Dinasti Abbasiyah Dan Maknanya bagi Sejarah Islam

Oleh : Rifqi
A.  PENDAHULUAN
Sejarah peradaban merupakan suatu rangkaian peristiwa yang bersifat sistemik antara konsepsi kehidupan yang membentuk perilaku kolektif sebuah komunitas nasyarakat dengan realitas faktual yang menjadi ruang lingkup eksistensinya. realitas faktual itu berupa setting sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. dengan demikian untuk memotret realitas sejarah peradaban masyarakat atau komunitas tertentu dibutuhkan kajian secara komprehensif dan integratif agar sajian analitis kita tidak bersifat parsial. begitu halnya dengan sejarah peradaban Islam, ia tidak hanya merupakan realitas kesejarahan sebagai obyek kajian akademis namun bagaimana tingkat pergumulan realitas tersebut dengan konsep Islam sebagai way of life kaum muslim, mulai dari tinggi rendahnya keterikatan mereka dengan Islam maupun kualitas pemahaman yang mendasarinya dalam merespon berbagai problem kehidupan.
Berdasarkan kerangka tersebut, penulis ingin menyajikan secara deskriftif dan analitis tentang sejarah Imperium Abbasiyah berikut maknanya bagi sejarah Islam. Abbasiyah merupakan salah satu bagian fragmen dari sebuah pemerintahan Islam yang pernah menorehkan tinta sejarah besar dengan segala pernak perniknya. kemunculannya sebagai penerus dan pengganti pemerintahan bani umayah adalah hal yang menarik untuk diteliti karena di dalam sejarahnya mengandung lika liku yang tentu menimbulkan problema tersendiri bagi sejarah Islam, mulai dari intrik politik, syahwat kekuasaan hingga spirit dan misi Islam yang membentuk karakter dinasti ini.
Sesuai dengan konsep Islam dalam melihat realitas sejarah, yaitu tuntutan mengambil ibrah dan hikmah dalam menata kehidupan selanjutnya, maka tentu telaah dinasti Abbasiyah yang penulis ingin sajikan ini bukan sekedar memuat cerita tentang berbagai fenomena dan peristiwa pada saat dinasti ini mendeklarasikan otoritas kekuasaan politiknya dalam dunia Islam, namun bagaimana umat islam mengambil pelajaran penting dari peristiwa demi peristiwa dalam bingkai kesejarahannya.
Studi tentang dinasti Abbasiyah ini mesti kita sajikan secara memadai untuk kemudian kita analisis dengan pendekatan siroh nabawiyah dan siroh para sahabat[1]. kedua pendekatan siroh ini penulis maksudkan agar kita memiliki timbangan dan standard yang jelas dalam menilai dan menyimpulkan sejarah yang kita amati. kemudian tentu dengan hal itu diharapkan bisa diambil pelajaran penting untuk merumuskan masa depan sejarah peradaban Islam baik yang sedang kita jalani maupun yang akan kita proyeksikan bagi generasi generasi yang akan datang.

