). Kata isytiqaq
ini penting untuk diperhatikan agar memudahkan di dalam aktifitas penafsiran
d.
Arabisasi
atau Ta’rib
Arabisasi adalah kata ‘ajami atau kata-kata
yang bukan berasal dari bahasa arab namun telah di arabkan sehingga menjadi
bagian dari bahasa arab setelah mengalami perubahan dari kata asalnya dengan
mengikuti standard bahasa Arab. Dalam Al-Qur’an kata yang termasuk ta’ri>b
ini terdapat pada kata al-qistha>s
dalam
surat al-Isra’ : 35 yang di ambil dari bahasa Yunani, kata sijji>l
dalam
surat al-Hijr : 74 yang berasal dari bahasa persia, kata al-ghassa>q
dalam surat an-Naba’ : 25 yang diambil dari bahasa Turki, kata ath-thur yang
terdapat dalam surat al-Baqarah : 63 yang berasal dari bahasa syiria, serta al-kifl
pada surat al-Hadid : 28 yang berasal dari bahasa abesinia (habsyah)[23].
2.
Memperhatikan
Batasan Akal
Dalam aktifitas penafsiran
Al-Qur’an, akal memiliki peranan penting sehingga hubungan akal dengan wahyu dapat
diposisikan secara tepat, sekaligus batasan akal juga dapat di identifikasi secara
jelas agar para mufassir tidak terjebak pada paradigma kebebasan berfikir yang
saat ini melanda dunia Islam hingga Al-Qur’an terkadang justru bukan
diposisikan sebagai hudan lin nas namun sebagai obyek rasionalisasi.
Sebagaimana
yang telas dijelaskan sebelumnya bahwa Alqur’an merupakan kitab suci berbahasa
Arab, dimana makna bahasa yang dikandungnya tidak mungkin bahkan mustahil di
rasionalisasi kecuali kita hanya memahaminya berdasarkan karakter makna bahasa
yang dimiliki oleh para penuturnya yaitu orang-orang arab. Dengan demikian
posisi akal dalam hal ini menempati sebagai instrumen untuk memahami makna
Al-Qur’an dengan karakter bahasa arab sebagai bahasanya.
Disamping
itu pengertian dan batasan akal juga harus dipahami dengan jelas, karena jika
tidak, maka itu akan mempengaruhi penafsiran dan terjebak pada hal-hal yang
sebenarnya tidak bisa dijangkau oleh akal, kemudian menjustifikasi kebenaran postulat
yang dihasilkan menggunakan dalil-dalil
dzanni, kenyataan ini bukan menciptakan produktifitas dalam penafsiran namun
justru akan menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai bahkan bisa
menimbulkan polemik. Kenyataan seperti ini pernah terjadi pada kalangan ahli
kalam atau para mutakallimin ketika mereka mencoba menafsirkan pengertian keesaan
Allah yang terdapat pada surat Al-Ikhlas. Kata satu atau esa tersebut masih dianalisa
oleh mereka mengenai substansinya, hingga berpolemik apakah dzat Allah menyatu
dengan sifatnya atau terpisah, sampai pada polemik tentang status Alqur’an,
Makhluk atau kalam Allah yang bersifat qodim. hal itu terjadi disamping
karena pengaruh filsafat yunani, juga karena belum jelasnya batasan akal
tersebut. Oleh karena itu peranan dan batasan akal harus terdefinisi dengan
jelas sehingga hasil penafsiran terhadap Alquran mampu memuaskan akal dan
menenangkan hati sebagaimana para sahabat Rasulullah memahami Alquran.
Jika
kita telaah secara analitis terhadap fakta akal, maka kinerja akal atau proses
berfikir hanya bisa dilakukan jika memenuhi empat komponen yaitu:
1.
Fakta terindera
2.
Panca indera
atau penginderaan manusia
3.
otak yang normal
4.
Informasi awal[24]
Jika empat komponen ini tidak terpenuhi
kendati dari satu diantaranya, maka aktifitas berfikir tidak akan pernah bisa
berfungsi, kalaupun dipaksakan maka hasilnya bukanlah hasil berfikir namun merupakan
imajinasi atau hayalan. Oleh karena batasan akal ini maka para sahabat Rasul
waktu itu hanya menerima apa adanya informasi yang disampaikan Al-Qur’an
tentang masalah-masalah gaib yang berada diluar penginderaan manusia seperti
malaikat, jin, surga maupun neraka. Ketika Allah menjelaskan bahwa ia maha esa,
maka cukuplah akal memahaminya sebagaimana yang di informasikan oleh nash. Mengenai
tentang substansi satu, apakah terdiri dari berbagai unsur kemudian membentuk
satu kesatuan, atau satu dalam pengertian lepas dari berbagai unsur, maka hal
itu berada diluar penginderaan manusia karena tidak ada informasi mengenai hal
tersebut. Dengan demikian amat sangat relevan apa yang pernah di sabdakan oleh
Rasulullah SAW :
تفكروا في خلق الله ولا
تفكروا في الله.
Artinya :
Berfikirlah tentang masalah makhluk Allah dan jangan kalian berfikir tentang
dzat Allah.
3.
Memperhatikan
Aspek Muhkam Dan Mutasyabih
Jika pada ayat-ayat
Al-Qur’an terdapat satu makna yang sudah jelas, maka berarti ayat tersebut
adalah ayat muhkamat. Jika memiliki berbagai kemungkinan makna atau makna yang
dikandungnya masih ada kesamaran maka ayat tersebut dinamakan sebagai ayat
mutasyabihat. Dalam keterkaitan dengan ayat muhkama>t dan mutashabiha>t maka seorang mufassir
harus menjadikan ayat muhkamat sebagai penentu atau pijakan dasar di dalam
memahami ayat mutasyabihat. karena sebagaimana di sebutkan di dalam Al-Qur’an
ayat muhkamat merupakan induk Alqur’an sementara mutasyabihat adalah
cabangnya. Ayat muhkamat bersifat pasti secara dala>lah
sedangkan
mutasyabihat adalah z}anni dari segi dalalahnya.
