METODE MENAFSIRKAN AL-QUR'AN


Oleh : Rifqi

A.  PENDAHULUAN
Dalam Alquran Allah SWT berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS: Al-Israa’ : 36)
Pengertian ayat ini menegaskan bahwa seluruh perbuatan manusia baik pendengaran, penglihatan maupun kecenderungan hatinya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT di akhirat kelak. Dengan demikian tidak diperkenankan seseorang berbuat tanpa dasar dan pengetahuan, yang tentu maksud dari pengetahuan tersebut adalah petunjuk dan pesan-pesan Allah SWT. oleh karena itu, ayat ini menuntut agar umat islam melakukan kajian terhadap petunjuk-petunjuk ilahiyah agar dapat mengikat semua perbuatannya sesuai dengan ketentuan shariahNya.
Didasarkan pada pengertian ayat di atas, maka menjadi satu keharusan dan niscaya bahwa memahami Islam adalah kewajiban bagi kaum muslimin. Dan sudah menjadi masyhur bahwa sumber hukum Islam adalah Alquran dan Hadits. Dengan begitu memahami keduanya adalah hal yang tak bisa ditolak. Alquran adalah kitab suci yang menjadi rujukan dan pedoman hidup umat Islam. keberadaan Alquran sebagai sumber pertama telah mampu mengantarkan umat Islam meraih posisinya sebagai khairu ummah dalam rentang sejarah yang cukup panjang. Sedangkan hadits Rasul SAW sebagaimana yang di sebutkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuti berfungsi sebagai penjelas yang memperjelas pengertiannya[1].
Karena urgensitas Alquran bagi kehidupan umat Islam, maka tentu proses penafsirannya juga merupakan hal yang amat mendesak. Atas hal ini, penulis ingin mengetengahkan studi hukum shara’ terkait dengan tafsir Alquran berikut seluk beluk yang menyertai aktifitas penafsirannya. Studi ini dimaksudkan untuk memberikan satu kajian akademis yang mendorong para pecinta Alquran agar semakin menaburkan kerinduannya dengan makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam pembahasan makalah ini, penulis juga terpanggil untuk memberikan kontribusi pemikiran terkait dengan etika dan paradigma dasar dalam penafsiran Alquran. Hal ini diupayakan untuk menetapkan standard penafsiran yang benar sesuai dengan apa yang dipahami oleh nabi dan para sahabat. Dalam keterkaitan dengan hal ini, sesungguhnya penulis merasa telah dihinggapi rasa kegelisahan secara intelektual terhadap perkembangan budaya tafsir modern yang sarat dengan penyimpangan melalui idiom-idiom yang memukau seperti reinterpretasi makna Alquran, kontekstualisasi hukum Islam agar sesuai dengan semangat zaman, hingga keberaniannya untuk membuat pemahaman Islam yang justru keluar dari makna yang terkandung dalam nas. Keberanian penafsiran model ini tidak jarang disertai dengan kelancangan mereka untuk menuduh para ulama-ulama salafush shaleh telah melakukan penafsiran Alquran dengan penuh bias dan tendensi duniawi semata. Sajian makalah yang penulis lakukan ini tidak dimaksudkan untuk menyeragamkan pemahaman terhadap Alquran karena hal itu merupakan perkara yang mustahil. Para sahabat sekalipun tidak sedikit dari mereka yang berbeda pemahamannya ketika memaknai Alquran maupun Hadith. Begitu juga dengan para ulama salafus-Saleh berbeda-beda tingkat pemahamannya terhadap Alquran disebabkan karena perbedaan tingkat kekuatan istimbat yang mereka lakukan. Mereka juga berbeda pada gaya dan uslub penafsiran Alquran, namun mereka memiliki kesamaan dalam metode memahami dan menafsirkan Alquran.
Atas dasar hal itu, penulis ingin menyajikan masalah tafsir dengan metode penafsiran yang telah diyakini kebenarannya dan bisa dipertanggung jawabkan secara shar’i serta penulis nukil dari penuturan para ulama shaleh. Semoga Allah SWT menuntun kita semua di jalan-Nya yang lurus. tidak ada kebenaran sejati kecuali yang datangnya dari Allah Rabbul Izzati.  
B. DEFINISI AL-QUR’AN
1. Pengertian Bahasa
Sebagian pakar bahasa menyebutkan bahwa kata Alqur’an merupakan bentuk masdar dari kata qara-a dengan mengikuti standard fu’lan. Konotasi bahasa ini adalah semisal dengan kata syukron. Konotasi istilah bahasa ini kemudian mengalami konversi dari makna harfiyah ke makna istilah syar’i yang berarti nama untuk bacaan tertentu. Istilah semacam ini oleh tradisi bahasa arab disebut dengan “tasmiyah al-maf’ul bi al-masdar” yaitu menyebut obyek dengan menggunakan kata masdarnya[2]. Istilah bahasa ini dikuatkan oleh firman Allah dalam Alquran :
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (18)
Artinya : Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. (QS: 75 : 16-18)
2. Pengertian Syar’i
Mengenai pengertian Alquran secara istilah syara’ maka para ulama ushul dan kalam berbeda pendapat tentang hal tersebut, namun penulis akan mengambil pendapat yang cukup komprehensif dan memiliki batasan yang jelas tentang pengertian Alquran yaitu :
“Alquran adalah kalam Allah SWT yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad SAW dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta di nilai beribadah ketika membacanya”[3]
Pengertian Alquran sebagai kalam Allah yang berupa mukjizat menegaskan bahwa setiap kata yang diucapkan oleh manusia, jin bahkan nabi dan Rasul sekalipun tidak termasuk dalam cakupan ini. Karena kendati ucapan atau kalam yang berasal dari nabi atau Rasul sejatinya adalah wahyu namun kalam tersebut secara redaksional tetaplah di nisbatkan kepada Rasul, yang tentu tidak berfungsi sebagai mukjizat. sedangkan pengertian diturunkan kepada nabi Muhammad SAW adalah pembatasan kalam yang khusus diturunkan kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian kalam yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya tidak termasuk dalam cakupan ini. Sementara maksud dinukil secara mutawatir adalah menafikan ayat-ayat yang mungkin diriwayatkan secara ahad[4] sebagaimana riwayatnya Ibn Mas’ud, yang akhirnya tidak diakui sebagai Alquran. Pengertian bernilai ibadah ketika membacanya adalah bahwa kalam yang mungkin juga di nisbatkan kepada Allah dan diriwayatkan secara mutawatir seperti hadith Qudsi tidaklah termasuk dalam pengertian ini. Karena membaca hadith Qudsi kendati diriwayatkan secara mutawatir tetap tidak bernilai ibadah ketika membacanya.
C. METODE MENAFSIRKAN ALQURAN
1.    Sekilas Tentang Tafsir
Istilah tafsir adalah derivasi dari kata bahasa arab Fassara yang bermakna kasyafa yang berarti membuka. pengertian ini juga bisa berarti bayan yang bermakna penjelasan[5]. Pengertian Tafsir secara bahasa ini juga telah ditunjukkan oleh Alquran yang berbunyi :
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.  ( QS : 25 ; 33)
Secara terminologis pengertian Tafsir dikemukakan oleh Ali al-Hasan sebagaimana yang dikutip oleh Hafidz Abdurrahman, yaitu ilmu yang membahas tentang Alquran dari pemahaman yang ditunjukkan oleh aspek dilalah nya sesuai dengan kadar kemampuan manusia[6]. Dari pengertian ini amat jelas bahwa cakupan tafsir terhadap Alquran tidak boleh keluar dari pengertian lafadz yang dikehendakinya. Meskipun pengertian tersebut terkadang diperoleh berdasarkan penjelasan hadits Rasul SAW dalam Hadith atau pengertian sahabat terkait dengan masalah yang sedang dipahami. Dengan demikian jika ada proses penafsiran Alquran justru tidak merujuk pada pengertian yang terkandung di dalam Alquran, namun berjalan bebas sesuai dengan selera dan kehendak penafsir maka aktifitas penafsirannya tidak termasuk kategori tafsir, dan tidak boleh bagi umat Islam untuk mengambil hasil istimbatnya.
2.    Antara Tafsir dengan Takwil
Pengertian takwil dengan tafsir terjadi perbedaan di antara para ulama, ada yang berpendapat bahwa antara takwil dengan tafsir adalah mirip atau sinonim. Menurut Ibn Faaris seperti yang dikutip oleh Imam Zarkasi bahwa setiap pengertian kalimat atau ungkapan akan merujuk pada tiga kata yaitu makna, tafsir dan takwil. sekalipun kata tersebut berbeda-beda pengertiannya namun memiliki maksud yang hampir sama atau berdekatan[7]. Namun pengertian yang lebih memperjelas perbedaan antara tafsir dengan takwil adalah apa yang dikemukakan oleh An-Nabha>ni bahwa tafsir adalah penjelasan yang dimaksud oleh kata, sedangkan takwil adalah penjelasan maksud dari makna kata[8]. Imam jurjani mengungkapkan pengertian takwil secara shar’i yaitu memalingkan kata dari makna eksplisit kepada makna implisit jika makna tersebut bersesuaian dengan Al-Quran dan As-Sunnah[9]. Kemudian untuk memperjelas perbedaan antara tafsir dengan takwil al-Jurjani (w. 816 H) memberikan gambaran contoh pada Al-Qur’an:
يخرج الحي من الميت  ( ألأنعام : 95)
Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.
Dari ayat tersebut jika yang dimaksud adalah mengeluarkan burung dari telur maka itu berarti tafsir, namun jika yang dimaksud adalah mengeluarkan orang yang beriman dari kekafiran atau mengeluarkan orang yang alim dari kebodohan maka itu adalah takwil[10]. pengambilan makna tersebut masih sesuai dengan ungkapan yang juga telah dinyatakan di dalam Al-Qur’an dengan penggunaan makna kiasan seperti maksud petunjuk atau hidayah dengan kata kegelapan/dzulumat dan makna jalan keimanan dengan cahaya. Namun aktifitas takwil seperti ini baru dianggap sah ketika memenuhi tiga syarat yatu : [11]
a.       Hendaknya orang yang melakukan takwil adalah orang yang memiliki keahlian dibidang pentakwilan dan menguasai berbagai bidang ilmu shara’
b.      Lafadz atau kata yang di takwilkan disamping memiliki makna yang lazim sekaligus mempunyai makna yang tak lazim, namun makna yang tak lazim tersebut masih sesuai dengan segi bahasa ataupun penggunaannya.
c.       Terdapat dalil yang mendukung terhadap pemalingan makna tersebut, dalil yang digunakan bukan sembarang dalil namun merupakan dalil yang kuat yang dapat menjelaskan kata yang ditakwil.