B.  DINAMIKA SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

1.    Sejarah Kelahiran dan Pembentukan Abbasiyah
Pemerintahan Abbasiyah merupakan pemerintahan Islam yang dari sisi nama dinisbatkan kepada paman Rasulullah SAW Al-Abbas, sementara khalifah pertama yang memimpin dinasti ini adalah Abdullah Ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Kekhilafahan ini berdiri setelah tumbangnya Bani Umayah dan memerintah selama waktu yang cukup panjang yaitu sekitar lima abad, antara tahun 132 – 656 H. bertepatan dengan tahun 750 – 1258 M.[2]
Dinasti Abbasiyah ini dianggap sebagai kemenangan dari gagasan atau slogan politik yang mengawali berdirinya, yaitu apa yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim (Alawiyun) bahwa yang berhak menjabat kekhilafahan adalah keturunan dari keluarga Muhammad SAW. Berdasarkan opini agar ridha atas keluarga Rasulullah inilah Abbasiyah berhasil meraih dukungan luas. Opini yang terus di dakwahkan ini menyebar dengan strategi yang amat rahasia. Orang-orang shi’ah yang semula memiliki dendam kusumat terhadap bani Umayah dan sekaligus berkeyakinan bahwa kekhilafahan hanyalah hak dari keturunan Rasulullah SAW juga terlibat untuk memberikan dukungan terhadap bani Abbasiyah ini.
Tentu keberhasilan opini dan slogan politik ini bukanlah satu-satunya yang menyebabkan kemenangan bani Abbasiyah, namun yang paling signifikan dalam hal ini tentu di akibatkan oleh kelakuan para khalifah Bani Umayah sendiri yang sebagian mereka berbuat kedzaliman dan bertindak tidak adil terhadap Rakyat terutama pada bangsa non Arab. Bani Umayah lebih mengutamakan bangsa Arab ketimbang bangsa lainnya. Hingga opini politik yang dihembuskan kalangan Bani Abbas mendapatkan dukungan kuat dari bangsa non Arab seperti warga daerah khurasan yang memang semula membenci bani Umayah karena kekejamannya dan keberpihakannya kepada orang-orang arab saja.[3] Daerah khurasan ini pula yang kemudian menjadi markas gerakan bani Abbasiyah untuk menggulingkan bani Umayyah. Disamping khurasan, ada daerah Hamimah yang banyak di diami oleh keluarga bani Hasyim baik dari kalangan pendukung Ali maupun dari pendukung keluarga Abbas. termasuk juga daerah kufah yang dihuni oleh para pendukung Ali bin Abi Thalib dari kubu syi’ah yang selalu mendapatkan penindasan dari Bani Umayah.[4]
Gerakan Abbasiyah semula dimulai dengan gerakan pemikiran yaitu ajakan untuk ridha terhadap keluarga Muhammad SAW dan berupaya melakukan delegitimasi terhadap kekuasaan bani Umayah. Propaganda ini mulai menghangat sejak tahun 101 H tepatnya pada pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Dan orang yang pertama kali menyerukan jabatan imamah adalah Muhammad bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Orang-orang Syiah menemuinya di daerah Hamimah. semula seruan ini ditujukan kepada orang-orang Alawi, yaitu Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang masyhur dengan sebutan Ibnu Hanafiyah. Muhammad bin Ali mengkordinir orang-orang syiah untuk melakukan gerakan rahasia dengan perencanaan yang matang dan tidak terlalu agresif agar gerakan mereka tidak terbongkar. Namun akhirnya gerakan mereka tercium juga oleh Yazid bin Abdul Malik sebagai penguasa bani Umayah kala itu. Yazid memerintahkan untuk memenggal kepala dua orang dari mereka dan meyalibnya. sepeninggal Muhammad bin Ali, gerakan ini dilanjutkan oleh anaknya yaitu Ibrahim bin Muhammad.
Pada tahun 127 H/ 744 M sejumlah propagandis Abbasiyah bertemu dengan Ibrahim bin Muhammad termasuk Abu Muslim Al-Khurasani dan menyerahkan seperlima kekayaan mereka kepadanya. [5] Namun pada saat itu tidak ada hasil gerakan yang berarti karena banyaknya fitnah dan tragedi yang terjadi pada tahun itu juga.
Gerakan Ibrahim bin Muhammad pada akhirnya juga tercium oleh seorang wali di daerah khurasan  yaitu Nashr bin Sayyar yang akhirnya ia mengirim surat kepada khalifah Marwan bin Muhammad dan mengabarkan tentang sepak terjang yang dilakukan oleh Ibrahim bin Muhammad. Lalu khalifah Marwan memanggil Ibrahim bin Muhammad melalui walinya di wilayah Syam untuk dibawa menghadap khalifah. Marwan menanyakan tentang ihwal gerakannya kepada Ibrahim bin Muhammad namun ia mengelak dan tidak mengakuinya. Akhirnya khalifah Marwan marah dan memerintahkan agar Ibrahim dibunuh dengan hukuman Gantung. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Safar tahun 132 H.
Pasca meninggalnya Ibrahim bin Muhammad saudaranya, Abul Abbas Abdullah as-Safah di daulat sebagai khalifah Abbasiyah dan saudaranya yang lain yaitu Abu Jakfar Abdullah Al-Mansur sebagai penerus mahkota kekuasaannya. As-safah memerintahkan pamannya Abdullah bin Ali untuk memerangi Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir bani Umayah. Kedua kubu bertemu dan terjadilah pertempuran sengit. dari kubu Bani Umayah dipimpin langsung oleh khalifah Marwan melawan kubu Abbasiyah yang dikomandani oleh Abdullah bin Ali.
Bani Umayah terpukul mundur, namun pihak Abbasiyah terus memburunya, membunuh dan menawannya. Abdullah bin Ali berhasil menguasai pusat kekuasaan bani Umayah dan menguasai seluruh harta kekayaannya. Abdullah bin Ali mengabarkan kemenangannya kepada Abul Abbas As-safah. As-Safah pun sujud syukur kepada Allah SWT sebanyak dua rakaat. Abdullah bin Ali terus mencari bani Umayah baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. ia menggali lubang kuburan dan membantai keturunan bani Umayah dan orang-orang yang bukan berasal dari bani Umayah sebanyak 92.000 orang pada hari ahad di tepi salah satu sungai Ramlah.[6]
Kemudian As-safah memerintahkan kepada pamannya Abdullah bin Ali agar tetap tinggal di wilayah Syam dan menyuruh saudaranya Shalih bin Ali untuk mengejar pelarian Marwan bin Muhammad ke wilayah Mesir. Shalih segera pergi ke Mesir dan mendapatkan Marwan tengah bersembunyi di gereja Abu Shair. Shalih bin Ali menyingkirkan para pengikut Marwan bin Muhammad lalu mengepung Marwan bin Muhammad dan membunuhnya, kemudian mengirimkan kepala Marwan bin Muhammad kepada Abul Abbas As-safah.[7]
Pembunuhan Marwan bin Muhammad terjadi pada hari Ahad kurang tiga hari dari sisa bulan Dzulhijjah. versi riwayat lain menyebutkan terjadi pada hari kamis tanggal 6 Dzulhijjah tahun 132 H.[8] Dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad maka berakhirlah kekuasaan politik bani Umayah yang pernah berkuasa sekitar 92 tahun. Akhirnya pemerintahan Islam berganti pada daulah Abbasiyah.