Dengan demikian sesuatu yang pasti harus menjadi parameter bagi ayat yang masih
relatif.
4.
Memperhatikan
Integrasi Ayat Dalam Kerangka Konseptual Al-Qur’an
Al-Quran merupakan
kitab petunjuk yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah sebagai pedoman
bagi kehidupan manusia, oleh karena itu keseluruhan ayat yang terdapat dalam
Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang bersifat integral dan tak terpisahkan.
Didalam Al-Quran tidak mungkin secara hakiki terdapat pertentangan, karena ia
bersumber dari yang satu yaitu Allah SWT. Allah SWT telah berfirman di dalam
Al-Qur’an:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ
اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Artinya : “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau
kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS:
An-Nisa’: 82)
Tidak dapat
dipungkiri bahwa banyak pemahaman dan penafsiran terhadap Al-Quran mengakibatkan
polemik tak berkesudahan di sebabkan karena pemahaman terhadap ayat secara
parsial dan tidak mampu menemukan keterpaduan konseptual di dalamnya
sebagaimana pertentangan paham Jabariyah dengan Qadariyah tentang masalah
Qadha’ dan Qadar. Masing-masing paham ini menggunakan tafsirnya terhadap ayat
sesuai dengan pemahamannya dengan tidak memperhatikan ayat lainnya, hingga
dalam sejarahnya perbedaan paham tersebut telah menimbulkan polemik, bukan
hanya pada level pemikiran namun telah terseret pada arus kepentingan politik
kekuasaan dan membawa ekses fanatisme sektarian. Dengan demikian memperhatikan
keterpaduan ayat dalam Alqur’an merupakan perkara urgen dalam setiap
penafsiran.
5.
Memperhatikan Banyaknya Aspek Dalalah di dalam Al-Qur’an
Jika di dalam Alqur’an terdapat banyak aspek dalalah yang
ditunjukkan oleh nash maka yang harus dilakukan oleh seorang mufassir adalah
melakukan tarjih terhadap berbagai riwayat atau multi dalalahnya
tersebut. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan oleh para mufassir agar
hasil penafsirannya menjadi pendapat yang kokoh dan tidak terjebak pada
pertentangan dalil, karena sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwasanya
Al-Qur’an adalah membentuk kesatuan konseptual, tidak ada pertentangan di dalamnya.
contoh aspek dalalah yang nampak dipermukaan terjadi pertentangan adalah
ayat mengenai kehendak Allah SWT terhadap perbuatan manusia, apakah perbuatan
manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagaimana firmannya:
والله خلقكم وما تعملون.
Artinya: “Padahal Allah lah
yang menciptakan kalian dan apa saja yang kalian perbuat” (QS: Ash-Shaffaat : 96)
Atau manusialah yang
menciptakan perbuatannya sendiri seperti firmanNya dalam Alqur’an :
وَقُلِ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya: “ Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (QS : Al-Kahfi: 29)
Ayat diatas nampak secara dzahir bertentangan antara satu dengan
lainnya, sehingga para mutakkalimin pada masa yang lalu telah terjebak pada
perdebatan dan polemik yang tak terselesaikan. Dengan demikian, pada konteks
ayat seperti ini seorang mufassir harus melakukan tarjih[25]
yaitu dengan cara mengkompromikan dua dalil yang saling bertentangan tersebut
dengan mentakwilkan salah satu atau keduanya secara bersama-sama untuk
menghindarkan pertentangan antara keduanya,[26]
atau memilih dalil yang lebih rojih diantara kedua dalil yang bertentangan
tersebut jika tidak bisa dikompromikan.
Ayat pertama yang menjelaskan bahwa Allah lah yang menciptakan
manusia sekaligus perbuatannya bisa ditakwil dengan menjelaskan bahwa
penciptaan Allah terhadap perbuatan manusia itu tidak bersifat langsung, namun
Allah menciptakan potensi terhadap manusia untuk melakukan sesuatu, misalnya
manusia bisa makan karena Allah telah menciptakan kebutuhan jasmani dalam diri
manusia. Manusia berkeinginan menikah dengan lawan jenisnya itu disebabkan
karena naluri seksual yang diciptakan oleh Allah SWT. begitu juga manusia dalam
sepanjang sejarahnya selalu melakukan aktifitas peribadatan atau penyembahan
terhadap dzat atau sesuatu yang dapat melindungi dirinya adalah karena potensi
naluri beragama didalam dirinya, itu semua adalah fitroh yang telah diciptakan
oleh Allah SWT. Namun manusia mau makan yang halal atau yang haram, mau menikah
dengan jalan shar’i atau berzina adalah murni pilihan manusia bukan penciptaan
Allah. termasuk juga apakah manusia mau beriman dengan Islam atau ingkar dengannya
adalah pilihan manusia yang akan ia pertanggung jawabkan di hadapanNya, Allah
hanya menciptakan fitroh naluri beragama dalam diri manusia yang mendorongnya
untuk melalukan penyembahan atau peribadatan, akan tetapi bentuk penyembahan
yang dilakukan manusia adalah didasarkan pada pilihannya. proses pengkompromian
pengertian ayat seperti ini akan menghasilkan penafsiran yang memuaskan akal
dan menenangkan hati sehingga tidak diselimuti oleh kebingungan karena
pertentangan dalil.
B.