3.    Tafsir dan Terjemahan Alquran
Sedangkan maksud dari terjemahan Alquran adalah pengalih bahasaan Al-Qur’an dari bahasa arab pada bahasa non arab. untuk konteks terjemahan ini maka aktifitas terjemah terbagi menjadi dua bagian : pertama terjemahan harfiyah dan kedua adalah terjemahan tafsiriyah/maknawiyah[12]. Terjemahan harfiyah adalah pengalih bahasaan kata perkata dari suatu bahasa pada bahasa yang lain dengan mengikuti padanan dan struktur bahasa asal. Sedangkan terjemahan maknawiyah/tafsi>riyah adalah penjelasan pengertian kalimat dengan menggunakan bahasa lain tanpa ada keterikatan dengan struktur atau sistem bahasa asal.[13]
Terjemahan secara harfiyah terhadap Al-Qur’an adalah sesuatu yang mustahil dilakukan karena struktur bahasa Arab yang digunakan oleh Alquran tentu amat sangat berbeda dengan struktur bahasa yang lain, disamping itu bahasa apapun tidak akan pernah bisa mewakili makna Alquran. Alquran dengan bahasa Arabnya adalah Kalam Allah yang berfungsi sebagai mukjizat. Dengan demikian terjemah harfiyah pada Alquran adalah satu hal yang tidak diperbolehkan, apalagi kalau terjemah tersebut kemudian dinisbahkan sebagai kalam Allah, hal yang demikian adalah jelas merupakan bentuk kebohongan terhadap Al-Qur’an itu sendiri.
Sedangkan terjemahan tafsiri>yah/maknawiyah adalah suatu perkara yang diperbolehkan jika hal tersebut menjadi alasan atau sebab tersampaikannya dakwah Islam kepada masyarakat non arab yang tidak berbahasa Arab, karena penyampaian risalah Islam kepada seluruh manusia adalah kewajiban yang telah di amanahkan oleh Allah SWT.  Al-Hafidh Ibn Hajar menyatakan:
“Barangsiapa yang telah masuk Islam atau ingin masuk Islam, lalu dibacakan kepadanya Al-Quran namun ia tidak memahaminya maka tidak ada masalah penterjemahan baginya agar ia bisa mengetahui hukum-hukum Al-Qur’an atau agar ia memiliki hujjah sehingga ia bisa masuk di dalam Islam”[14]
Kendati terjemah tafsiri>yah diperbolehkan, namun kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran tetap menjadi hal penting agar dapat dipahami oleh setiap muslim. adalah satu hal yang tidak mungkin memahami pokok-pokok dan dasar-dasar Islam kecuali apabila kita memahami Alquran berikut bahasanya. oleh karena itu menurut Manna’ al-Qaththan : merupakan satu kewajiban bagi setiap orang yang masuk Islam untuk bisa menerima bahasa kitab sucinya baik secara dzahir maupun batin hingga mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dan pada kondisi demikian penerjemahan Al-Quran sudah tidak lagi dibutuhkan.[15]
4.    Gaya dan Model Penafsiran Al-Quran
Gaya penafsiran Alquran adalah cara atau teknis yang digunakan oleh para Mufassir untuk menafsirkan Al-Quran. gaya atau cara seperti ini merupakan kecenderungan para mufassir di dalam menafsirkan Alquran sesuai dengan penekanan yang di inginkan. misalnya ada yang memiliki kecenderungan pada aspek kebahasaannya sehingga ia menafsirkan ayat per ayat dalam Al-Quran dalam gaya bahasa dan makna yang terkandung di dalamnya. Ada yang lebih menekankan pada aspek teologis sehingga muatan tafsirnya banyak memperhatikan masalah aqidah. ada juga yang mengedepankan masalah hukum dan fiqh sehingga cakupan tafsirnya lebih dominan masalah hukum. disamping itu juga ada yang menekankan aspek historisitas sehingga tafsirnya ditopang dengan kisah-kisah sejarah yang diambil dari buku-buku sejarah. Semua itu merupakan gaya penafsiran yang dipilih oleh masing-masing mufassir zaman terdahulu sesuai dengan kecenderungan dan penekanannya.
Sedangkan model penafsiran yang berkembang di kalangan kaum muslimin secara umum terbagi menjadi dua model, yaitu tafsi>r bi al-ma’thu>r dengan tafsi>r bi al-ra’yi


a.    Tafsir bi al-Ma’thur
Tafsir bi al-Ma’thur adalah tafsir yang disusun oleh para mufassir dengan menggunakan sumber riwayat yang shahih, misalnya tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan as-sunnah yang berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an atau dengan riwayat para sahabat, karena mereka yang paling mengetahui tentang kitab Allah, atau dengan perkataan para pembesar tabi’in karena mereka pula yang pernah ketemu dengan para sahabat[16]. ada juga yang memasukkan dalam kategori tafsir ini riwayat israiliyyat.[17].
b.   Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi ar-Ra’yi adalah tafsir yang disusun oleh para mufassir untuk menjelaskan makna kata berdasarkan pemahaman khas dan di istimba>t melalui proses penalaran.[18]Model tafsir seperti ini contohnya adalah tafsir al-Kasysya>f  yang disusun oleh Zamakhshari, Tafsir mafa>tih al-ghayb karya Fakhruddin ar-Razi serta tafsir al-bahr al-muhi>th yang ditulis oleh Abu Hayyan.
Disamping kedua model tafsir di atas, ada juga tafsir yang berkembang di kalangan kaum muslimin, yaitu tafsi>r bi al isha>rah atau tafsir Isha>ri. Tafsir model seperti ini banyak digunakan oleh para ahli tasawwuf. Namun tafsir ini diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama dan tidak layak disebut sebagai tafsir serta tidak bisa diterima kecuali apabila memenuhi empat syarat yaitu : Pertama, harus tidak bertentangan dengan pengertian kata di dalam Alqur’an. kedua, makna yang ditunjukkan harus benar. ketiga, harus ada di dalam kata tersebut sesuatu yang menunjukkan maknanya. dan keempat, antara tafsir dengan makna ayat harus ada keterkaitan.[19]