2.    Era Kematangan Abbasiyah
Era kematangan ini ditandai dengan stabilitas kondisi politik dalam negeri setelah proses kelahiran dan pembentukannya. Era ini dimulai sejak khalifah Al-Mahdi, khalifah ketiga dari para khalifah Abbasiyah, karena menurut catatan pakar sejarah baik As-Suyuti maupun Ya’kubi sebagaimana yang dikutip oleh Moh.Maghfur W, dinyatakan bahwa zaman Al-Mahdi tidak ada krisis internal yang cukup berarti, kendati pada masa ini ada satu pemberontakan yang dilakukan oleh Yusuf al-Barm sekitar 164 H/779 di khurasan. Namun semua itu tidak sampai membawa dampak serius bagi stabilitas negara. Hingga negara Abbasiyah memungkinkan untuk memantapkan strategi politik luar negerinya dengan cara penaklukan beberapa wilayah, bahkan al-mahdi juga mengirimkan duta-duta besarnya kepada raja-raja maupun penguasa-penguasa kala itu untuk meminta ketaatan mereka terhadap daulah Abbasiyah.[9]
Stabilitas politik ini tentu berbeda dengan kondisi politik pada era sebelumnya yaitu semasa khalifah Al-Mansur, ayah Al-Mahdi. pada masa Al-mansur masih terjadi konflik internal disebabkan perebutan kekuasaan diantara para pendiri Abbasiyah setelah meninggalnya Abul Abbas As-Safah, bahkan Al-Mansur telah melakukan pembunuhan massal terhadap para ahlul bait. As-suyuti menyatakan bahwa Al-Mansurlah yang menyulut api permusuhan antara keturunan keluarga Abbas dengan keturunan Ali bin Abi Thalib.[10] konflik ini ditengarahi merupakan akibat perebutan dan ambisi kekuasaan diantara pihak-pihak yang sebenarnya ikut berjasa dalam pendirian negara Abbasiyah.
Namun sejak Al-Mahdi stabilitas mulai terwujud, oleh karena itu penulis memasukkannya sebagai era kematangan bani Abbasiyah. Stabilitas politik dan penaklukan terus berlangsung dan mendapat puncaknya pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid, kondisi ini terus bisa dipertahankan hingga Al-Makmun dan Khalifah al-Mu’tashim. setelah khalifah al-Mu’tashim wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh al-watsiq dan pada masa Al-watsiq ini bisa dikatakan sebagai babak terakhir dari era kematangan bani Abbasiyah. Selanjutnya Abbasiyah memasuki era kelemahan dan kemundurannya.
Bani Abbasiyah pada era kematangannya telah menorehkan catatan besar bagi sejarah Islam sebagai sebuah peradaban yang banyak melahirkan para ilmuan dari berbagai bidang, mulai dari pengetahuan Tsaqafah Islamiyah hingga temuan-temuan ilmiyah di bidang sains dan tekhnologi.[11]

3.    Masa kelemahan dan Kemundurannya
Masa kelemahan dan kemunduran bani Abbasiyah di mulai sejak zaman pemerintahan al-Mutawakkil, yaitu ketika kedudukan tentara Turki begitu dominan dalam negara. Para kepala staf tentara Turki ini yang telah membunuh al-Mutawakkil setelah melakukan konspirasi dengan anaknya sendiri, al-Muntasir. Hal ini terjadi setelah ayahnya Al-Mutawakkil membuat wasiat untuk membagi wilayah kekuasaannya kepada anak-anaknya. Al-Muntasir mendapatkan wilayah Afrika, maroko, Qinisrin, perbatasan Syam, Moushul, Hait, Anbar, Yaman, Hadramaut, Bahrain, Sind, Esfahan dan lain-lain. Sedangkan Al-Mu’tazz saudaranya mendapat mendapat Khurasan, Tibrastan, Rayy, Armenia, Azerbaijan, Kur Persia. Dan saudaranya yang satu lagi, Al-Mu’ayyid mendapat Hims, Damaskus dan Palestina.[12] Sesungguhnya menurut wasiat Al-Mutawakkil, Al-Mu’taz lah yang lebih dulu berhak menggantikannya sebelum yang lain. Namun karena ia takut kepada saudaranya, akhirnya ia ikut membaiat Al-Muntasir yaitu pada tahun 247 H/ 861 M. Pada tahun 248 H dua saudara Al-Muntasir digugurkan sebagai putra mahkota, karena khawatir keselamatan mereka terancam oleh tentara Turki. Dan memang benar adanya, setelah sepeninggal Al-Muntasir. Dua saudara Al-Muntasir tidak dilantik sebagai khalifah. Namun kepala staf tentara Turki justru melantik Al-Musta’in saudaranya Al-Mutawakkil sebagai khalifah. Berikutnya yang menggantikannya adalah Al-Mu’taz dan Al-Muhtadi. Namun mereka mengalami nasib yang sama, terbunuh di tangan orang-orang Turki seperti yang di alami oleh al-Musta’in.
Dari faktor itulah yang menyebabkan kekuasaan para khalifah menjadi lemah, dan memicu daerah-daerah kekuasaannya memerintah tanpa instruksi dan kontrol Khalifah. Dan ini pula yang menyebabkan disintegrasi di berbagai wilayah. Banyak wilayah-wilayah yang memisahkan diri dari pemerintahan pusat. Kendati gejala pemisahan wilayah itu sudah terjadi sejak masa Khalifah Harun Ar-Rasyid.[13] Akan tetapi tidak menjamur seperti yang terjadi ketika para khalifah dalam kondisi lemah dan tak berdaya.
Kekuasaan para khalifah pada masa ini hingga tumbangnya Bani Abbasiyah betul-betul mengalami fase kelemahan dan kemunduran. Dan pada masa ini Umat Islam juga telah diperas habis untuk menghadapi perang salib yang berlangsung kurang lebih dua abad. Meski kondisi Abbasiyah melemah pada masa ini namun pada akhirnya secara umum pasukan Salib berhasil dikalahkan. Setelah perang salib usai, yaitu ketika tenaga Umat Islam dikuras habis menghadapinya, maka datanglah pasukan Tartar memporak-porandakan Baghdad sebagai pusat kekuasaan Bani Abbasiyah. Khalifah Al-Musta’sim dan berpuluh-puluh ulama dibantai. Baghdad menjadi banjir darah, ada sekitar 1.6 juta umat Islam di bunuh. Dan inilah akhir dari pemerintahan Bani Abbasiyah.
Namun kenyataan pahit dan memilukan ini terjadi, umat Islam ternyata masih mampu mengalahkan pasukan Tartar yaitu dua tahun setelah peristiwa Baghdad. Al-Muzaffar penguasa Mesir kala itu berhasil mengalahkan mereka yaitu pada tahun 1260 M dalam peperangan Ain Jalut, yang akhirnya banyak dari tentara pasukan Tartar masuk Islam. Dan pada tahun 1280 M Al-Mansur Qalawun juga berhasil mengalahkan pasukan Tartar di syria dan membebaskan Tripoli dari tangan pasukan Salib.
Sejak berakhirnya era Abbasiyah di baghdad dan beralih ke Mesir, tidak banyak prestasi yang dapat dicatat dari bani Abbasiyah, karena penaklukan berbagai penaklukan setelah itu banyak dilakukan oleh keluarga Utsman, yang pada gilirannya  Utsmaniyah yang menjadi pusat kekuasaan politik Umat Islam. Prestasi terbesar dalam sejarah umat Islam pada masa Utsmaniah adalah penaklukan Konstantinopel sebagai benteng kekuasaan Romawi timur.

