Dinasti Abbasiyah Dan Maknanya bagi Sejarah Islam
Oleh
: Rifqi
A. PENDAHULUAN
Sejarah
peradaban merupakan suatu rangkaian peristiwa yang bersifat sistemik antara
konsepsi kehidupan yang membentuk perilaku kolektif sebuah komunitas nasyarakat
dengan realitas faktual yang menjadi ruang lingkup eksistensinya. realitas faktual
itu berupa setting sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. dengan
demikian untuk memotret realitas sejarah peradaban masyarakat atau komunitas
tertentu dibutuhkan kajian secara komprehensif dan integratif agar sajian
analitis kita tidak bersifat parsial. begitu halnya dengan sejarah peradaban
Islam, ia tidak hanya merupakan realitas kesejarahan sebagai obyek kajian
akademis namun bagaimana tingkat pergumulan realitas tersebut dengan konsep
Islam sebagai way of life kaum muslim, mulai dari tinggi rendahnya keterikatan
mereka dengan Islam maupun kualitas pemahaman yang mendasarinya dalam merespon berbagai
problem kehidupan.
Berdasarkan
kerangka tersebut, penulis ingin menyajikan secara deskriftif dan analitis
tentang sejarah Imperium Abbasiyah berikut maknanya bagi sejarah Islam. Abbasiyah
merupakan salah satu bagian fragmen dari sebuah pemerintahan Islam yang pernah
menorehkan tinta sejarah besar dengan segala pernak perniknya. kemunculannya
sebagai penerus dan pengganti pemerintahan bani umayah adalah hal yang menarik
untuk diteliti karena di dalam sejarahnya mengandung lika liku yang tentu menimbulkan
problema tersendiri bagi sejarah Islam, mulai dari intrik politik, syahwat
kekuasaan hingga spirit dan misi Islam yang membentuk karakter dinasti ini.
Sesuai
dengan konsep Islam dalam melihat realitas sejarah, yaitu tuntutan mengambil
ibrah dan hikmah dalam menata kehidupan selanjutnya, maka tentu telaah dinasti
Abbasiyah yang penulis ingin sajikan ini bukan sekedar memuat cerita tentang
berbagai fenomena dan peristiwa pada saat dinasti ini mendeklarasikan otoritas
kekuasaan politiknya dalam dunia Islam, namun bagaimana umat islam mengambil
pelajaran penting dari peristiwa demi peristiwa dalam bingkai kesejarahannya.
Studi
tentang dinasti Abbasiyah ini mesti kita sajikan secara memadai untuk kemudian
kita analisis dengan pendekatan siroh nabawiyah dan siroh para sahabat[1].
kedua pendekatan siroh ini penulis maksudkan agar kita memiliki timbangan dan
standard yang jelas dalam menilai dan menyimpulkan sejarah yang kita amati.
kemudian tentu dengan hal itu diharapkan bisa diambil pelajaran penting untuk merumuskan
masa depan sejarah peradaban Islam baik yang sedang kita jalani maupun yang
akan kita proyeksikan bagi generasi generasi yang akan datang.
B.
DINAMIKA SEJARAH
PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
1.
Sejarah
Kelahiran dan Pembentukan Abbasiyah
Pemerintahan
Abbasiyah merupakan pemerintahan Islam yang dari sisi nama dinisbatkan kepada
paman Rasulullah SAW Al-Abbas, sementara khalifah pertama yang memimpin dinasti
ini adalah Abdullah Ash-Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin
Abdul Muthalib. Kekhilafahan ini berdiri setelah tumbangnya Bani Umayah dan
memerintah selama waktu yang cukup panjang yaitu sekitar lima abad, antara
tahun 132 – 656 H. bertepatan dengan tahun 750 – 1258 M.[2]
Dinasti
Abbasiyah ini dianggap sebagai kemenangan dari gagasan atau slogan politik yang
mengawali berdirinya, yaitu apa yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim
(Alawiyun) bahwa yang berhak menjabat kekhilafahan adalah keturunan dari
keluarga Muhammad SAW. Berdasarkan opini agar ridha atas keluarga Rasulullah
inilah Abbasiyah berhasil meraih dukungan luas. Opini yang terus di dakwahkan
ini menyebar dengan strategi yang amat rahasia. Orang-orang shi’ah yang semula
memiliki dendam kusumat terhadap bani Umayah dan sekaligus berkeyakinan bahwa
kekhilafahan hanyalah hak dari keturunan Rasulullah SAW juga terlibat untuk
memberikan dukungan terhadap bani Abbasiyah ini.