5.    Metode Menafsirkan Al-Qur’an
Pada konteks metode penafsiran, penulis tidak hanya membatasi pada tata cara yang dibutuhkan untuk menafsirkan Alqur’an saja, namun mencakup hal-hal yang saling terkait di dalam menghasilkan hukum syara’. Hal ini sangat penting di karenakan Allah SWT telah mewajibkan hambanya agar selalu terikat dengan hukum shara’ dalam seluruh aktifitasnya. Sedangkan proses untuk memahami secara komprehensif terhadap hukum shara’ tidak sekedar terbatas pada pemahaman atau penafsiran terhadap petunjuk-petunjuk Alquran, namun ada sumber-sumber hukum Islam lainnya yang mesti dirujuk seperti Sunnah Rasulullah, ijma’ sahabat maupun qiyas shar’i. Sementara aktifitas menafsirkan atau melakukan istimba>th terhadap hukum shara’ memerlukan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh para mufassir, agar hasil ijtihadnya bisa dipertanggung jawabkan secara shar’i. Secara umum langkah-langkah tersebut terbagi dua yaitu memahami nash dan memahami realitas yang menjadi fakta hukum.

A.  Memahami Nash
Tata cara memahami nash ini tentu yang lebih dulu harus diutamakan adalah pengetahuan tentang sumber-sumber hukum Islam. Sumber-sumber hukum atau yang lebih populer disebut dengan dalil-dalil syara’ sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama hanya terdiri dari empat hal yaitu : Al-Quran, Hadith, Ijma sahabat dan Qiyas.[20] Sedangkan hal-hal lain seperti istihsan, mashalih mursalah, ‘urf, madzhab sahabat dan lain sebagainya masih diperselisihkan.
Sedangkan dalam rangka memahami nash, maka ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh para Mufassir yaitu sebagai berikut:
1.    Memperhatikan Aspek Kebahasaan
Sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan Alqur’an dengan menggunakan bahasa arab. oleh karena itu cara memahami Alquran tidak akan pernah lepas dari bahasa yang digunakannya. Allah SWT berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS: 12: 2)
Dan cara memahami bahasa arab tentu mengharuskan kita mengetahuinya berdasarkan hasil transmisi dari orang-orang arab, dalam hal ini akal tidak bisa mendesain atau mencoba memahaminya kecuali berdasarkan hasil transmisi penuturnya yaitu orang-orang arab.  Dari hasil kajian fakta tentang bahasa arab, maka untuk memahami bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur’an setidaknya ada 4 hal yaitu: [21]
a.    Makna Hakiki
Makna hakiki dari penggunaan bahasa arab ini terbagi menjadi tiga yaitu :
1.    Hakikat kebahasaan
Adalah makna yang ditunjukkan oleh kata sebagaimana asal kata tersebut digunakan oleh orang-orang arab. misalnya kata ra’sun yang memiliki arti “kepala” yang menunjuk pada anggota tubuh bagian atas, baik pada hewan maupun pada manusia.
2.    Hakikat ‘urfiyah
Adalah makna kata yang telah mengalami transformasi dari makna asal kepada makna lain dan sudah menjadi makna yang populer digunakan oleh para penuturnya dengan meninggalkan makna asalnya. seperti kata dabbatun, kata ini makna asalnya adalah setiap hewan yang melata di bumi menjadi populer di kalangan arab dengan makna hewan yang berkaki empat
3.    Hakikat Shar’iyah
Hakikat shar’iyah adalah makna kata yang mengalami trasformasi dari makna asal yang digunakan oleh orang-orang arab menjadi makna yang dikehendaki oleh pembuat syari’at atau Allah SWT. misalnya kata “Shalat”, makna asalnya adalah do’a namun mengalami trasformasi menjadi makna khas yang diinginkan oleh Islam yaitu suatu aktifitas peribadatan yang dilakukan oleh seorang muslim kepada Allah SWT. makna ini diambil dari perkataan maupun perbuatan Rasulullah SAW ketika menunjuk pada pengertian shalat.[22]

b.   Makna Konotatif atau Majaz
Makna konotatif atau majaz ini adalah penggunaan kata yang pengertiannya tidak sebagaimana makna asalnya, dan pengertiannya bisa di analisa melalui berbagai indikasi, dan ini membutuhkan keahlian dalam bidang ilmu balaghah atau kesusasteraan arab seperti contoh yang disebutkan di dalam Al-Qur’an :
الر. كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
Artinya : Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang (QS: Ibrahim :1)
Kata dzulumat pada ayat di atas digunakan dengan makna asal gelap gulita, sementara yang dimaksudkan adalah kesesatan atau kekufuran. Kemudian kata nur yang bermakna cahaya adalah dimaksudkan Hidayah atau Islam.
c.    Isytiqaq
Isytiqaq adalah penggunaan kata pecahan dengan konotasi yang berkaitan langsung dengan kata dasarnya, atau dalam ilmu nahwu di kenal dengan istilah tashriif (perubahan kata) dengan menggunakan standard kata (wazan-al-kalimah). Kata isytiqaq ini penting untuk diperhatikan agar memudahkan di dalam aktifitas penafsiran
d.   Arabisasi atau Ta’rib
Arabisasi adalah kata ‘ajami atau kata-kata yang bukan berasal dari bahasa arab namun telah di arabkan sehingga menjadi bagian dari bahasa arab setelah mengalami perubahan dari kata asalnya dengan mengikuti standard bahasa Arab. Dalam Al-Qur’an kata yang termasuk ta’ri>b ini terdapat pada kata al-qistha>s dalam surat al-Isra’ : 35 yang di ambil dari bahasa Yunani, kata sijji>l dalam surat al-Hijr : 74 yang berasal dari bahasa persia, kata al-ghassa>q dalam surat an-Naba’ : 25 yang diambil dari bahasa Turki, kata ath-thur yang terdapat dalam surat al-Baqarah : 63 yang berasal dari bahasa syiria, serta al-kifl pada surat al-Hadid : 28 yang berasal dari bahasa abesinia (habsyah)[23].
 2.    Memperhatikan Batasan Akal
Dalam aktifitas penafsiran Al-Qur’an, akal memiliki peranan penting sehingga hubungan akal dengan wahyu dapat diposisikan secara tepat, sekaligus batasan akal juga dapat di identifikasi secara jelas agar para mufassir tidak terjebak pada paradigma kebebasan berfikir yang saat ini melanda dunia Islam hingga Al-Qur’an terkadang justru bukan diposisikan sebagai hudan lin nas namun sebagai obyek rasionalisasi.
Sebagaimana yang telas dijelaskan sebelumnya bahwa Alqur’an merupakan kitab suci berbahasa Arab, dimana makna bahasa yang dikandungnya tidak mungkin bahkan mustahil di rasionalisasi kecuali kita hanya memahaminya berdasarkan karakter makna bahasa yang dimiliki oleh para penuturnya yaitu orang-orang arab. Dengan demikian posisi akal dalam hal ini menempati sebagai instrumen untuk memahami makna Al-Qur’an dengan karakter bahasa arab sebagai bahasanya.
Disamping itu pengertian dan batasan akal juga harus dipahami dengan jelas, karena jika tidak, maka itu akan mempengaruhi penafsiran dan terjebak pada hal-hal yang sebenarnya tidak bisa dijangkau oleh akal, kemudian menjustifikasi kebenaran postulat yang dihasilkan  menggunakan dalil-dalil dzanni, kenyataan ini bukan menciptakan produktifitas dalam penafsiran namun justru akan menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai bahkan bisa menimbulkan polemik. Kenyataan seperti ini pernah terjadi pada kalangan ahli kalam atau para mutakallimin ketika mereka mencoba menafsirkan pengertian keesaan Allah yang terdapat pada surat Al-Ikhlas. Kata satu atau esa tersebut masih dianalisa oleh mereka mengenai substansinya, hingga berpolemik apakah dzat Allah menyatu dengan sifatnya atau terpisah, sampai pada polemik tentang status Alqur’an, Makhluk atau kalam Allah yang bersifat qodim. hal itu terjadi disamping karena pengaruh filsafat yunani, juga karena belum jelasnya batasan akal tersebut. Oleh karena itu peranan dan batasan akal harus terdefinisi dengan jelas sehingga hasil penafsiran terhadap Alquran mampu memuaskan akal dan menenangkan hati sebagaimana para sahabat Rasulullah memahami Alquran.
Jika kita telaah secara analitis terhadap fakta akal, maka kinerja akal atau proses berfikir hanya bisa dilakukan jika memenuhi empat komponen yaitu:
1.      Fakta terindera
2.      Panca indera atau penginderaan manusia
3.      otak yang normal
4.      Informasi awal[24]
Jika empat komponen ini tidak terpenuhi kendati dari satu diantaranya, maka aktifitas berfikir tidak akan pernah bisa berfungsi, kalaupun dipaksakan maka hasilnya bukanlah hasil berfikir namun merupakan imajinasi atau hayalan. Oleh karena batasan akal ini maka para sahabat Rasul waktu itu hanya menerima apa adanya informasi yang disampaikan Al-Qur’an tentang masalah-masalah gaib yang berada diluar penginderaan manusia seperti malaikat, jin, surga maupun neraka. Ketika Allah menjelaskan bahwa ia maha esa, maka cukuplah akal memahaminya sebagaimana yang di informasikan oleh nash. Mengenai tentang substansi satu, apakah terdiri dari berbagai unsur kemudian membentuk satu kesatuan, atau satu dalam pengertian lepas dari berbagai unsur, maka hal itu berada diluar penginderaan manusia karena tidak ada informasi mengenai hal tersebut. Dengan demikian amat sangat relevan apa yang pernah di sabdakan oleh Rasulullah SAW :
تفكروا في خلق الله ولا تفكروا في الله.
Artinya : Berfikirlah tentang masalah makhluk Allah dan jangan kalian berfikir tentang dzat Allah.