C.  STUDI ANALISIS TERHADAP DINASTI ABBASIYAH
1.    Standard Paradigma untuk menilai sebuah Peradaban
Dalam diskursus ilmiah mengenai sebuah peradaban selalu terdapat persinggungan antara konsepsi normative yang diyakini sebagai landasan terbentuknya peradaban tertentu dengan realitas konteks kesejarahan manusia yang selalu mengalami dinamika. Begitu juga dengan peradaban Islam, pertautan antara sisi normatifitas Islam dengan konteks sejarah umat Islam selalu mengalami dinamika. Inilah yang mesti kita kaji secara teliti dan mendalam. Oleh karena itu standard yang akan kita jadikan sebagai paradigma dalam memberikan penilaian terhadap perjalanan sejarah umat Islam menjadi sangat penting dan mendesak. Jika tidak memiliki standard, maka sudah pasti kita tidak akan bisa mengambil ibrah atau justru salah memahami ibrah darinya.
Dalam kajian keislaman kontemporer kita selalu disuguhkan sebuah paradigma yang mencitrakan fenomena kemelut antara Islam normatif dengan Islam historis. Apakah normatifitas Islam yang akan kita jadikan sebagai standard atau historisitas dengan dinamikanya yang akan kita jadikan sebagai pijakan, atau kita bersikap moderat untuk tidak berpihak kepada salah satunya, sembari terus mengumandangkan kegamangan intelektual dengan retorika manipulatif dan justifikasi.
Menghadapi kenyataan seperti itu, maka tentu kita tidak bisa tinggal diam hanya menjadi penonton ataupun pengamat. Menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk mengambil pelajaran penting dan dapat memberikan kontribusi positif bagi arus pemikiran yang terus berkembang, lebih-lebih jika kita mampu menjadi pemain dan agen historis dalam dinamika peradaban terutama di masa-masa yang akan datang.
Sebagaimana penulis sampaikan pada pendahuluan makalah ini, maka pilihan kita untuk merumuskan standard yang kita jadikan sebagai paradigma dalam menilai peradaban, tentu harus berpijak kepada Aqidah Islamiyah. Aqidah yang dimaksud disini bukan sekedar wacana pengakuan akan ke esaan Allah SWT. Namun Aqidah yang akan dijadikan sebagai landasan berfikir, yang darinya terbentuk sebuah system pemikiran untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan.
Sesuai dengan tuntutan aqidah Islam, maka pijakan kita dalam menganalisis sejarah bani Abbasiyah tentu tidak boleh lepas dari Sunnah Rasul maupun Sunnah para khulafaur Rasyidin. Karena pada kesejarahan mereka itulah Islam memberikan legitimasinya. Dengan demikian kita akan dapat mengambil pelajaran dan dapat mengidentifikasi berbagai dinamika perjalanan kekuasaan bani Abbasiyah, dari para khalifah yang konsisten di jalan Islam atau dari kalangan mereka yang tergelincir di jalan persimpangan.[14]

2.    Kebijakan Politik Pemerintahan Abbasiyah
Sebagaimana uraian sejarah yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai sepak terjang kekuasaan bani Abbasiyah, maka ada beberapa kebijakan politik Abbasiyah yang perlu di lakukan studi analisis baik pada proses pendiriannya hingga pada kelemahan maupun kemundurannya. Abbasiyah untuk meraih tujuannya dan dapat mengambil alih kekuasaan bani Umayah semula di awali dengan gerakan pemikiran dan perencanaan yang matang. Menghimpun kekuatan politik dengan berbasis pada pemikiran tertentu sudah dapat dipastikan akan bisa bergerak secara efektif sekaligus dapat mengukur ketercapaian tujuan yang ditargetkan. Hal itu juga sebagaimana yang kita pahami dari perjalanan perjuangan Rasulullah hingga mendapatkan kekuasaan dan kekuatan politik di madinah. Beliau SAW telah membangun pondasi pemikiran khas untuk menghantam pemikiran jahiliyah. Dengan pemikiran islam itu pula beliau sanggup menghimpun banyak orang berada disekitarnya dengan kekuatan ideologis yang pada gilirannya mampu menghancurkan system kekuasaan jahiliyah. Namun ada perbedaan mendasar antara kerangka pemikiran Islam yang dibawa Rasulullah dengan pemikiran dasar yang diusung oleh Bani Abbasiyah. Jika Abbasiyah, pemikiran dan slogan politik yang di embannya menyimpan selubung rasialisme yaitu keluarga Abbas secara khusus dan bani hasyim secara umum. Akhirnya yang terjadi pada kelanjutan bani Abbasiyah adalah pertentangan Ras dan pertentangan suku di sekitar kekuasaan. Dan ini tentu turut menyumbang terhadap kelemahan dan kemunduran Abbasiyah. Perbedaan yang mendasar lainnya dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah penggunaan dan pendekatan militer dalam meraih kekuasaan. Sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh Rasulullah pada saat beliau mendapatkan dukungan politik dari masyarakat madinah untuk menerapkan dan memperjuangkan Islam.[15] Bani Abbasiyah telah memburu dan membunuh keturunan bani Umayah bahkan ada diantara mereka yang tak pernah membuat dosa politik masa lalu dengan tanpa kemanusiaan. Ini menegaskan kelemahan Abbasiyah dalam memahami islam pada satu sisi. Mereka menganggap yang berhak atas ke khalifahan adalah kalangan mereka karena merupakan keturunan keluarga Rasul. Pemahaman keliru ini kemudian berselingkuh dengan syahwat kekuasaannya. Penggunaan militer dengan pendekatan “bumi hangus” sesungguhnya merupakan kekeliruan turunan dari bani Umayah yang diteruskan oleh Bani Abbasiyah dengan bungkus balas dendam. Ini berbeda pula dengan apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat nabi ketika menjadi khalifah. Tengok misalnya kebijakan Abu bakar yang memerangi kalangan pemberontak yang tidak mau membayar zakat, para nabi palsu dan kalangan yang murtad dari Islam. Abu bakar masih mengingatkan mereka ke jalan yang benar dan sekalipun terjadi peperangan, maka peperangan yang dilakukan juga dalam rangka meluruskan dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar bukan perang bumi hangus sebagaimana di praktekkan oleh bani Abbasiyah. Demikian pula yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib ketika menghadapi kaum pemberontak Khawarij.[16]
Salah satu kesalahan kebijakan politik yang dikembangkan oleh Abbasiyah juga adalah penetapan putra mahkota dalam pemilihan khalifah, kendati kesalahan ini sudah dimulai sejak pemerintahan bani Umayah. Pemilihan khalifah dengan penetapan putra mahkota tentu menyalahi asas bai’at sebagai metode pengangkatan khalifah yang berdasarkan kerelaan dan pilihan umat untuk menentukannya, setelah para calon khalifah memenuhi syarat in’iqad sesuai dengan ketentuan syara’.