Memahami Fakta Hukum
Disamping memperhatikan nash dalam proyek penafsiran, sesuatu yang
tidak kalah penting harus diperhatikan oleh seorang penafsir adalah
memperhatikan fakta permasalahan yang akan dihukuminya. Jika memahami hakekat
fakta ini keliru maka itu akan menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran dan pada
gilirannya juga keliru melakukan istimba>th hukum. Dengan demikian
memahami fakta hukum memerlukan ketelitian dan kedalaman sehingga tidak salah
dalam menempatkan nash terhadap fakta tersebut. Sebagai analogi dari keharusan
memahami fakta atau realitas permasalahan tersebut adalah semisal seorang dokter
ketika melakukan diagnosis terhadap penyakit pasien, jika dokter tersebut salah
dalam melakukan diagnosis maka resep yang ia berikan juga akan keliru. Begitu
juga seorang mufassir jika tidak tepat atau kurang mendalam memahami fakta maka
ia akan mengalami kekeliruan menetapkan nash yang akan menghukumi fakta
tersebut. Sebagai contoh dari masalah ini penulis ambilkan isu actual yang saat
ini cukup memberikan pengaruh terhadap terjadinya disharmoni antara Islam
dengan Barat, yaitu pemutaran film Innocence of Muslims. Sebagian
kalangan menganggap bahwa film tersebut adalah kenyataan berulang atas
penghinaan dan kebencian kafir Barat terhadap Islam sehingga nash yang diambil
adalah yang berkaitan dengan sikap Islam terhadap penghinaan tersebut serta
sikap kaum muslimin terhadap negara-negara kafir tersebut. Ayat Alqur’an yang
digunakan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ
دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ
الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ
بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang
yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata
kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah
lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika
kamu memahaminya. (QS: Ali Imron : 118)
Dari pengertian ayat ini, maka sikap yang harus diambil oleh kaum
muslimin adalah sikap tegas dan memutuskan segala bentuk hubungan dengan
negara-negara kafir tempat film itu di produksi dan di distribusikan.
Sebagiannya lagi menganggap bahwa hal tersebut adalah fakta
ketidak pahaman barat terhadap konsepsi Islam dan nabinya, sehingga nash yang
dibutuhkan dalam hal ini adalah nash-nash yang terkait dengan dakwah, dan dalam
menyikapinya hendaknya umat Islam tidak perlu marah, karena sebagaimana dalam
Alqur’an yang menjelaskan dakwah harus dilakukan dengan hikmah, memberikan mau’iz}ah hasanah dan melakukan pendekatan dialogis secara baik. Ayat yang digunakan
adalah:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. (QS : An-Nahl: 125)
Kedua pemahaman yang berbeda tersebut
bukan terletak pada penafsiran teks itu sendiri, namun terletak pada pemahaman
fakta persoalan yang akan di hukumi. Dengan demikian memahami fakta persoalan
yang menjadi obyek hukum juga memiliki pengaruh signifikan dalam proses istimba>th di dalam menafsirkan nash secara tepat.
Dalam keterkaitan dengan isu film Innocence
of Muslims, maka untuk memahami fakta persoalannya tidak cukup hanya
memahami permasalahan tersebut secara terpisah, namun ia harus dipahami secara
menyeluruh dengan hal-hal yang saling terkait, hingga pengambilan kesimpulan
data yang diperoleh menunjukkan hasil yang sebenarnya, misalnya dikaitkan
dengan persoalan yang sama pada kejadian yang pernah terjadi sebelumnya semisal
film fitna, pembuatan karikatur yang berisi penghinaan kepada Nabi di
Denmark, maupun pengamatan secara teliti terhadap sikap dan kebijakan politik
negara-negara barat terhadap dunia Islam. Jika semua fakta itu telah dianalisis
secara terpadu maka akan dapat dihasilkan fakta yang sesungguhnya, apakah film
tersebut merupakan fakta penghinaan atau fakta kesalah pahaman barat terhadap
Islam, hal demikian adalah keniscayaan yang harus dilakukan oleh siapapun yang
mau menafsirkan nash Al-Qur’an agar pengambilan nash yang akan ditafsirkan
menjadi relevan dan terkait. Demikianlah metode baku dalam setiap penafsiran
terhadap nash Alqur’an hingga hasil istimba>th yang
dilakukan oleh seorang mujtahid menjadi fungsional dan aplikatif dalam
kehidupan.
D.
KOREKSI TERHADAP IDE PENYIMPANGAN DALAM PENAFSIRAN
Setiap ikhtiar untuk melakukan
penafsiran terhadap Al-Qur’an sejatinya merupakan pertanggung jawaban transendental
dihadapan Allah SWT agar dapat memahami pesan dan petunjuknya dalam memecahkan seluruh
problematika kehidupan. Bagi kaum muslim Al-Qur’an merupakan kitab suci yang
menjadi pedoman dan way of life dalam segala dimensi kehidupan. Oleh
karena itu, setiap penafsiran harus terlepas dari berbagai kepentingan duniawi dan
kecenderungan hawa nafsu, temasuk juga harus terbebas dari kemungkinan pengaruh
pemahaman atau ideologi asing yang justru akan merusak pemikiran kita sebagai
umat Islam, hingga pemahaman yang diperoleh bukan semakin dekat dengan konsep Al-Qur’an
namun semakin jauh tanpa disadari.
Kita harus
menyadari secara akademis, bahwa kondisi kaum muslimin saat ini berada pada kondisi
memperihatinkan, berbeda jauh dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT
di dalam Al-Qur’an :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya: “Kalian adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..." (QS: Ali Imron :
110)
kondisi inilah yang secara
tidak langsung membuat umat Islam inferior dengan peradaban barat, dan
pada gilirannya juga ikut andil telah mempengaruhi para pemikir dari kalangan
umat Islam untuk menselaraskan pandangan Islam dengan pandangan-pandangan Barat
tentang kehidupan dengan argumentasi demi tuntutan zaman atau alasan
kontekstualisasi. Kemudian sikap mental inferior ini pada tataran selanjutnya
juga memberikan pengaruh signifikan terhadap proyek penafsiran Al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak lagi dipahami sebagai hudan yang telah tersusun dengan
sempurna membentuk konsep tersendiri secara unik dan berbeda dengan yang lain,
namun telah diposisikan sebagai obyek konsultatif untuk di selaraskan dengan
realitas zaman yang notabene adalah hasil dominasi sistem pemikiran Barat.[27]
Berangkat
dari kenyataan itu, penulis merasa terpanggil untuk meletakkan paradigma yang s}ahi>h ditengah kreasi tafsir kontemporer dengan penjelasan mengenai
sejumlah ide dan sudut pandang yang digunakan. Diantara ide maupun pandangan
tersebut adalah:
1.