3.    Memperhatikan Aspek Muhkam Dan Mutasyabih
Jika pada ayat-ayat Al-Qur’an terdapat satu makna yang sudah jelas, maka berarti ayat tersebut adalah ayat muhkamat. Jika memiliki berbagai kemungkinan makna atau makna yang dikandungnya masih ada kesamaran maka ayat tersebut dinamakan sebagai ayat mutasyabihat. Dalam keterkaitan dengan ayat muhkama>t dan mutashabiha>t maka seorang mufassir harus menjadikan ayat muhkamat sebagai penentu atau pijakan dasar di dalam memahami ayat mutasyabihat. karena sebagaimana di sebutkan di dalam Al-Qur’an ayat muhkamat merupakan induk Alqur’an sementara mutasyabihat adalah cabangnya. Ayat muhkamat bersifat pasti secara dala>lah sedangkan mutasyabihat adalah z}anni dari segi dalalahnya. Dengan demikian sesuatu yang pasti harus menjadi parameter bagi ayat yang masih relatif.

4.    Memperhatikan Integrasi Ayat Dalam Kerangka Konseptual Al-Qur’an
Al-Quran merupakan kitab petunjuk yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah sebagai pedoman bagi kehidupan manusia, oleh karena itu keseluruhan ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang bersifat integral dan tak terpisahkan. Didalam Al-Quran tidak mungkin secara hakiki terdapat pertentangan, karena ia bersumber dari yang satu yaitu Allah SWT. Allah SWT telah berfirman di dalam Al-Qur’an:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Artinya : “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.  (QS: An-Nisa’: 82)
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pemahaman dan penafsiran terhadap Al-Quran mengakibatkan polemik tak berkesudahan di sebabkan karena pemahaman terhadap ayat secara parsial dan tidak mampu menemukan keterpaduan konseptual di dalamnya sebagaimana pertentangan paham Jabariyah dengan Qadariyah tentang masalah Qadha’ dan Qadar. Masing-masing paham ini menggunakan tafsirnya terhadap ayat sesuai dengan pemahamannya dengan tidak memperhatikan ayat lainnya, hingga dalam sejarahnya perbedaan paham tersebut telah menimbulkan polemik, bukan hanya pada level pemikiran namun telah terseret pada arus kepentingan politik kekuasaan dan membawa ekses fanatisme sektarian. Dengan demikian memperhatikan keterpaduan ayat dalam Alqur’an merupakan perkara urgen dalam setiap penafsiran.


5.    Memperhatikan Banyaknya Aspek Dalalah di dalam Al-Qur’an
Jika di dalam Alqur’an terdapat banyak aspek dalalah yang ditunjukkan oleh nash maka yang harus dilakukan oleh seorang mufassir adalah melakukan tarjih terhadap berbagai riwayat atau multi dalalahnya tersebut. Hal ini menjadi sangat penting dilakukan oleh para mufassir agar hasil penafsirannya menjadi pendapat yang kokoh dan tidak terjebak pada pertentangan dalil, karena sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwasanya Al-Qur’an adalah membentuk kesatuan konseptual, tidak ada pertentangan di dalamnya. contoh aspek dalalah yang nampak dipermukaan terjadi pertentangan adalah ayat mengenai kehendak Allah SWT terhadap perbuatan manusia, apakah perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagaimana firmannya:
والله خلقكم وما تعملون.
Artinya: “Padahal Allah lah yang menciptakan kalian dan apa saja yang kalian perbuat”    (QS: Ash-Shaffaat : 96)
Atau manusialah yang menciptakan perbuatannya sendiri seperti firmanNya dalam Alqur’an :
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya: “ Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (QS : Al-Kahfi: 29)