3.    Pemerintahan Abbasiyah dan Problem Nasionalisme
Sudah bukan merupakan rahasia, bani Abbasiyah membangun kekuasaannya dengan doktrin dan konsepsi yang diselubungi oleh fanatisme suku yaitu berdasarkan keturunan keluarga bani Abbas. Terlebih lagi pada tingkat perkembangannya, keberpihakan Abbasiyah terhadap orang-orang Persia dan bertindak diskrimanatif terhadap kalangan orang-orang Arab adalah bukti adanya sentiment nasionalisme[17] yang tumbuh subur dalam kekuasaan bani Abbasiyah. Namun jika diamati dengan teliti sentimen rasialisme ini adalah disebabkan karena situasi politik, dimana pada saat itu mayoritas orang-orang Arab adalah pendukung bani Umayah. dan dalam rangka mempertahankan kekuasaannya dari kemungkinan gangguan, maka Abbasiyah memanfaatkan orang-orang persia untuk menggalang dukungan politik. Jadi sentimen rasialisme yang muncul hanyalah bersifat kasuistik dan lebih disebabkan oleh motif politik. oleh karena itu secara umum menurut Kamal Said Habib sesungguhnya Bani Abbasiyah tetap memperlakukan secara sama antara orang-orang arab dengan non Arab.[18]
Pada perjalanan selanjutnya, yaitu pada era pemerintahan al-Mu’tashim, ia justru menggaet Turki daripada persia. Namun tindakannya tersebut malah membuat kekacauan yang tak terkendali hingga terbunuhnya khalifah berikutnya al-Mutawakkil ditangan orang-orang Turki. Kekacauan yang memperlemah tubuh negara terus berlangsung hingga pasukan Tartar menguasai Baghdad dan menghancurkannya.
Kendati isu rasial atau nasionalisme ini lebih disebabkan oleh motif politik, namun hal tersebut telah menambah permasalahan tersendiri dan mengakibatkan kelemahan daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, kenyataan tersebut mesti kita timbang dengan sikap politik Rasulullah SAW dalam memperlakukan semua kalangan dari berbagai kabilah termasuk misalnya dengan orang-orang Yahudi. Sikap Adil dan perlakuan sama dari Rasulullah nampak dari teks perjanjian yang dibuat Rasul ketika beliau memimpin Madinah. Perjanjian tersebut populer dengan sebutan piagam madinah.[19] Dengan demikian apa yang diperbuat oleh Daulah Abbasiyah adalah bentuk penyimpangan terhadap ketentuan Islam, yang pada gilirannya menambah persoalan rumit dan telah memperlemah kekuatan negara.
Dan satu hal lagi yang mengakibatkan kelemahan negara semakin parah adalah pembiaran terhadap para wali atau gubernur di berbagai wilayah memerintah tanpa koreksi dan intsruksi khalifah. Khalifah hanya bangga ketika namanya disebut pada mimbar-mimbar atau hanya diakui sebagai kepemimpinan umum kaum muslimin, namun fungsi kepemimpinan secara riil tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan ada yang sampai memisahkan diri dari kekuasaan pusat seperti bani Fatimiyah di mesir. Dinasti Abbasiyah terus membiarkan hal itu terjadi berlangsung sekian lama tanpa berupaya sungguh-sungguh untuk menyatukannya kembali dalam satu naungan negara.[20]

D.  MENYINGKAP MAKNA HISTORIS DINASTI ABBASIYAH
Sesuai dengan tuntutan Islam dalam menilai sejarah yaitu sedapat mungkin kita bisa mengambil pelajaran, maka kajian pada bagian ini penulis maksudkan untuk mengambil makna historis dari perjalanan panjang dinasti Abbasiyah. Tentu makna historis yang akan dikemukakan memiliki keterkaitan dengan hasil studi analisis yang di jelaskan sebelumnya.