Hermeneutika
dan Tafsir Al-Qur’an
Dalam
perkembangan tafsir Al-Qur’an kontemporer muncul istilah hermeneutika Qur’ani.
Hermeneutika sebagai metode tafsir mutakhir amat digandrungi oleh banyak
kalangan akademisi, para intelektual, terutama bagi yang menggeluti Islamic
Studies. Bahkan tata cara tafsir ala hermeneutika ini tanpa dikoreksi asal
asulnya telah banyak dijadikan sebagai manhaj tafsir alternatif yang
diyakini lebih aktual dan kontekstual untuk menjawab tantangan dan persoalan
zaman yang kompleks. Padahal istilah hermeneutika ini merupakan istilah asing
dan tidak memiliki akar pemikiran sedikitpun dalam Islam. Hermeneutika berasal
dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, dan dari kata hermeneuein
diambil kata bendanya menjadi hermeneia yang memiliki arti
penafsiran atau interpretasi, kemudian kata hermeneutes mempunyai arti interpreter
(penafsir)[28]
Istilah
hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci pertama kali dimunculkan oleh
J.C. Dannhauer dalam bukunya hermeneutica sacra siva methodus expondarum
Sacrarum Litterarum. istilah hermeneutika ini dimaksudkan untuk memahami pesan
kitab-kitab suci yang dilakukan oleh para agamawan[29]
Menurut
para ahli pembakuan istilah hermeneutika sebagai ilmu, metode dan tehnik
memahami pesan atau teks sesungguhnya baru terjadi sekitar abad ke-18 Masehi,
menyusul terjadinya gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther di Jerman.
Para teolog kristen protestan menentang klaim otoritas gereja katolik dalam
pemaknaan dan penjabaran kitab suci, menurut mereka menafsirkan bibel adalah
hak setiap orang asalkan ia mengetahui bahasa dan konteks sejarahnya.[30]
Dari
kemunculan istilah ini sudah bisa dianalisa bahwa metode tafsir hermeneutika
memiliki pandangan dunianya sendiri karena ia berangkat dari akar sejarah
kristen eropa yang notabene kitab sucinya yaitu bibel mengandung sejumlah
problematika dari sisi otentisitasnya. Sedangkan Al-Qur’an telah melampaui
ruang dan waktu dan terbukti secara ilmiah dan rasional akan otentisitasnya.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa metode hermeneutika tidaklah bebas nilai,
ia memiliki sejumlah asumsi dan konsekuensi yaitu[31]
pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, baik kitab suci
maupun bukan merupakan hasil kreasi manusia. Pandangan seperti ini berangkat
dari kekecewaan para teolog kristen setelah mereka menyadari bahwa bibel yang
semula dianggap sakral dan masih suci kemudian belakangan diragukan keasliannya.
Kedua, hermeneutika mengangggap teks sebagai produk sejarah. Setiap
pemaknaan terhadap teks selalu berubah sesuai dengan faktor sejarah dan setting
sosial dimana teks itu lahir, sehingga para praktisi hermeneutika dituntut
untuk selalu bersikap skeptis terhadap kebenaran darimanapun datangnya, dan
terus terperangkap dalam apa yang disebut dengan lingkaran hermeneutis. Meminjam
istilah yang digunakan oleh tokoh pemuja hermeneutika Mesir, Nasr Hamid Abu
Zaid[32]ketika
mengungkapkan tentang bangunan dan pijakan epistemologi sebuah peradaban, ia
menyatakan bahwa hal itu merupakan proses dialektika manusia dengan
realitasnya, kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya di satu sisi dengan
proses dialog kreatif terhadap teks pada sisi yang lain.[33]
Pernyataannya ini menegaskan bahwa makna teks atau nash akan selalu berubah
sesuai hasil dialektika manusia dengan nash dalam konteks dan ruang lingkup
sejarahnya. Ketiga, hermeneutika menghendaki para pelakunya memiliki
paham relativisme epistemologis. Menurut hermeneutika tidak ada kebenaran yang
pasti, semuanya bersifat relatif sesuai dengan tendensi penafsir dan konteks
sejarahnya. Pandangan seperti ini jelas akan menciptakan keragu-raguan terhadap
kebenaran dan memberikan peluang kepada orang yang bukan ahlinya untuk
menafsirkan nash secara serampangan, karena semua hasil tafsir dianggapnya berada
dalam kerangka relatifisme. Secara metodologis pandangan seperti ini berbeda jauh
dengan kerangka metode tafsir para ulama salafus shaleh yang membagi
teks atau nash menjadi Qath’i (pasti kebenarannya) dengan Dzanni (relatif
kebenarannya). Namun pengertian dzanni menurut para ulama tentu juga berbeda
dengan para penganut hermeneutika. Dzanni dipahami sebagai hasil
pemahaman dari nash yang mengandung berbagai kemungkinan makna lafadz atau dari
sumber periwayatan yang tidak sampai mencapai derajat mutawatir. pengertian
dzanni sumbu putar atau masdar al-hukmi nya tetap terletak pada
nash bukan pada realitas sejarah sebagaimana hermeneutika. Menurut Imam Shafi’i
setiap ijtihad itu harus di dasarkan kepada dalil atau shubhah dalil dan merupakan satu keharaman bagi seseorang yang berpendapat
berdasarkan kerangka Istihsa>n jika tidak di dasarkan
kepada Al-Qur’an dan Sunnah.[34]
Pendapat Imam syafi’i tersebut sesuai dengan apa yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW :
مَن
قال فى القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ ( رواه الترمذى وأبو داود)
Artinya: “ Barang siapa yang berpendapat di dalam Al-Qur’an