Ayat diatas nampak secara dzahir bertentangan antara satu dengan lainnya, sehingga para mutakkalimin pada masa yang lalu telah terjebak pada perdebatan dan polemik yang tak terselesaikan. Dengan demikian, pada konteks ayat seperti ini seorang mufassir harus melakukan tarjih[25] yaitu dengan cara mengkompromikan dua dalil yang saling bertentangan tersebut dengan mentakwilkan salah satu atau keduanya secara bersama-sama untuk menghindarkan pertentangan antara keduanya,[26] atau memilih dalil yang lebih rojih diantara kedua dalil yang bertentangan tersebut jika tidak bisa dikompromikan.
Ayat pertama yang menjelaskan bahwa Allah lah yang menciptakan manusia sekaligus perbuatannya bisa ditakwil dengan menjelaskan bahwa penciptaan Allah terhadap perbuatan manusia itu tidak bersifat langsung, namun Allah menciptakan potensi terhadap manusia untuk melakukan sesuatu, misalnya manusia bisa makan karena Allah telah menciptakan kebutuhan jasmani dalam diri manusia. Manusia berkeinginan menikah dengan lawan jenisnya itu disebabkan karena naluri seksual yang diciptakan oleh Allah SWT. begitu juga manusia dalam sepanjang sejarahnya selalu melakukan aktifitas peribadatan atau penyembahan terhadap dzat atau sesuatu yang dapat melindungi dirinya adalah karena potensi naluri beragama didalam dirinya, itu semua adalah fitroh yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Namun manusia mau makan yang halal atau yang haram, mau menikah dengan jalan shar’i atau berzina adalah murni pilihan manusia bukan penciptaan Allah. termasuk juga apakah manusia mau beriman dengan Islam atau ingkar dengannya adalah pilihan manusia yang akan ia pertanggung jawabkan di hadapanNya, Allah hanya menciptakan fitroh naluri beragama dalam diri manusia yang mendorongnya untuk melalukan penyembahan atau peribadatan, akan tetapi bentuk penyembahan yang dilakukan manusia adalah didasarkan pada pilihannya. proses pengkompromian pengertian ayat seperti ini akan menghasilkan penafsiran yang memuaskan akal dan menenangkan hati sehingga tidak diselimuti oleh kebingungan karena pertentangan dalil.  
 B.  Memahami Fakta Hukum
Disamping memperhatikan nash dalam proyek penafsiran, sesuatu yang tidak kalah penting harus diperhatikan oleh seorang penafsir adalah memperhatikan fakta permasalahan yang akan dihukuminya. Jika memahami hakekat fakta ini keliru maka itu akan menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran dan pada gilirannya juga keliru melakukan istimba>th hukum. Dengan demikian memahami fakta hukum memerlukan ketelitian dan kedalaman sehingga tidak salah dalam menempatkan nash terhadap fakta tersebut. Sebagai analogi dari keharusan memahami fakta atau realitas permasalahan tersebut adalah semisal seorang dokter ketika melakukan diagnosis terhadap penyakit pasien, jika dokter tersebut salah dalam melakukan diagnosis maka resep yang ia berikan juga akan keliru. Begitu juga seorang mufassir jika tidak tepat atau kurang mendalam memahami fakta maka ia akan mengalami kekeliruan menetapkan nash yang akan menghukumi fakta tersebut. Sebagai contoh dari masalah ini penulis ambilkan isu actual yang saat ini cukup memberikan pengaruh terhadap terjadinya disharmoni antara Islam dengan Barat, yaitu pemutaran film Innocence of Muslims. Sebagian kalangan menganggap bahwa film tersebut adalah kenyataan berulang atas penghinaan dan kebencian kafir Barat terhadap Islam sehingga nash yang diambil adalah yang berkaitan dengan sikap Islam terhadap penghinaan tersebut serta sikap kaum muslimin terhadap negara-negara kafir tersebut. Ayat Alqur’an yang digunakan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS: Ali Imron : 118)
Dari pengertian ayat ini, maka sikap yang harus diambil oleh kaum muslimin adalah sikap tegas dan memutuskan segala bentuk hubungan dengan negara-negara kafir tempat film itu di produksi dan di distribusikan.
Sebagiannya lagi menganggap bahwa hal tersebut adalah fakta ketidak pahaman barat terhadap konsepsi Islam dan nabinya, sehingga nash yang dibutuhkan dalam hal ini adalah nash-nash yang terkait dengan dakwah, dan dalam menyikapinya hendaknya umat Islam tidak perlu marah, karena sebagaimana dalam Alqur’an yang menjelaskan dakwah harus dilakukan dengan hikmah, memberikan mau’iz}ah hasanah dan melakukan pendekatan dialogis secara baik. Ayat yang digunakan adalah:
 ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS : An-Nahl: 125)
Kedua pemahaman yang berbeda tersebut bukan terletak pada penafsiran teks itu sendiri, namun terletak pada pemahaman fakta persoalan yang akan di hukumi. Dengan demikian memahami fakta persoalan yang menjadi obyek hukum juga memiliki pengaruh signifikan dalam proses istimba>th di dalam menafsirkan nash secara tepat.
Dalam keterkaitan dengan isu film Innocence of Muslims, maka untuk memahami fakta persoalannya tidak cukup hanya memahami permasalahan tersebut secara terpisah, namun ia harus dipahami secara menyeluruh dengan hal-hal yang saling terkait, hingga pengambilan kesimpulan data yang diperoleh menunjukkan hasil yang sebenarnya, misalnya dikaitkan dengan persoalan yang sama pada kejadian yang pernah terjadi sebelumnya semisal film fitna, pembuatan karikatur yang berisi penghinaan kepada Nabi di Denmark, maupun pengamatan secara teliti terhadap sikap dan kebijakan politik negara-negara barat terhadap dunia Islam. Jika semua fakta itu telah dianalisis secara terpadu maka akan dapat dihasilkan fakta yang sesungguhnya, apakah film tersebut merupakan fakta penghinaan atau fakta kesalah pahaman barat terhadap Islam, hal demikian adalah keniscayaan yang harus dilakukan oleh siapapun yang mau menafsirkan nash Al-Qur’an agar pengambilan nash yang akan ditafsirkan menjadi relevan dan terkait. Demikianlah metode baku dalam setiap penafsiran terhadap nash Alqur’an hingga hasil istimba>th yang dilakukan oleh seorang mujtahid menjadi fungsional dan aplikatif dalam kehidupan.
D.  KOREKSI TERHADAP IDE PENYIMPANGAN DALAM PENAFSIRAN
Setiap ikhtiar untuk melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an sejatinya merupakan pertanggung jawaban transendental dihadapan Allah SWT agar dapat memahami pesan dan petunjuknya dalam memecahkan seluruh problematika kehidupan. Bagi kaum muslim Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi pedoman dan way of life dalam segala dimensi kehidupan. Oleh karena itu, setiap penafsiran harus terlepas dari berbagai kepentingan duniawi dan kecenderungan hawa nafsu, temasuk juga harus terbebas dari kemungkinan pengaruh pemahaman atau ideologi asing yang justru akan merusak pemikiran kita sebagai umat Islam, hingga pemahaman yang diperoleh bukan semakin dekat dengan konsep Al-Qur’an namun semakin jauh tanpa disadari.
Kita harus menyadari secara akademis, bahwa kondisi kaum muslimin saat ini berada pada kondisi memperihatinkan, berbeda jauh dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya: “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..." (QS: Ali Imron : 110)
kondisi inilah yang secara tidak langsung membuat umat Islam inferior dengan peradaban barat, dan pada gilirannya juga ikut andil telah mempengaruhi para pemikir dari kalangan umat Islam untuk menselaraskan pandangan Islam dengan pandangan-pandangan Barat tentang kehidupan dengan argumentasi demi tuntutan zaman atau alasan kontekstualisasi. Kemudian sikap mental inferior ini pada tataran selanjutnya juga memberikan pengaruh signifikan terhadap proyek penafsiran Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak lagi dipahami sebagai hudan yang telah tersusun dengan sempurna membentuk konsep tersendiri secara unik dan berbeda dengan yang lain, namun telah diposisikan sebagai obyek konsultatif untuk di selaraskan dengan realitas zaman yang notabene adalah hasil dominasi sistem pemikiran Barat.[27]
Berangkat dari kenyataan itu, penulis merasa terpanggil untuk meletakkan paradigma yang s}ahi>h ditengah kreasi tafsir kontemporer dengan penjelasan mengenai sejumlah ide dan sudut pandang yang digunakan. Diantara ide maupun pandangan tersebut adalah:
1.    Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an
Dalam perkembangan tafsir Al-Qur’an kontemporer muncul istilah hermeneutika Qur’ani. Hermeneutika sebagai metode tafsir mutakhir amat digandrungi oleh banyak kalangan akademisi, para intelektual, terutama bagi yang menggeluti Islamic Studies. Bahkan tata cara tafsir ala hermeneutika ini tanpa dikoreksi asal asulnya telah banyak dijadikan sebagai manhaj tafsir alternatif yang diyakini lebih aktual dan kontekstual untuk menjawab tantangan dan persoalan zaman yang kompleks. Padahal istilah hermeneutika ini merupakan istilah asing dan tidak memiliki akar pemikiran sedikitpun dalam Islam. Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, dan dari kata hermeneuein diambil kata bendanya menjadi hermeneia yang memiliki arti penafsiran atau interpretasi, kemudian kata hermeneutes mempunyai arti interpreter (penafsir)[28]
Istilah hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci pertama kali dimunculkan oleh J.C. Dannhauer dalam bukunya hermeneutica sacra siva methodus expondarum Sacrarum Litterarum. istilah hermeneutika ini dimaksudkan untuk memahami pesan kitab-kitab suci yang dilakukan oleh para agamawan[29]
Menurut para ahli pembakuan istilah hermeneutika sebagai ilmu, metode dan tehnik memahami pesan atau teks sesungguhnya baru terjadi sekitar abad ke-18 Masehi, menyusul terjadinya gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther di Jerman. Para teolog kristen protestan menentang klaim otoritas gereja katolik dalam pemaknaan dan penjabaran kitab suci, menurut mereka menafsirkan bibel adalah hak setiap orang asalkan ia mengetahui bahasa dan konteks sejarahnya.[30]
Dari kemunculan istilah ini sudah bisa dianalisa bahwa metode tafsir hermeneutika memiliki pandangan dunianya sendiri karena ia berangkat dari akar sejarah kristen eropa yang notabene kitab sucinya yaitu bibel mengandung sejumlah problematika dari sisi otentisitasnya. Sedangkan Al-Qur’an telah melampaui ruang dan waktu dan terbukti secara ilmiah dan rasional akan otentisitasnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa metode hermeneutika tidaklah bebas nilai, ia memiliki sejumlah asumsi dan konsekuensi yaitu[31] pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, baik kitab suci maupun bukan merupakan hasil kreasi manusia. Pandangan seperti ini berangkat dari kekecewaan para teolog kristen setelah mereka menyadari bahwa bibel yang semula dianggap sakral dan masih suci kemudian belakangan diragukan keasliannya. Kedua, hermeneutika mengangggap teks sebagai produk sejarah. Setiap pemaknaan terhadap teks selalu berubah sesuai dengan faktor sejarah dan setting sosial dimana teks itu lahir, sehingga para praktisi hermeneutika dituntut untuk selalu bersikap skeptis terhadap kebenaran darimanapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut dengan lingkaran hermeneutis. Meminjam istilah yang digunakan oleh tokoh pemuja hermeneutika Mesir, Nasr Hamid Abu Zaid[32]ketika mengungkapkan tentang bangunan dan pijakan epistemologi sebuah peradaban, ia menyatakan bahwa hal itu merupakan proses dialektika manusia dengan realitasnya, kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya di satu sisi dengan proses dialog kreatif terhadap teks pada sisi yang lain.[33] Pernyataannya ini menegaskan bahwa makna teks atau nash akan selalu berubah sesuai hasil dialektika manusia dengan nash dalam konteks dan ruang lingkup sejarahnya. Ketiga, hermeneutika menghendaki para pelakunya memiliki paham relativisme epistemologis. Menurut hermeneutika tidak ada kebenaran yang pasti, semuanya bersifat relatif sesuai dengan tendensi penafsir dan konteks sejarahnya. Pandangan seperti ini jelas akan menciptakan keragu-raguan terhadap kebenaran dan memberikan peluang kepada orang yang bukan ahlinya untuk menafsirkan nash secara serampangan, karena semua hasil tafsir dianggapnya berada dalam kerangka relatifisme. Secara metodologis pandangan seperti ini berbeda jauh dengan kerangka metode tafsir para ulama salafus shaleh yang membagi teks atau nash menjadi Qath’i (pasti kebenarannya) dengan Dzanni (relatif kebenarannya). Namun pengertian dzanni menurut para ulama tentu juga berbeda dengan para penganut hermeneutika. Dzanni dipahami sebagai hasil pemahaman dari nash yang mengandung berbagai kemungkinan makna lafadz atau dari sumber periwayatan yang tidak sampai mencapai derajat mutawatir. pengertian dzanni sumbu putar atau masdar al-hukmi nya tetap terletak pada nash bukan pada realitas sejarah sebagaimana hermeneutika. Menurut Imam Shafi’i setiap ijtihad itu harus di dasarkan kepada dalil atau shubhah dalil dan merupakan satu keharaman bagi seseorang yang berpendapat berdasarkan kerangka Istihsa>n jika tidak di dasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.[34] Pendapat Imam syafi’i tersebut sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW :
مَن قال فى القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ  ( رواه الترمذى وأبو داود)
Artinya: “ Barang siapa yang berpendapat di dalam Al-Qur’an berdasarkan pendapatnya semata lalu ia benar maka sungguh ia telah salah.[35]
Berdasarkan hal itu, maka seorang muslim tidak semestinya mengambil barang impor kecuali hanya yang berasal dari khasanah pemikiran Islam. Hermeneutika telah nyata bertentangan dengan metode pemahaman nash Al-Qur’an yang telah dirumuskan dengan susah payah oleh para ulama salafus s}aleh, semata mereka hanya ingin memahami Islam sesuai dengan sumber aslinya yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Metode hermeneutika disadari atau tidak telah cukup memberikan pengaruh terhadap pemahaman dan penafsiran teks, terutama pada perkembangan pemikiran kontemporer. Dan untuk mengantisipasi hal itu, sekaligus untuk memastikan apakah sebuah penafsiran terhadap nash Al-Qur’an merupakan hasil pemikiran pribadi tanpa didasarkan kepada dalil, maka Imam Ghazali sebagaimana dikutip oleh Syamsuddin Arif telah merumuskan metode penafsiran yang dilarang yaitu: pertama, penafsiran Alqur’an melalui pendekatan linguistic semata, tanpa menghiraukan hadits dan riwayat yang shahih. Kedua, Jika penafsiran terhadap Al-Qur’an sengaja melompati dan menafikan tafsir literal dengan menggunakan tafsir allegoris. Ketiga, jika penafsiran terhadap nash sudah didahului oleh pra anggapan, teori, pemikiran, ideology, keyakinan atau tujuan tertentu, kemudian Alqur’an ditafsirkan sesuai dengan apa yang ada dalam pra anggapan sebelumnya yang sudah dimiliki.[36]
2.    Koreksi Atas Pandangan “Perubahan Hukum Karena Perubahan Kondisi Dan Tempat