1.    Indikator Kegemilangan dan Kemunduran Peradaban Islam
Banyak dari pengamat sejarah maupun para pemikir yang mencatat puncak dari masa keemasan Bani Abbasiyah adalah dimulai sejak masa pemerintahan dimana filsafat, sastra, sains maupun tekhnologi mengalami perkembangan sangat pesat. Dan masa itu populer ketika khalifah Al-Ma’mun memerintah. Pandangan tersebut hanya diarahkan pada prestasi yang diraih oleh sebuah peradaban, tanpa melakukan penelitian secara mendalam mengenai sebab akibat terbentuknya sebuah peradaban. Pernyataan Arnold Toynbe sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Al-Qashash menegaskan bahwa ekstensi politik, peperangan, atau indahnya seni tidak dapat di anggap sebagai kaedah yang tepat untuk mengukur kemajuan yang hakiki. Kecanggihan teknologi baik dibidang sains ataupun tekhnologi dalam pandangan Toynbe tidak bisa menunjukkan apa-apa kecuali sedikit adanya hubungan bahkan bisa jadi tidak ada kaitannya sama sekali dengan kemajuan sebuah peradaban.[21] Sebab kadangkala kemajuan sains dan tekhnologi mengalami puncaknya namun pada saat yang bersamaan justru peradaban tertentu sedang menuju masa kehancurannya, dan juga bisa berlaku sebaliknya. Dengan demikian standard untuk menilai masa keemasan sebuah peradaban tidak cukup menjadikan prestasinya di bidang seni, sain maupun tekhnologi sebagai tolak ukur.
Berdasarkan sudut pandang ini, masa khalifah Al-Ma’mun yang banyak dicatat oleh para pakar sejarah mutakhir sebagai masa keemasan Bani Abbasiyah karena pada masa itu ditandai dengan kemajuan filsafat, seni dan berbagai penemuan ilmiah justru menurut hemat penulis adalah masa yang ikut andil dalam mengantarkan kelemahan dan kemunduran Abbasiyah. Pandangan Mu’tazilah yang dijadikan sebagai madzhab negara dan penerjemahan besar-besaran filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab telah mengantarkan pemikiran kaum muslimin di selimuti oleh kemelut dan polemik. Al-Ma’mun yang waktu itu mengadopsi pandangan mu’tazilah mengenai Khalq Al-Qur’an sebagai pandangan negara telah mengakibatkan fitnah yang menyeret kalangan para ulama dan umat Islam dalam konflik internal yang berkepanjangan.[22] Konflik itu mengakibatkan fanatisme madzhab dan aliran di tengah-tengah masyarakat. Dan ini sesungguhnya merupakan embrio kejumudan berfikir yang pada berikutnya mengantarkannya kepada kelemahan dan kemunduran sebuah peradaban. Efeknya dari itu semua memang tidak harus dirasakan pada saat itu juga, namun baru nampak setelah masa khalifah berikutnya.
Dengan demikian untuk menilai tinggi rendahnya sebuah peradaban maka kita seharusnya mengukur berdasarkan sebab terbentuknya peradaban tersebut. Peradaban Islam lahir dari posisi geografis masyarakat dimana sebelumnya belum dan tidak tersentuh oleh peradaban besar, bahkan masyarakat yang secara sosiologis bisa terkategori sebagai masyarakat yang terisolasi. Sebuah masyarakat yang hanya bangga dengan keyakinan dan mitos-mitos masa lalunya. Namun ketika Rasulullah membawa risalah Islam sebagai pemikiran baru bagi masyarakat Jahiliyah, maka kondisinya mengalami perubahan drastis. Masyarakat yang tadinya jumud dan terbelakang justru bangkit dan mendulang menantang dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia. Dengan demikian sesungguhnya sebab utama kegemilangan peradaban Islam adalah di ukur berdasarkan keterikatannya dengan pemikiran Islam itu sendiri sebagai way of life. maka berdasarkan hal tersebut, sejarawan seperti Mahmud Syakir sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Al-Qashash mengemukakan bahwa “Asas dan akar peradaban ini telah mencapai puncaknya pada masa Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Sedangkan pengaruhnya mulai nampak setelah penaklukan terhadap berbagai negeri.[23]