Tentu
keberhasilan opini dan slogan politik ini bukanlah satu-satunya yang
menyebabkan kemenangan bani Abbasiyah, namun yang paling signifikan dalam hal
ini tentu di akibatkan oleh kelakuan para khalifah Bani Umayah sendiri yang
sebagian mereka berbuat kedzaliman dan bertindak tidak adil terhadap Rakyat
terutama pada bangsa non Arab. Bani Umayah lebih mengutamakan bangsa Arab
ketimbang bangsa lainnya. Hingga opini politik yang dihembuskan kalangan Bani
Abbas mendapatkan dukungan kuat dari bangsa non Arab seperti warga daerah
khurasan yang memang semula membenci bani Umayah karena kekejamannya dan
keberpihakannya kepada orang-orang arab saja.[3]
Daerah khurasan ini pula yang kemudian menjadi markas gerakan bani Abbasiyah
untuk menggulingkan bani Umayyah. Disamping khurasan, ada daerah Hamimah yang
banyak di diami oleh keluarga bani Hasyim baik dari kalangan pendukung Ali
maupun dari pendukung keluarga Abbas. termasuk juga daerah kufah yang dihuni
oleh para pendukung Ali bin Abi Thalib dari kubu syi’ah yang selalu mendapatkan
penindasan dari Bani Umayah.[4]
Gerakan
Abbasiyah semula dimulai dengan gerakan pemikiran yaitu ajakan untuk ridha
terhadap keluarga Muhammad SAW dan berupaya melakukan delegitimasi terhadap
kekuasaan bani Umayah. Propaganda ini mulai menghangat sejak tahun 101 H
tepatnya pada pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Dan orang yang pertama kali
menyerukan jabatan imamah adalah Muhammad bin Abdullah bin Abbas bin Abdul
Muthalib. Orang-orang Syiah menemuinya di daerah Hamimah. semula seruan ini
ditujukan kepada orang-orang Alawi, yaitu Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang
masyhur dengan sebutan Ibnu Hanafiyah. Muhammad bin Ali mengkordinir
orang-orang syiah untuk melakukan gerakan rahasia dengan perencanaan yang
matang dan tidak terlalu agresif agar gerakan mereka tidak terbongkar. Namun
akhirnya gerakan mereka tercium juga oleh Yazid bin Abdul Malik sebagai
penguasa bani Umayah kala itu. Yazid memerintahkan untuk memenggal kepala dua
orang dari mereka dan meyalibnya. sepeninggal Muhammad bin Ali, gerakan ini
dilanjutkan oleh anaknya yaitu Ibrahim bin Muhammad.
Pada
tahun 127 H/ 744 M sejumlah propagandis Abbasiyah bertemu dengan Ibrahim bin
Muhammad termasuk Abu Muslim Al-Khurasani dan menyerahkan seperlima kekayaan
mereka kepadanya. [5]
Namun pada saat itu tidak ada hasil gerakan yang berarti karena banyaknya
fitnah dan tragedi yang terjadi pada tahun itu juga.
Gerakan
Ibrahim bin Muhammad pada akhirnya juga tercium oleh seorang wali di daerah
khurasan yaitu Nashr bin Sayyar yang
akhirnya ia mengirim surat kepada khalifah Marwan bin Muhammad dan mengabarkan
tentang sepak terjang yang dilakukan oleh Ibrahim bin Muhammad. Lalu khalifah
Marwan memanggil Ibrahim bin Muhammad melalui walinya di wilayah Syam untuk
dibawa menghadap khalifah. Marwan menanyakan tentang ihwal gerakannya kepada
Ibrahim bin Muhammad namun ia mengelak dan tidak mengakuinya. Akhirnya khalifah
Marwan marah dan memerintahkan agar Ibrahim dibunuh dengan hukuman Gantung.
Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Safar tahun 132 H.