berdasarkan pendapatnya semata lalu ia benar maka sungguh ia telah salah.[35]
Berdasarkan
hal itu, maka seorang muslim tidak semestinya mengambil barang impor kecuali
hanya yang berasal dari khasanah pemikiran Islam. Hermeneutika telah nyata
bertentangan dengan metode pemahaman nash Al-Qur’an yang telah dirumuskan
dengan susah payah oleh para ulama salafus s}aleh, semata
mereka hanya ingin memahami Islam sesuai dengan sumber aslinya yaitu
berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Metode
hermeneutika disadari atau tidak telah cukup memberikan pengaruh terhadap
pemahaman dan penafsiran teks, terutama pada perkembangan pemikiran
kontemporer. Dan untuk mengantisipasi hal itu, sekaligus untuk memastikan
apakah sebuah penafsiran terhadap nash Al-Qur’an merupakan hasil pemikiran pribadi
tanpa didasarkan kepada dalil, maka Imam Ghazali sebagaimana dikutip oleh
Syamsuddin Arif telah merumuskan metode penafsiran yang dilarang yaitu: pertama,
penafsiran Alqur’an melalui pendekatan linguistic semata, tanpa
menghiraukan hadits dan riwayat yang shahih. Kedua, Jika penafsiran
terhadap Al-Qur’an sengaja melompati dan menafikan tafsir literal dengan
menggunakan tafsir allegoris. Ketiga, jika penafsiran terhadap nash
sudah didahului oleh pra anggapan, teori, pemikiran, ideology, keyakinan atau
tujuan tertentu, kemudian Alqur’an ditafsirkan sesuai dengan apa yang ada dalam
pra anggapan sebelumnya yang sudah dimiliki.[36]
2.
Koreksi Atas Pandangan “Perubahan Hukum Karena Perubahan Kondisi
Dan Tempat
Pada
era globalisasi seperti yang terjadi saat ini, dimana seluruh pemikiran maupun
ideology dunia menembus batas negara tanpa terkendali, ditambah lagi umat Islam
berada pada posisi mengalami kedangkalan berfikir, maka menjadi tak terelakkan
pemikiran Islam yang digagas oleh sebagian cendekiawan muslim menjadi kabur dan
membingungkan. Mereka menghembuskan gagasan dengan menyatakan bahwa Islam
bersifat fleksibel dan selalu sesuai dengan tuntutan zaman karena ajaran
universalitasnya. Mereka menetapkan gagasannya tersebut berdasarkan kaedah
“Tidak dipungkiri bahwa perubahan hukum adalah akibat dari perubahan waktu dan
tempat”. Bahkan dalam rangka memperkuat pendapatnya tersebut mereka tidak
segan-segan memasang justifikasi terhadap seorang imam besar yaitu Imam shafi’i
tentang masalah Qaul qadi>m dengan Qaul Jadi>d. Qaul qadim yang dirumuskan oleh imam syafi’i pada saat beliau
tinggal di Baghdad dengan Qaul jadid ketika beliau tinggal di Mesir mereka
klaim sebagai proses perubahan hukum karena faktor tempat dan kondisi yang
berbeda. Apakah memang factor tempatlah
yang menjadi penentu perubahan pendapat Imam syafi’I tersebut, maka untuk
melacaknya tentu kita harus memahami kerangka rumusan ushul fiqh nya Imam
syafi’i. Imam syafi’i berpendapat dalam kitab ushul fiqhnya “Ar-Risa>lah” bahwa setiap ijtihad harus didasarkan kepada dalil atau syubhah
dalil sebagaimana sebelumnya telah penulis jelaskan. Hal ini dapat kita simpulkan
bahwa sesungguhnya perubahan pendapat Imam syafi’i bukan di dasarkan kepada
perubahan tempat, namun karena perubahan kekuatan istimba>th beliau terhadap dalil.
Kalangan
tokoh yang mengemukakan bahwa hukum Islam selalu berubah sesuai dengan setting
sosial, ekonomi maupun politik tersebut sejatinya baik disadari ataupun tidak
telah terpengaruh oleh kerangka metode tafsir hermeneutik yang notabene
memiliki landasan relatifistik karena menurut mereka makna teks adalah hasil pergumulan
antara nash dengan konteks sejarah serta tuntutan zaman.
Bagaimana
mungkin mereka berpendapat demikian, padahal Islam datang justru dalam rangka
merubah realitas buruk yang tidak sesuai dengan Islam, mengeluarkan manusia
dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya petunjuk. Kisah dakwah Rasulullah SAW di
mekah yang justru menantang realitas dan bersungguh-sungguh untuk merubahnya
adalah bukti bahwa Islam bukan dalam rangka menyelaraskan dengan realitas zaman
namun telah hadir untuk merubah zaman agar sesuai dengan konsepsi Islam yang
termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits. Rasulullah SAW telah berdiri kokoh
memegang prinsip kendati masyarakat jahiliyah menentang dan memusuhinya, hal
itu tergambar dari pernyataan yang muncul dari lisan beliau yang mulya kepada
pamannya:
وَالله يا
عمّ لو وضعوا الشمس في يميني والقمر في يساري
على أن أترك هذا الأمر حتى يظهره الله أو أهلك فيه ما تركته[37]
Artinya
: Wahai paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku agar saya meninggalkan urusan ini, saya tidak akan
meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau saya binasa karena itu.
Pernyataan tegas Rasul SAW menunjukkan bahwa risalah
Islam yang dibawa oleh beliau bersifat revolusioner yaitu dalam rangka merombak
kenyataan zaman jahiliyah dan membentuk sistem kehidupan baru yang selaras
dengan konsep Islam maupun Al-Qur’an. Dan kita mengetahui bagaimana para
sahabat nabi juga telah banyak berkorban untuk hal tersebut hingga diantara
mereka ada yang syahid di Jalan Allah.