2.    Merevitalisasi Peradaban Islam; Sebuah Ikhtiar Meraih Kebangkitan
Sesuai dengan paparan di atas, jika kita ingin mengembalikan peradaban Islam maka kita sudah pasti harus kembali kepada Islam sebagai way of life. Islam yang dimaksud bukan sekedar Agama ritual yang saat ini banyak dipahami oleh kebanyakan kaum muslimin. Namun Islam Kaffah[24] yang mencakup konsep kehidupan yang dapat menjadi solusi bagi seluruh dimensi kehidupan manusia. Sekaligus Islam yang juga mencakup aspek metode praktis dalam pelaksanaan seluruh konsepsinya.
Perpaduan antara Islam konseptual dan Islam Metodologis adalah jaminan totalitas ajaran yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad SAW hingga berhasil mengubah masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat Islami dengan pilar-pilarnya yang kokoh. Islam konseptual adalah Islam yang mencakup Aqidah Islamiah sebagai landasan berfikirnya sekaligus problem solving bagi seluruh problematika kehidupan, mulai dari masalah ibadah, tatanan sosial budaya, ekonomi, pendidikan maupun politik. Sedangkan Islam Metodologis adalah keseluruhan konsep Islam yang mencakup metode praktis agar seluruh problem solving yang ditawarkan terwujud menjadi kenyataan. Satu contoh, ketika Islam memiliki seperangkat konsep mengenai tata kehidupan masyarakat semisal aturan pergaulan dalam kehidupan sosial, maka Islam juga memiliki metode praktis agar konsep tersebut bisa terwujud yaitu berupa sistem yang menjaga, melestarikan dan mencegah berbagai kemungkinan penyimpangannya di tengah masyarakat. Dan sistem ini tentu dalam pandangan Islam yang memiliki otoritas adalah para ulil amri [25]. Sehingga dengan demikian Islam bukan hanya seperangkat nilai-nilai kehidupan yang di jadikan pedoman bagi umat, namun lebih dari itu ia akan menjadi ideologi yang memuat seluruh sistem pemikiran yang siap diterapkan dalam kehidupan.
Namun kesadaran terhadap Islam Ideologis yang penulis maksud tidaklah otomatis menyebabkan umat mengalami kebangkitan. Ada perkara-perkara lain yang mesti disadari oleh umat Islam agar pemahamannya terhadap Islam ideologis itu bisa menjadi mesin penggerak untuk mewujudkan perubahan. Dan kesadaran akan pentingnya perubahan menuju kebangkitan menurut Ahmad ‘Athiyat akan terus mengalir jika ditengah-tengah umat sudah memiliki dua kesadaran yaitu pertama, sebuah kesadaran mengenai fakta kehidupan yang rusak yang melingkupi kehidupan umat. Dan kedua adalah kesadaran tentang fakta alternatif yang akan menggantikan fakta yang rusak tersebut.[26]
Jika kesadaran terhadap fakta yang rusak sudah dimiliki oleh umat islam melalui proses berfikir mendalam, dan sekaligus kesadaran terhadap fakta alternatif yang akan menjadi penggantinya, maka selanjutnya yang dibutuhkan adalah pemahaman tentang metode yang akan ditempuh dalam mewujudkan perubahan. Dan syarat-syarat yang diperlukan dalam proses perubahan mencakup:
1.      Kesadaran bahwa jalan perubahan yang akan ditempuh merupakan perkara yang sulit dan susah sehingga membutuhkan jiwa yang besar dan pengorbanan maksimal
2.      Memiliki tujuan dan arah perubahan dengan jelas sehingga kondisi ideal yang di inginkan dapat menjamin kemulyaan, kebahagiaan dan kedamaian bagi umat
3.      Memahami bahwa jalan perubahan yang ditempuh berada pada jalan lurus dan sesuai dengan langkah yang telah digariskan.
4.      Proses perubahan menuju kebangkitan yang dijalaninya haruslah dilalui dengan sungguh-sungguh dengan tekad yang bulat dan menganggapnya sebagai agenda utamanya yang bersifat penting.[27]

E.  KESIMPULAN
Dari sekian paparan makalah yang telah disajikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.    Dinasti Abbasiyah adalah bagian dari kekuasan politik Islam yang di dirikan oleh keturunan keluarga Abbas dan khalifah pertamanya adalah Abul-Abbas As-Safah setelah berhasil menggulingkan kekuasan bani Umayah sebelumnya.
2.    Dinasti Abbasiyah melewati tiga fase yaitu pertama fase berdiri dan pembentukannya, kedua, fase kematangan kekuasaannya dan fase ketiga adalah fase kelemahan dan kemundurannya.
3.    Studi analisis terhadap dinasti Abbasiyah mencakup beberapa penyimpangan yang telah dilakukan di antaranya penggunaan militer dengan pendekatan “bumi hangus” terhadap setiap lawan-lawan politiknya. Keberpihakan terhadap ras tertentu demi mempertahankan kekuasaannya yang akhirnya mengakibatkan sentimen rasialisme atau nasionalisme dalam pengertian yang lebih luas. Dan sikap pembiarannya terhadap wilayah-wilayah yang memisahkan diri dari kekuasaan pusat.
4.    Makna historis dari dinasti Abbasiyah dapat dirumuskan dengan sebisa mungkin mengambil pelajaran penting yaitu menemukan sebab utama kebangkitan peradaban Islam terletap pada Islam itu sendiri. Selanjutnya dapat menentukan langkah-langkah untuk mewujudkan perubahan menuju kebangkitan dengan dua kesadaran yakni kesadaran akan fakta yang rusak yang telah menjangkiti umat dan kesadaran akan fakta alternatif yang akan dijadikan sebagai penggantinya.
Wallahu a’lamu bis shawab.




  
DAFTAR PUSTAKA

Atha bin Khalil, Ushul Fiqih; Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis, “terj”. Yasin as-Siba’i (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008).

Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam; Studi tentang Transformasi dan Kebangkitan Umat, terj; Dede Koswara, (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2010)

Al-Baghda>di, Abdul Qa>hir Al-farqu bayna al-firaq, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t),
Al-Jaziri, Abdurrahman Kitab al-fiqh ‘ala al Maz}ahib al-Arba’ah, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008).
Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah, ( t.p.).
Al-Qashash, Ahmad. Peradaban Islam VS Peradaban Asing, Terj; Zahid As-Sidany (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2009)

Al-Wakil, Muhammad. Sayyid Wajah Dunia Islam; dari dinasti Bani Umayah hingga Imprealisme Modern, terj, Fadli Bahri (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998),

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta, Amzah, 2010),

as Suyuti, Jalaluddin. Al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Haekal, Muhammad Khair. Jihad dan Perang Menurut Syariat Islam, terj; A.Fakhri (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2004)
Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyah ibn hisha>m. terj: Fadhli Bahri, (Jakarta, Darul Falah, 2009).
Ibnu Katsir, Al-Bida>yah wa al-Niha>yah ( Beirut, Da>r al-Fikr, 1986)
Maghfur W, Muhammad. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil, Al-Izzah, 2002).
  