Pada era globalisasi seperti yang terjadi saat ini, dimana seluruh pemikiran maupun ideology dunia menembus batas negara tanpa terkendali, ditambah lagi umat Islam berada pada posisi mengalami kedangkalan berfikir, maka menjadi tak terelakkan pemikiran Islam yang digagas oleh sebagian cendekiawan muslim menjadi kabur dan membingungkan. Mereka menghembuskan gagasan dengan menyatakan bahwa Islam bersifat fleksibel dan selalu sesuai dengan tuntutan zaman karena ajaran universalitasnya. Mereka menetapkan gagasannya tersebut berdasarkan kaedah “Tidak dipungkiri bahwa perubahan hukum adalah akibat dari perubahan waktu dan tempat”. Bahkan dalam rangka memperkuat pendapatnya tersebut mereka tidak segan-segan memasang justifikasi terhadap seorang imam besar yaitu Imam shafi’i tentang masalah Qaul qadi>m dengan Qaul Jadi>d. Qaul qadim yang dirumuskan oleh imam syafi’i pada saat beliau tinggal di Baghdad dengan Qaul jadid ketika beliau tinggal di Mesir mereka klaim sebagai proses perubahan hukum karena faktor tempat dan kondisi yang berbeda. Apakah  memang factor tempatlah yang menjadi penentu perubahan pendapat Imam syafi’I tersebut, maka untuk melacaknya tentu kita harus memahami kerangka rumusan ushul fiqh nya Imam syafi’i. Imam syafi’i berpendapat dalam kitab ushul fiqhnya “Ar-Risa>lah” bahwa setiap ijtihad harus didasarkan kepada dalil atau syubhah dalil sebagaimana sebelumnya telah penulis jelaskan. Hal ini dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya perubahan pendapat Imam syafi’i bukan di dasarkan kepada perubahan tempat, namun karena perubahan kekuatan istimba>th beliau terhadap dalil.
Kalangan tokoh yang mengemukakan bahwa hukum Islam selalu berubah sesuai dengan setting sosial, ekonomi maupun politik tersebut sejatinya baik disadari ataupun tidak telah terpengaruh oleh kerangka metode tafsir hermeneutik yang notabene memiliki landasan relatifistik karena menurut mereka makna teks adalah hasil pergumulan antara nash dengan konteks sejarah serta tuntutan zaman.
Bagaimana mungkin mereka berpendapat demikian, padahal Islam datang justru dalam rangka merubah realitas buruk yang tidak sesuai dengan Islam, mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya petunjuk. Kisah dakwah Rasulullah SAW di mekah yang justru menantang realitas dan bersungguh-sungguh untuk merubahnya adalah bukti bahwa Islam bukan dalam rangka menyelaraskan dengan realitas zaman namun telah hadir untuk merubah zaman agar sesuai dengan konsepsi Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits. Rasulullah SAW telah berdiri kokoh memegang prinsip kendati masyarakat jahiliyah menentang dan memusuhinya, hal itu tergambar dari pernyataan yang muncul dari lisan beliau yang mulya kepada pamannya:
وَالله يا عمّ لو وضعوا الشمس في يميني والقمر في يساري على أن أترك هذا الأمر حتى يظهره الله أو أهلك فيه ما تركته[37]

Artinya : Wahai paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar saya meninggalkan urusan ini, saya tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau saya binasa karena itu.