Sedangkan para penggagas bahwa hukum
Islam berubah karena perubahan zaman itu, banyak diantara mereka telah lancang
dan berani merubah hukum Allah yang sudah pasti kebenarannya. Mereka menyerukan
reinterpretasi Al-Qur’an agar bisa sesuai dengan semangat zaman. Bahkan ada
diantara mereka yang justru menghembuskan keraguan akan otentisitas Al-Qur’an.
Para penyeru ide nyeleneh ini kebanyakan
menggunakan kerangka berfikir maslahat sebagai standard Ijtihad, namun tentu
maslahat yang dimaksud bukan di dasarkan pada konteks hasil pemberlakuan sistem
shari’ah, namun maslahat menurut timbangan akal an sich sehingga
kekacauan epistemologisnya sangat kentara. Insyaallah penulis akan jelaskan
pada bagian berikutnya.
3.
Menimbang Maslahat Sebagai Motif Interpretasi Al-Qur’an
Telaah
akademis kali ini lebih menekankan kepada studi kritis terhadap gagasan
kemaslahatan sebagai motif penetapan shari’ah Islam, yang kemudian ikut
memberikan andil terhadap rumusan metode penafsiran Al-Quran. Para pembawa ide
ini menyebutkan bahwa risalah Islam itu didasarkan pada motif kemaslahatan
sebagai pijakan penetapannya. Atas kerangka berfikir seperti ini, mereka
berupaya menafsirkan nash Al-Qur’an sesuai dengan motif kemaslahatan yang dapat
diperoleh. Jika nash menegaskan penetapan salah satu hukum, namun tidak tampak maslahat
yang akan dihasilkan, maka harus dilakukan reinterpretasi agar tujuan syariah
bisa diwujudkan. Mereka beranggapan bahwa syari’ah datang berikut tujuannya
yaitu demi menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Ayat Alqur’an yang sering
dijadikan pijakan adalah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ( الانبياء :107)
Artinya : Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Berdasarkan pengertian dari
ayat tersebut, Kehadiran Rasulullah SAW berikut risalah Islam yang dibawanya senantiasa
akan membawa rahmat atau kemaslahatan bagi alam semesta. Namun maslahat yang dimaksud merupakan hikmah (akibat) penerapan syariat,
bukan motif penetapan syariat. Jika maslahat dijadikan sebagai motif penetapan
syariah maka tentu setiap penetapan syariah seperti kewajiban jiha>d
fi> sabi>lillah yang nampak dalam pandangan
akal membawa mudharat seperti kematian atau kecacatan tubuh maka penetapannya
menjadi batal karena motif kemaslahatannya tidak terwujud, dan hal itu
bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang berbunyi:
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا
وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ( البقرة
: 216)
ِArtinya : Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu
adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.
Ayat di atas menegaskan
bahwa baik buruknya sesuatu tidak bisa diukur berdasarkan pilihan baik maupun
buruk berdasarkan pertimbangan akal manusia. Namun ketentuan baik atau buruk
hanya berdasarkan syari’ah Islam saja. Dengan demikian penentuan maslahat
maupun mafsadat juga tidak bisa diserahkan kepada manusia namun harus
didasarkan pada standard syara’. Jika ketentuan tentang maslahat diserahkan
kepada akal, maka dengan keterbatasannya akal tidak akan mampu menjangkau hakikat
tentang kemaslahatan. Akal bisa saja mengetahui mana yang membawa maslahat dan
mana yang mengandung mafsadat namun ia tidak akan mampu menjangkau hakekatnya.
oleh karena itu seperti yang telah dijelaskan pada ayat tersebut bahwa hanya
Allah lah yang mengetahuinya, sementara manusia tidak akan mengetahui. Dengan
demikian menjadikan akal an sich sebagai standard penentuan maslahat
adalah bentuk kekeliruan metodologis apalagi hal itu dijadikan sebagai pijakan
di dalam upaya penafsiran Al-Qur’an. Walla>hu a’lamu bi as-shawa>b
E.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Demikianlah
penulisan makalah ini disusun dan intisarinya dapat dirumuskan sebagai berikut
:
1.
Al-Qur’an
memiliki pengertian secara bahasa dan pengertian secara shar’i. Pengertian secara bahasa diambil dari bentuk mashdar
yang berasal dari kata qara’a dengan makna “bacaan”. Sedangkan
pengertian secara istilah syar’i adalah “kalam Allah SWT yang berupa mukjizat,
diturunkan kepada Muhammad SAW dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta
di nilai beribadah ketika membacanya”
2.
Istilah
tafsir dengan takwil para ulama berbeda pendapat, ada yang menganggapnya
sinonim, dan ada juga yang mempertegas perbedaannya. Perbedaan mendasar antara
tafsir dengan takwil adalah sebagai berikut:
Tafsir diartikan
sebagai aktifitas pemahaman terhadap lafadz di dalam nash Al-Quran sedangkan
takwil adalah upaya menangkap makna potensial atau sesuatu yang bersifat
implisit di dalam nash.
3.
Hukum
Menerjemahkan Al-Qur’an ; Jika terjemahan Al-Qur’an merupakan terjemahan maknawiyah/tafsiriyah
maka hal itu dibolehkan, namun jika terjemah harfiyah maka hukumnya tidak boleh,
disamping itu terjemahan harfiyah adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan
karena tidak akan ada bahasa yang representatif untuk menandingi Al-Qur’an
4.
Gaya
dan model penafsiran Al-Qur’an yang berkembang dikalangan kaum muslimin dan
dianggap sah tingkat akurasinya terbagi menjadi dua, yaitu tafsir bil-ma’thur
dengan tafsir bir-ra’yi
5.