  



[1] kedua perspektif siroh antara siroh nabawiyah dengan para sahabat dipilih karena umat Islam hanya boleh mengambil risalah Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadits yang terakumulasi dalam kesejarahan nabi. (Lihat QS: 59 : 7). sedangkan yang dimaksud siroh para sahabat bukan hanya sejarah para sahabat secara perorangan namun merupakan kesepakan mereka tentang hukum dan itu terpateri dalam kesejarahan mereka. mengenai legalitas Ijma’ sahabat ini sebagai bagian dari hukum syara’ bisa dilihat Jalaluddin as Suyuti, Al Itqan fii Uluum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 548.  penjelasan tentang ijma’ sahabat dan kriterianya bisa dilihat ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih; Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis, “terj”. Yasin as-Siba’i (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), 102-106.
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta, Amzah, 2010), 138
[3] Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam; dari dinasti Bani Umayah hingga Imprealisme Modern, terj, Fadli Bahri (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998), 76
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 139
[5] Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam, 71
[6] Ibid, 72
[7] Ibnu Katsir, Al-Bida>yah wa al-Niha>yah ( Beirut, Da>r al-Fikr, 1986), Juz: 10, 46
[8] Ibid, 46
[9] Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil, Al-Izzah, 2002), 170
[10] Ibid, 168
[11] Tentang perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai aspek kehidupan pada masa ini bisa di lihat Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 148-152
[12] Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran..., 172
[13] Wilayah yang memisahkan diri pada masa Harun ar-Rasyid adalah dinasti Idrisiah yang bermadzhab syi’ah di Maroko tahun 788 M. Dinasti Aghalibah di Tunisia pada tahun 800 M dan bermadzhab Sunni. Lihat Ibid, 171
[14] Jalan persimpangan yang penulis maksud adalah karena mereka pada masa pemerintahan islam masih menggunakan system Islam sebagai dasar negara namun diantara mereka berbuat kedzaliman disebabkan kelemahan memahami konsepsi islam atau karena pelaksanaan buruk terhadap konsepsi Islam. Penulis menyebutnya dijalan persimpangan bukan di jalan kesesatan disebabkan mereka masih merujuk kepada Islam kendati lemah atau salah memahaminya.
[15] Sikap untuk tidak menggunakan kekerasan dalam meraih kekuasaan nampak ditunjukkan oleh Rasulullah SAW pada saat bai’at Aqabah kedua, yaitu ketika Rasulullah SAW mendapatkan dukungan politik dari masyarakat Madinah untuk membela dan memperjuangkan Islam. Pada saat itu ada tawaran dari salah seorang tokoh yang terlibat dalam baiat aqabah kedua yakni al-‘Abbas bin Nahdhah mengenai kesiapannya melakukan serangan guna memerangi kaum musyrik di Mina. Nabi SAW bersabda : لم نؤمر بذلك ولكن ارجعوا الى رحالكم.          (Kita belum diperintahkan untuk itu. karena itu kembalilah kalian ke hewan tunggangan kalian). Lihat Muhammad Khair Haekal, Jihad dan Perang Menurut Syariat Islam, terj; A.Fakhri (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2004), 98
[16] Ali bin Abi Thalib menganggap Khawarij sebagai bagian dari kelompok politik. Beliau tidak pernah mencegah mereka melakukan shalat di masjid ataupun menikmati harta fa’i dari peperangan. Ali bin Abi Thalib juga tidak memerangi mereka sebelum mereka sendiri yang melancarkan peperangan terhadap negara. bahkan Ali tetap memberikan keamanan kepada mereka dan tidak memeranginya selama mereka tidak memerangi negara. lihat Kamal Sa’id Habib, Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam, terj; Ahmad Fahrur Rozi, dkk. (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2007), 217
[17] Nasionalisme yang dimaksud oleh penulis disini adalah paham dan fanatisme kesukuan yang berkembang. Ini mungkin berbeda secara historis dengan perkembangan ide nasionalisme yang bermula dari eropa lalu menyebar menjadi sebuah konsep kenegaraan yang berdiri di atas dasar kebangsaan. Namun secara esensi dan substansialnya, fanatisme kesukuan ini memiliki akar konseptual yang sama dengan nasionalisme yang berkembang saat ini yaitu sebagai ikatan yang didasarkan pada factor suku atau bangsa tertentu yang berasal dari latar belakang sejarah yang sama atau nasib yang sama. tentu ikatan ini tidak didasarkan pada agama sebagaimana ikatan Islam. Jika ikatan islam sudah pasti tidak lagi memperhatikan perbedaan ras, suku atau bangsa tertentu namun hanya di dasarkan pada kesatuan aqidah yaitu aqidah Islam.
[18] Kamal Sa’id Habib, Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam, 213
[19] Mengenai isi piagam madinah bisa di lihat Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyah ibn hisha>m. terj: Fadhli Bahri, (Jakarta, Darul Falah, 2009), 454-457
[20] Kesatuan negara yang melindungi seluruh umat Islam adalah merupakan hal yang paling prinsipil dalam Islam, hal itu dikemukakan oleh banyak para ulama ahlus-sunnah wal jama’ah. Lihat Abdul Qa>hir al-Baghda>di, Al-farqu bayna al-firaq, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), 271. Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-fiqh ‘ala al Maz}ahib al-Arba’ah, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), 366. Lihat al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah, ( t.p.), 9
[21] Ahmad Al-Qashash, Peradaban Islam VS Peradaban Asing, Terj; Zahid As-Sidany (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2009), 148
[22] Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran..., 209
[23] Ahmad Al-Qashash, Peradaban Islam...., 150
[24] Allah SWT berfirman :  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ  (Wahai orang-orang yang beriman, Masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan karena ia adalah musuh yang nyata bagi kalian. (QS; Al-Baqarah; 208)
[25] Lihat QS. An-Nisa’ : 59
[26] Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam; Studi tentang Transformasi dan Kebangkitan Umat, terj; Dede Koswara, (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2010), 7
[27] Ibid, 10-11.

Komentar

Postingan Populer