Pasca
meninggalnya Ibrahim bin Muhammad saudaranya, Abul Abbas Abdullah as-Safah di
daulat sebagai khalifah Abbasiyah dan saudaranya yang lain yaitu Abu Jakfar
Abdullah Al-Mansur sebagai penerus mahkota kekuasaannya. As-safah memerintahkan
pamannya Abdullah bin Ali untuk memerangi Marwan bin Muhammad, khalifah
terakhir bani Umayah. Kedua kubu bertemu dan terjadilah pertempuran sengit.
dari kubu Bani Umayah dipimpin langsung oleh khalifah Marwan melawan kubu
Abbasiyah yang dikomandani oleh Abdullah bin Ali.
Bani
Umayah terpukul mundur, namun pihak Abbasiyah terus memburunya, membunuh dan
menawannya. Abdullah bin Ali berhasil menguasai pusat kekuasaan bani Umayah dan
menguasai seluruh harta kekayaannya. Abdullah bin Ali mengabarkan kemenangannya
kepada Abul Abbas As-safah. As-Safah pun sujud syukur kepada Allah SWT sebanyak
dua rakaat. Abdullah bin Ali terus mencari bani Umayah baik yang masih hidup
ataupun yang sudah mati. ia menggali lubang kuburan dan membantai keturunan
bani Umayah dan orang-orang yang bukan berasal dari bani Umayah sebanyak 92.000
orang pada hari ahad di tepi salah satu sungai Ramlah.[6]
Kemudian
As-safah memerintahkan kepada pamannya Abdullah bin Ali agar tetap tinggal di
wilayah Syam dan menyuruh saudaranya Shalih bin Ali untuk mengejar pelarian
Marwan bin Muhammad ke wilayah Mesir. Shalih segera pergi ke Mesir dan
mendapatkan Marwan tengah bersembunyi di gereja Abu Shair. Shalih bin Ali
menyingkirkan para pengikut Marwan bin Muhammad lalu mengepung Marwan bin
Muhammad dan membunuhnya, kemudian mengirimkan kepala Marwan bin Muhammad
kepada Abul Abbas As-safah.[7]
Pembunuhan
Marwan bin Muhammad terjadi pada hari Ahad kurang tiga hari dari sisa bulan
Dzulhijjah. versi riwayat lain menyebutkan terjadi pada hari kamis tanggal 6
Dzulhijjah tahun 132 H.[8]
Dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad maka berakhirlah kekuasaan politik bani
Umayah yang pernah berkuasa sekitar 92 tahun. Akhirnya pemerintahan Islam
berganti pada daulah Abbasiyah.
2.
Era
Kematangan Abbasiyah
Era
kematangan ini ditandai dengan stabilitas kondisi politik dalam negeri setelah
proses kelahiran dan pembentukannya. Era ini dimulai sejak khalifah Al-Mahdi,
khalifah ketiga dari para khalifah Abbasiyah, karena menurut catatan pakar
sejarah baik As-Suyuti maupun Ya’kubi sebagaimana yang dikutip oleh Moh.Maghfur
W, dinyatakan bahwa zaman Al-Mahdi tidak ada krisis internal yang cukup
berarti, kendati pada masa ini ada satu pemberontakan yang dilakukan oleh Yusuf
al-Barm sekitar 164 H/779 di khurasan. Namun semua itu tidak sampai membawa
dampak serius bagi stabilitas negara. Hingga negara Abbasiyah memungkinkan
untuk memantapkan strategi politik luar negerinya dengan cara penaklukan
beberapa wilayah, bahkan al-mahdi juga mengirimkan duta-duta besarnya kepada
raja-raja maupun penguasa-penguasa kala itu untuk meminta ketaatan mereka
terhadap daulah Abbasiyah.[9]
Stabilitas
politik ini tentu berbeda dengan kondisi politik pada era sebelumnya yaitu
semasa khalifah Al-Mansur, ayah Al-Mahdi. pada masa Al-mansur masih terjadi
konflik internal disebabkan perebutan kekuasaan diantara para pendiri Abbasiyah
setelah meninggalnya Abul Abbas As-Safah, bahkan Al-Mansur telah melakukan
pembunuhan massal terhadap para ahlul bait. As-suyuti menyatakan bahwa
Al-Mansurlah yang menyulut api permusuhan antara keturunan keluarga Abbas
dengan keturunan Ali bin Abi Thalib.[10]
konflik ini ditengarahi merupakan akibat perebutan dan ambisi kekuasaan
diantara pihak-pihak yang sebenarnya ikut berjasa dalam pendirian negara
Abbasiyah.