Langkah-langkah
praktis untuk menafsirkan Al-Qur’an secara global terbagi dua yaitu pertama
bagaimana memahami nash Al-Qur’an dan kedua bagaimana memahami fakta hukum yang
terkait atau relevan dengan nash. Cara memahami nash diantaranya adalah memperhatikan
aspek kebahasaannya, memperhatikan batasan akal di dalam penafsiran,
memperhatikan aspek muhkam dan mutasyabih di dalam Al-Qur’an, memperhatikan
integrasi ayat di dalam keseluruhan nash dan memperhatikan kemungkinan
banyaknya aspek dalalah/riwayat di dalam Al-Qur’an. Sedangkan memahami
fakta hukum adalah proses memahami persoalan yang terjadi secara mendalam
kemudian menemukan nash yang dijadikan sebagai masdar al-hukmi untuk
menghukumi fakta tersebut.
6.
Ada
beberapa kerancuan metodologi dan kanker epistemologis terhadap model
penafsiran kontemporer disebabkan adanya ide-ide nyeleneh seperti masuknya metode
penafsiran ala hermeneutika terhadap Alqur’an, gagasan perubahan hukum karena
perubahan zaman dan tempat maupun pemikiran yang menganggap bahwa Maslahat
sebagai motif terhadap penetapan shariah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. Mafa>him
Islamiyah; Menajamkan Pemahaman
Islam, terj. M.Romli. Bangil, Al-Izzah, 2003
Abdurrahman,
Hafidh.
Metode Praktis Memahami
Alqur’an, Jakarta, Wadi Press. 2011
Adh-dhaha>bi, Muhammad
Husein. Tafsi>r wa al-mufassiru>n. Maktabah
Syamilah, t.t.
Al-Jurjani,
Ta’rifa>t. Beirut, Daar al-kitab al-‘arabi,
t.t
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam Visi dan Paradigma
Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh.Maghfur Wachid. Bangil, Al-Izzah,
1997
al-Qaththan,
Manna’. Maba>hith fi> ‘ulu>m al-Qur’an. Beirut,
Manthuraat al-ashr al-hadith, t.t
An-Nabha>ni,
Shahsiyah Islamiyah.
Bogor, Pustaka thariqul Izzah, 2003
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta,
GIP,2008
as
Suyu>ti, Jalaluddin. Al Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’an Beirut:
Dar al-Fikr, t.t)
As-Sha>fi’i, Ar-Risa>lah. Beirut, Da>r
al-Kutub al-ilmiyah, t.t.
Az
Zarqa>ni, Abd al-‘Adzim. Mana>h
al-‘urfa>n fi> ulu>m al-Qura>n, Beirut, Dar al-kitab al-‘arabi, 1995
bin Khalil, Atha’. At-Taisi>r
fi> ushu>l al-Tafsi>r. Beirut, Daar al-Ummah,cet 2,2006
Bin Khalil, ‘Atha’. Ushul
Fiqh ; Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj; Yasin as-Siba’I. Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, Cet;2,
2008
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks,
Konteks Dan Kontekstualisasi. Yogyakarta, PT,Qalam, 2002
Ibn Hisyam, Sirah
Nabawiyah li ibn hisha>m. Beirut, Daar al-fikr, 1994
Izutsu, Thosihiko. Relasi
Tuhan dan Manusia, Terj; Agus Fahri Husein dkk. Yogya, PT Tiara
Wacana Yogya, 1997
Latief, Hilman. Nasr
Hamid Abu Zaid; Kritik teks Keagamaan. Yogyakarta, eLSAQ Press, 2003
mohammad Isma’il, Mohammad. al-fikr al-Islami>.
Beirut, Maktabah al-Wa’yu, 1958
Thahan,Mahmud. Ilmu Hadits Praktis, ‘terj” Abu fuad.
Bogor, PTI : cet: 2012
Wafa>, Muhammad. Metode Tarjih atas Kontradiksi
Dalil-dalil Shara’, Terj. Muslich.
Bangil, Al-Izzah, 2001
Zarkasi,
Al-Burha>n fi> ulu>m al-Qur’a>n. Beirut,
Daar al-Ma’rifah, t.t.
Zuhaili, Wahbah. Ushu>l
Fiqh al-Islami>. Beirut, Daar al-Fikr, 1986
[1]
Jalaluddin as Suyuti, Al
Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Fikr, t.t),
548
[2]
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Alqur’an, (Jakarta, Wadi
Press. 2011), 11
[3]
Ibid, 13
[4]
Definisi Mutawatir adalah khabar periwayatan yang diriwayatkan oleh sejumlah
perawi yang secara kebiasaan mustahil mereka melakukan kedustaan. Sedangkan
kategori ahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Lihat Mahmud
Thahan, Ilmu Hadits Praktis, ‘terj” Abu fuad ( Bogor, PTI : cet: 2012), 20-24
[5]
as Suyuti, Al Itqa>n
fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 545
[6]
Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Alqur’an, 174
[9]
Al-Jurjani, Ta’rifa>t, (Beirut, Daar al-kitab al-‘arabi,
t.t), 72
[10]
Ibid, 72
[11]
Muhammad Wafa>, Metode
Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Shara’, Terj. Muslich. ( Bangil,
Al-Izzah, 2001), 128-129
[12]
Manna’ al-Qaththan, Maba>hith fi> ‘ulu>m
al-Qur’a>n, (Beirut, Manthuraat al-ashr al-hadith, t.t), 313
[13]
Ibid, 313
[14]
Ibid, 321
[15]
Ibid, 313
[16]
Ibid, 347. Namun tafsir dengan riwayat dari Tabi’in terjadi perbedaan pendapat
di kalangan para ulama, di antara mereka ada memasukkannya sebagai kategori
tafsir bi al-ma’thur karena para tabi’in yang ketemu dengan para sahabat secara
langsung, dan ada pula yang menyatakan bahwa tafsir dengan menggunakan riwayat
tabi’in adalah termasuk tafsir bi ar ra’yi, lihat Mohammad Abd al-‘Adzim Az
Zarqani, Mana>h al-‘urfa>n fi> ulu>m al-Qur’a>n,
(Beirut, Dar al-kitab al-‘arabi, 1995), Jus 2, 13
[17]
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Quran, 181.