Pernyataan tegas Rasul SAW menunjukkan bahwa risalah Islam yang dibawa oleh beliau bersifat revolusioner yaitu dalam rangka merombak kenyataan zaman jahiliyah dan membentuk sistem kehidupan baru yang selaras dengan konsep Islam maupun Al-Qur’an. Dan kita mengetahui bagaimana para sahabat nabi juga telah banyak berkorban untuk hal tersebut hingga diantara mereka ada yang syahid di Jalan Allah.
Sedangkan para penggagas bahwa hukum Islam berubah karena perubahan zaman itu, banyak diantara mereka telah lancang dan berani merubah hukum Allah yang sudah pasti kebenarannya. Mereka menyerukan reinterpretasi Al-Qur’an agar bisa sesuai dengan semangat zaman. Bahkan ada diantara mereka yang justru menghembuskan keraguan akan otentisitas Al-Qur’an.
Para penyeru ide nyeleneh ini kebanyakan menggunakan kerangka berfikir maslahat sebagai standard Ijtihad, namun tentu maslahat yang dimaksud bukan di dasarkan pada konteks hasil pemberlakuan sistem shari’ah, namun maslahat menurut timbangan akal an sich sehingga kekacauan epistemologisnya sangat kentara. Insyaallah penulis akan jelaskan pada bagian berikutnya.
3.    Menimbang Maslahat Sebagai Motif Interpretasi Al-Qur’an
Telaah akademis kali ini lebih menekankan kepada studi kritis terhadap gagasan kemaslahatan sebagai motif penetapan shari’ah Islam, yang kemudian ikut memberikan andil terhadap rumusan metode penafsiran Al-Quran. Para pembawa ide ini menyebutkan bahwa risalah Islam itu didasarkan pada motif kemaslahatan sebagai pijakan penetapannya. Atas kerangka berfikir seperti ini, mereka berupaya menafsirkan nash Al-Qur’an sesuai dengan motif kemaslahatan yang dapat diperoleh. Jika nash menegaskan penetapan salah satu hukum, namun tidak tampak maslahat yang akan dihasilkan, maka harus dilakukan reinterpretasi agar tujuan syariah bisa diwujudkan. Mereka beranggapan bahwa syari’ah datang berikut tujuannya yaitu demi menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Ayat Alqur’an yang sering dijadikan pijakan adalah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ( الانبياء :107)
Artinya : Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Berdasarkan pengertian dari ayat tersebut, Kehadiran Rasulullah SAW berikut risalah Islam yang dibawanya senantiasa akan membawa rahmat atau kemaslahatan bagi alam semesta. Namun maslahat yang dimaksud merupakan hikmah (akibat) penerapan syariat, bukan motif penetapan syariat. Jika maslahat dijadikan sebagai motif penetapan syariah maka tentu setiap penetapan syariah seperti kewajiban jiha>d fi> sabi>lillah yang nampak dalam pandangan akal membawa mudharat seperti kematian atau kecacatan tubuh maka penetapannya menjadi batal karena motif kemaslahatannya tidak terwujud, dan hal itu bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang berbunyi:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ( البقرة : 216)
ِArtinya : Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.
Ayat di atas menegaskan bahwa baik buruknya sesuatu tidak bisa diukur berdasarkan pilihan baik maupun buruk berdasarkan pertimbangan akal manusia. Namun ketentuan baik atau buruk hanya berdasarkan syari’ah Islam saja. Dengan demikian penentuan maslahat maupun mafsadat juga tidak bisa diserahkan kepada manusia namun harus didasarkan pada standard syara’. Jika ketentuan tentang maslahat diserahkan kepada akal, maka dengan keterbatasannya akal tidak akan mampu menjangkau hakikat tentang kemaslahatan. Akal bisa saja mengetahui mana yang membawa maslahat dan mana yang mengandung mafsadat namun ia tidak akan mampu menjangkau hakekatnya. oleh karena itu seperti yang telah dijelaskan pada ayat tersebut bahwa hanya Allah lah yang mengetahuinya, sementara manusia tidak akan mengetahui. Dengan demikian menjadikan akal an sich sebagai standard penentuan maslahat adalah bentuk kekeliruan metodologis apalagi hal itu dijadikan sebagai pijakan di dalam upaya penafsiran Al-Qur’an. Walla>hu  a’lamu bi as-shawa>b  
E.  PENUTUP
1.    Kesimpulan
Demikianlah penulisan makalah ini disusun dan intisarinya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Al-Qur’an memiliki pengertian secara bahasa dan pengertian secara shar’i. Pengertian  secara bahasa diambil dari bentuk mashdar yang berasal dari kata qara’a dengan makna “bacaan”. Sedangkan pengertian secara istilah syar’i adalah “kalam Allah SWT yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad SAW dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta di nilai beribadah ketika membacanya”
2.    Istilah tafsir dengan takwil para ulama berbeda pendapat, ada yang menganggapnya sinonim, dan ada juga yang mempertegas perbedaannya. Perbedaan mendasar antara tafsir dengan takwil adalah sebagai berikut:
Tafsir diartikan sebagai aktifitas pemahaman terhadap lafadz di dalam nash Al-Quran sedangkan takwil adalah upaya menangkap makna potensial atau sesuatu yang bersifat implisit di dalam nash.
3.    Hukum Menerjemahkan Al-Qur’an ; Jika terjemahan Al-Qur’an merupakan terjemahan maknawiyah/tafsiriyah maka hal itu dibolehkan, namun jika terjemah harfiyah maka hukumnya tidak boleh, disamping itu terjemahan harfiyah adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan karena tidak akan ada bahasa yang representatif untuk menandingi Al-Qur’an
4.    Gaya dan model penafsiran Al-Qur’an yang berkembang dikalangan kaum muslimin dan dianggap sah tingkat akurasinya terbagi menjadi dua, yaitu tafsir bil-ma’thur dengan tafsir bir-ra’yi
5.    Langkah-langkah praktis untuk menafsirkan Al-Qur’an secara global terbagi dua yaitu pertama bagaimana memahami nash Al-Qur’an dan kedua bagaimana memahami fakta hukum yang terkait atau relevan dengan nash. Cara memahami nash diantaranya adalah memperhatikan aspek kebahasaannya, memperhatikan batasan akal di dalam penafsiran, memperhatikan aspek muhkam dan mutasyabih di dalam Al-Qur’an, memperhatikan integrasi ayat di dalam keseluruhan nash dan memperhatikan kemungkinan banyaknya aspek dalalah/riwayat di dalam Al-Qur’an. Sedangkan memahami fakta hukum adalah proses memahami persoalan yang terjadi secara mendalam kemudian menemukan nash yang dijadikan sebagai masdar al-hukmi untuk menghukumi fakta tersebut.
6.    Ada beberapa kerancuan metodologi dan kanker epistemologis terhadap model penafsiran kontemporer disebabkan adanya ide-ide nyeleneh seperti masuknya metode penafsiran ala hermeneutika terhadap Alqur’an, gagasan perubahan hukum karena perubahan zaman dan tempat maupun pemikiran yang menganggap bahwa Maslahat sebagai motif terhadap penetapan shariah.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain. Mafa>him Islamiyah;  Menajamkan Pemahaman Islam, terj. M.Romli. Bangil, Al-Izzah, 2003

Abdurrahman, Hafidh.  Metode Praktis Memahami Alqur’an, Jakarta, Wadi Press. 2011
Adh-dhaha>bi, Muhammad Husein. Tafsi>r wa al-mufassiru>n. Maktabah Syamilah, t.t.
Al-Jurjani, Ta’rifa>t. Beirut, Daar al-kitab al-‘arabi, t.t
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh.Maghfur Wachid. Bangil, Al-Izzah, 1997

al-Qaththan, Manna’. Maba>hith fi> ‘ulu>m al-Qur’an. Beirut, Manthuraat al-ashr al-hadith, t.t
An-Nabha>ni, Shahsiyah Islamiyah. Bogor, Pustaka thariqul Izzah, 2003
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta, GIP,2008
as Suyu>ti, Jalaluddin. Al Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’an Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
As-Sha>fi’i, Ar-Risa>lahBeirut, Da>r al-Kutub al-ilmiyah, t.t.
Az Zarqa>ni, Abd al-‘Adzim.  Mana>h al-‘urfa>n fi> ulu>m al-Qura>nBeirut, Dar al-kitab al-‘arabi, 1995
bin  Khalil, Atha’. At-Taisi>r fi> ushu>l al-Tafsi>r. Beirut, Daar al-Ummah,cet 2,2006
Bin Khalil, ‘Atha’.  Ushul Fiqh ; Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj; Yasin as-Siba’I.  Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, Cet;2, 2008

Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks Dan Kontekstualisasi. Yogyakarta, PT,Qalam, 2002

Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyah li ibn hisha>m. Beirut, Daar al-fikr, 1994
Izutsu, Thosihiko. Relasi Tuhan dan Manusia, Terj; Agus Fahri Husein dkk. Yogya, PT Tiara Wacana Yogya, 1997