Namun
sejak Al-Mahdi stabilitas mulai terwujud, oleh karena itu penulis memasukkannya
sebagai era kematangan bani Abbasiyah. Stabilitas politik dan penaklukan terus
berlangsung dan mendapat puncaknya pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid, kondisi
ini terus bisa dipertahankan hingga Al-Makmun dan Khalifah al-Mu’tashim.
setelah khalifah al-Mu’tashim wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh al-watsiq dan
pada masa Al-watsiq ini bisa dikatakan sebagai babak terakhir dari era
kematangan bani Abbasiyah. Selanjutnya Abbasiyah memasuki era kelemahan dan
kemundurannya.
Bani
Abbasiyah pada era kematangannya telah menorehkan catatan besar bagi sejarah
Islam sebagai sebuah peradaban yang banyak melahirkan para ilmuan dari berbagai
bidang, mulai dari pengetahuan Tsaqafah Islamiyah hingga temuan-temuan ilmiyah di
bidang sains dan tekhnologi.[11]
3.
Masa
kelemahan dan Kemundurannya
Masa
kelemahan dan kemunduran bani Abbasiyah di mulai sejak zaman pemerintahan
al-Mutawakkil, yaitu ketika kedudukan tentara Turki begitu dominan dalam
negara. Para kepala staf tentara Turki ini yang telah membunuh al-Mutawakkil
setelah melakukan konspirasi dengan anaknya sendiri, al-Muntasir. Hal ini
terjadi setelah ayahnya Al-Mutawakkil membuat wasiat untuk membagi wilayah
kekuasaannya kepada anak-anaknya. Al-Muntasir mendapatkan wilayah Afrika,
maroko, Qinisrin, perbatasan Syam, Moushul, Hait, Anbar, Yaman, Hadramaut,
Bahrain, Sind, Esfahan dan lain-lain. Sedangkan Al-Mu’tazz saudaranya mendapat
mendapat Khurasan, Tibrastan, Rayy, Armenia, Azerbaijan, Kur Persia. Dan
saudaranya yang satu lagi, Al-Mu’ayyid mendapat Hims, Damaskus dan Palestina.[12]
Sesungguhnya menurut wasiat Al-Mutawakkil, Al-Mu’taz lah yang lebih dulu berhak
menggantikannya sebelum yang lain. Namun karena ia takut kepada saudaranya,
akhirnya ia ikut membaiat Al-Muntasir yaitu pada tahun 247 H/ 861 M. Pada tahun
248 H dua saudara Al-Muntasir digugurkan sebagai putra mahkota, karena khawatir
keselamatan mereka terancam oleh tentara Turki. Dan memang benar adanya,
setelah sepeninggal Al-Muntasir. Dua saudara Al-Muntasir tidak dilantik sebagai
khalifah. Namun kepala staf tentara Turki justru melantik Al-Musta’in
saudaranya Al-Mutawakkil sebagai khalifah. Berikutnya yang menggantikannya
adalah Al-Mu’taz dan Al-Muhtadi. Namun mereka mengalami nasib yang sama,
terbunuh di tangan orang-orang Turki seperti yang di alami oleh al-Musta’in.
Dari
faktor itulah yang menyebabkan kekuasaan para khalifah menjadi lemah, dan
memicu daerah-daerah kekuasaannya memerintah tanpa instruksi dan kontrol
Khalifah. Dan ini pula yang menyebabkan disintegrasi di berbagai wilayah.
Banyak wilayah-wilayah yang memisahkan diri dari pemerintahan pusat. Kendati
gejala pemisahan wilayah itu sudah terjadi sejak masa Khalifah Harun Ar-Rasyid.[13]
Akan tetapi tidak menjamur seperti yang terjadi ketika para khalifah dalam
kondisi lemah dan tak berdaya.