[18]
Manna’ al-Qaththan, Maba>hith fi> ‘ulu>m
al-Qur’a>n,, 351. Tafsir bi ar ra’yi ini tentu juga harus
memiliki landasan di dalam nash, karena jika hanya berdasarkan pendapat dan
hasil ijtihad yang tidak memiliki dasar maka hukumnya adalah haram, hal ini di
dasarkan pada firman Allah dalam surat Al-isra’: 36 dan hadits Rasulullah SAW :
من قال فى القرأن برأيه او بما لايعلم فليتبوأ مقعده من النار. (رواه الترمذى
والنسائى وابو داود. وقال الترمذى : هذا حسن.
“Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur’an berdasarkan
pendapatnya saja atau berdasarkan sesuatu yang ia tidak ketahui, maka
siapkanlah tempatnya di neraka. lihat Manna’
al-Qaththa>n, Ibid, 352
[19]
Ibid, 357-358
[20]
Wahbah Zuhaili, Ushu>l
Fiqh al-Isla>mi, (Beirut, Daar al-Fikr, 1986), 417
[21]
Atha’ ibn Khalil, At-Taisi>r fi> ushu>l
al-Tafsi>r, (Beirut, Daar al-Ummah,cet 2,2006), 16-18
[22]
transfornasi makna dari makna asal yang digunakan oleh orang-orang arab sebelum
Islam datang menjadi makna konseptual khas yang di tunjukkan oleh Islam juga
telah ditelaah secara semantik oleh pemikir Jepang Thoshihiko Izutsu, kata-kata
itu seperti istilah Islam, semula menunjuk pada makna suatu sikap seseorang
yang memberikan sesuatu yang berharga kepada orang yang memintanya, yang
kemudian orang tersebut disebut sebagai muslim. namun kemudian makna ini mengalami
perubahan konseptual setelah Alquran turun dan memiliki makna religius. Lihat
Thosihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Terj; Agus Fahri Husein dkk,
(Yogya, PT Tiara Wacana Yogya, 1997), 50
[23]
Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis...,115-116
[24]
Mohammad mohammad Isma’il, al-fikr
al-Isla>mi, (Beirut, Maktabah al-Wa’yu, 1958), 45. dari empat
komponen akal tersebut, maka definisi akal diartikan sebagai potensi yang
diberikan Allah SWT kepada manusia sebagai hasil dari adanya potensi pengikat
yang ada pada manusia. Potensi ini adalah menghukumi, realita, atau dengan kata lain akal adalah
pemindahan penginderaan terhadap fakta/realita pada otak disertai adanya
informasi-informasi awal yang berfungsi untuk mengidentifikasi atau menafsiri
fakta. Lihat Muhammad Husain Abdullah, Mafa>him Islamiyah;
Menajamkan Pemahaman Islam, terj. M.Romli (Bangil, Al-Izzah, 2003), 29
[25]
Tarjih terbagi menjadi dua yaitu tarjih diantara dua dalil dan tarjih di antara
penunjukan lafadz dalam satu dalil. Lihat ‘Atha’ bin Khalil, Ushul Fiqh ;
Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj; Yasin as-Siba’I (Bogor, Pustaka
Thariqul Izzah, Cet;2, 2008), 387
[26]
Muhammad Wafaa, Metode Tarjih..., 127
[27]
Peradaban barat berangkat dari akar sejarah kehidupan mereka yang dimulai dari
sejak kebangkitan negara-negara eropa dari dominasi sistem teokrasi gereja.
kemudian para pemikir dan filosof dari mereka bangkit untuk menentang doktrin
para agamawan tersebut. Hasil dari konflik yang meruncing tersebut melahirkan
paradigma baru yaitu sebuah konsep untuk mengdikotomisasikan agama dari
kehidupan atau paham sekularisme, lihat Abdul Majid Abdussalam Al-Muhtasib, Visi
dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh.Maghfur Wachid,
(Bangil, Al-Izzah, 1997), 172. Proses sekularisasi yang semula berangkat
dari fenomena sejarah eropa barat pada tataran selanjutnya menjadi paradigma
khas yang banyak dinyatakan oleh para ahli bertolak dari ajaran kristen sendiri
yaitu “Urusan Kaisar serahkan saja kepada kaisar, dan urusan Tuhan serahkan
kepada Tuhan” paradigma seperti ini kemudian melahirkan gagasan pemisahan agama
dari negara, lihat Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta,
GIP,2008),84-87
[28]
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks Dan
Kontekstualisasi (Yogyakarta, PT,Qalam, 2002), 20
[29]
Ibid, 23
[30]
Syamsuddin Arif, Orientalis.., 179
[31]
Ibid, 181-183
[32]
Nasr Hamid Abu Zaid adalah tokoh pemikir Mesir yang karya-karyanya dinyatakan
telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam dan diputuskan telah murtad oleh
mahkamah Agung Mesir pada tanggal 5 Agustus 1996, Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis..,188
[33]
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik teks Keagamaan, (Yogyakarta, eLSAQ
Press, 2003), 27
[34]
As-Syafi’i, Ar-Risalah, (Beirut, Daar al-Kutub al-ilmiyah, t.t.),
503-504
[35]
Pengertian hadits ini adalah larangan bagi orang yang berpendapat berdasarkan
pemikirannya pada ayat Alqur’an yang maknanya masih mengandung kemusykilan dan
samar serta belum diketahui maknanya, kecuali dari apa yang dinukil dari nabi
SAW serta para sahabat ra. lihat Muhammad Husein adz-Dzahabi, Tafsi>r wa al mufassiru>n
(Maktabah Syamilah, t.t.) Jus iv, 41
[36]
Syamsuddin Arif, Orientalis.., 150
Komentar
Posting Komentar