Latief, Hilman.  Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik teks Keagamaan. Yogyakarta, eLSAQ Press, 2003
mohammad Isma’il, Mohammad. al-fikr al-Islami>. Beirut, Maktabah al-Wa’yu, 1958
Thahan,Mahmud.  Ilmu Hadits Praktis, ‘terj” Abu fuad. Bogor, PTI : cet: 2012
Wafa>, Muhammad. Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Shara’, Terj. Muslich.  Bangil, Al-Izzah, 2001
Zarkasi, Al-Burha>n fi> ulu>m al-Qur’a>n. Beirut, Daar al-Ma’rifah, t.t.
Zuhaili, Wahbah.  Ushu>l Fiqh al-Islami>. Beirut, Daar al-Fikr, 1986



[1] Jalaluddin as Suyuti, Al Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 548
[2] Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Alqur’an, (Jakarta, Wadi Press. 2011), 11
[3] Ibid, 13
[4] Definisi Mutawatir adalah khabar periwayatan yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara kebiasaan mustahil mereka melakukan kedustaan. Sedangkan kategori ahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Lihat Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, ‘terj” Abu fuad ( Bogor, PTI : cet: 2012), 20-24
[5] as Suyuti, Al Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 545
[6] Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Alqur’an, 174
[7] Zarkasi, Al-Burha>n fi> ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut, Da>r al-Ma’rifah, t.t.), Juz 2, 146
[8] An-Nabhani, Shahsiyah Islamiyah, (Bogor, Pustaka thari>qul Izzah, 2003), 287
[9] Al-Jurjani, Ta’rifa>t, (Beirut, Daar al-kitab al-‘arabi, t.t), 72
[10] Ibid, 72
[11] Muhammad Wafa>, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Shara’, Terj. Muslich. ( Bangil, Al-Izzah, 2001), 128-129
[12] Manna’ al-Qaththan, Maba>hith fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut, Manthuraat al-ashr al-hadith, t.t), 313
[13] Ibid, 313
[14] Ibid, 321
[15] Ibid, 313
[16] Ibid, 347. Namun tafsir dengan riwayat dari Tabi’in terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, di antara mereka ada memasukkannya sebagai kategori tafsir bi al-ma’thur karena para tabi’in yang ketemu dengan para sahabat secara langsung, dan ada pula yang menyatakan bahwa tafsir dengan menggunakan riwayat tabi’in adalah termasuk tafsir bi ar ra’yi, lihat Mohammad Abd al-‘Adzim Az Zarqani, Mana>h al-‘urfa>n fi> ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut, Dar al-kitab al-‘arabi, 1995), Jus 2, 13
[17] Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis Memahami Al-Quran, 181.
[18] Manna’ al-Qaththan, Maba>hith fi> ‘ulu>m al-Qur’a>n,, 351. Tafsir bi ar ra’yi ini tentu juga harus memiliki landasan di dalam nash, karena jika hanya berdasarkan pendapat dan hasil ijtihad yang tidak memiliki dasar maka hukumnya adalah haram, hal ini di dasarkan pada firman Allah dalam surat Al-isra’: 36 dan hadits Rasulullah SAW :
من قال فى القرأن برأيه او بما لايعلم فليتبوأ مقعده من النار. (رواه الترمذى والنسائى وابو داود. وقال الترمذى : هذا حسن.
“Barangsiapa yang berkata tentang Al-Qur’an berdasarkan pendapatnya saja atau berdasarkan sesuatu yang ia tidak ketahui, maka siapkanlah tempatnya di neraka. lihat Manna’ al-Qaththa>n, Ibid, 352
[19] Ibid, 357-358
[20] Wahbah Zuhaili, Ushu>l Fiqh al-Isla>mi, (Beirut, Daar al-Fikr, 1986), 417
[21] Atha’ ibn Khalil, At-Taisi>r fi> ushu>l al-Tafsi>r, (Beirut, Daar al-Ummah,cet 2,2006), 16-18
[22] transfornasi makna dari makna asal yang digunakan oleh orang-orang arab sebelum Islam datang menjadi makna konseptual khas yang di tunjukkan oleh Islam juga telah ditelaah secara semantik oleh pemikir Jepang Thoshihiko Izutsu, kata-kata itu seperti istilah Islam, semula menunjuk pada makna suatu sikap seseorang yang memberikan sesuatu yang berharga kepada orang yang memintanya, yang kemudian orang tersebut disebut sebagai muslim. namun kemudian makna ini mengalami perubahan konseptual setelah Alquran turun dan memiliki makna religius. Lihat Thosihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Terj; Agus Fahri Husein dkk, (Yogya, PT Tiara Wacana Yogya, 1997), 50
[23] Hafidz Abdurrahman, Metode Praktis...,115-116
[24] Mohammad mohammad Isma’il, al-fikr al-Isla>mi, (Beirut, Maktabah al-Wa’yu, 1958), 45. dari empat komponen akal tersebut, maka definisi akal diartikan sebagai potensi yang diberikan Allah SWT kepada manusia sebagai hasil dari adanya potensi pengikat yang ada pada manusia. Potensi ini adalah menghukumi,  realita, atau dengan kata lain akal adalah pemindahan penginderaan terhadap fakta/realita pada otak disertai adanya informasi-informasi awal yang berfungsi untuk mengidentifikasi atau menafsiri fakta. Lihat Muhammad Husain Abdullah, Mafa>him Islamiyah; Menajamkan Pemahaman Islam, terj. M.Romli (Bangil, Al-Izzah, 2003), 29
[25] Tarjih terbagi menjadi dua yaitu tarjih diantara dua dalil dan tarjih di antara penunjukan lafadz dalam satu dalil. Lihat ‘Atha’ bin Khalil, Ushul Fiqh ; Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj; Yasin as-Siba’I (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, Cet;2, 2008), 387
[26] Muhammad Wafaa, Metode Tarjih..., 127
[27] Peradaban barat berangkat dari akar sejarah kehidupan mereka yang dimulai dari sejak kebangkitan negara-negara eropa dari dominasi sistem teokrasi gereja. kemudian para pemikir dan filosof dari mereka bangkit untuk menentang doktrin para agamawan tersebut. Hasil dari konflik yang meruncing tersebut melahirkan paradigma baru yaitu sebuah konsep untuk mengdikotomisasikan agama dari kehidupan atau paham sekularisme, lihat Abdul Majid Abdussalam Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Moh.Maghfur Wachid, (Bangil, Al-Izzah, 1997), 172. Proses sekularisasi yang semula berangkat dari fenomena sejarah eropa barat pada tataran selanjutnya menjadi paradigma khas yang banyak dinyatakan oleh para ahli bertolak dari ajaran kristen sendiri yaitu “Urusan Kaisar serahkan saja kepada kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan” paradigma seperti ini kemudian melahirkan gagasan pemisahan agama dari negara, lihat Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta, GIP,2008),84-87
[28] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks Dan Kontekstualisasi (Yogyakarta, PT,Qalam, 2002), 20
[29] Ibid, 23
[30] Syamsuddin Arif, Orientalis.., 179
[31] Ibid, 181-183
[32] Nasr Hamid Abu Zaid adalah tokoh pemikir Mesir yang karya-karyanya dinyatakan telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam dan diputuskan telah murtad oleh mahkamah Agung Mesir pada tanggal 5 Agustus 1996, Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis..,188
[33] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik teks Keagamaan, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2003), 27
[34] As-Syafi’i, Ar-Risalah, (Beirut, Daar al-Kutub al-ilmiyah, t.t.), 503-504
[35] Pengertian hadits ini adalah larangan bagi orang yang berpendapat berdasarkan pemikirannya pada ayat Alqur’an yang maknanya masih mengandung kemusykilan dan samar serta belum diketahui maknanya, kecuali dari apa yang dinukil dari nabi SAW serta para sahabat ra. lihat Muhammad Husein adz-Dzahabi, Tafsi>r wa al mufassiru>n (Maktabah Syamilah, t.t.) Jus iv, 41
[36] Syamsuddin Arif, Orientalis.., 150
[37] Ibn Hisyam, Si>rah Nabawiyah li ibn hisha>m, (Beirut, Da>r al-fikr, 1994), Jus.1, 266

Komentar

Postingan Populer