Kekuasaan
para khalifah pada masa ini hingga tumbangnya Bani Abbasiyah betul-betul
mengalami fase kelemahan dan kemunduran. Dan pada masa ini Umat Islam juga
telah diperas habis untuk menghadapi perang salib yang berlangsung kurang lebih
dua abad. Meski kondisi Abbasiyah melemah pada masa ini namun pada akhirnya secara
umum pasukan Salib berhasil dikalahkan. Setelah perang salib usai, yaitu ketika
tenaga Umat Islam dikuras habis menghadapinya, maka datanglah pasukan Tartar
memporak-porandakan Baghdad sebagai pusat kekuasaan Bani Abbasiyah. Khalifah
Al-Musta’sim dan berpuluh-puluh ulama dibantai. Baghdad menjadi banjir darah,
ada sekitar 1.6 juta umat Islam di bunuh. Dan inilah akhir dari pemerintahan
Bani Abbasiyah.
Namun
kenyataan pahit dan memilukan ini terjadi, umat Islam ternyata masih mampu mengalahkan
pasukan Tartar yaitu dua tahun setelah peristiwa Baghdad. Al-Muzaffar penguasa
Mesir kala itu berhasil mengalahkan mereka yaitu pada tahun 1260 M dalam
peperangan Ain Jalut, yang akhirnya banyak dari tentara pasukan Tartar masuk
Islam. Dan pada tahun 1280 M Al-Mansur Qalawun juga berhasil mengalahkan
pasukan Tartar di syria dan membebaskan Tripoli dari tangan pasukan Salib.
Sejak
berakhirnya era Abbasiyah di baghdad dan beralih ke Mesir, tidak banyak
prestasi yang dapat dicatat dari bani Abbasiyah, karena penaklukan berbagai
penaklukan setelah itu banyak dilakukan oleh keluarga Utsman, yang pada
gilirannya Utsmaniyah yang menjadi pusat
kekuasaan politik Umat Islam. Prestasi terbesar dalam sejarah umat Islam pada
masa Utsmaniah adalah penaklukan Konstantinopel sebagai benteng kekuasaan Romawi
timur.
C.
STUDI
ANALISIS TERHADAP DINASTI ABBASIYAH
1. Standard Paradigma untuk menilai sebuah Peradaban
Dalam
diskursus ilmiah mengenai sebuah peradaban selalu terdapat persinggungan antara
konsepsi normative yang diyakini sebagai landasan terbentuknya peradaban
tertentu dengan realitas konteks kesejarahan manusia yang selalu mengalami
dinamika. Begitu juga dengan peradaban Islam, pertautan antara sisi
normatifitas Islam dengan konteks sejarah umat Islam selalu mengalami dinamika.
Inilah yang mesti kita kaji secara teliti dan mendalam. Oleh karena itu standard
yang akan kita jadikan sebagai paradigma dalam memberikan penilaian terhadap
perjalanan sejarah umat Islam menjadi sangat penting dan mendesak. Jika tidak
memiliki standard, maka sudah pasti kita tidak akan bisa mengambil ibrah atau
justru salah memahami ibrah darinya.
Dalam
kajian keislaman kontemporer kita selalu disuguhkan sebuah paradigma yang
mencitrakan fenomena kemelut antara Islam normatif dengan Islam historis. Apakah
normatifitas Islam yang akan kita jadikan sebagai standard atau historisitas
dengan dinamikanya yang akan kita jadikan sebagai pijakan, atau kita bersikap
moderat untuk tidak berpihak kepada salah satunya, sembari terus
mengumandangkan kegamangan intelektual dengan retorika manipulatif dan
justifikasi.
Menghadapi
kenyataan seperti itu, maka tentu kita tidak bisa tinggal diam hanya menjadi
penonton ataupun pengamat. Menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk mengambil
pelajaran penting dan dapat memberikan kontribusi positif bagi arus pemikiran
yang terus berkembang, lebih-lebih jika kita mampu menjadi pemain dan agen
historis dalam dinamika peradaban terutama di masa-masa yang akan datang.
Sebagaimana
penulis sampaikan pada pendahuluan makalah ini, maka pilihan kita untuk merumuskan
standard yang kita jadikan sebagai paradigma dalam menilai peradaban, tentu
harus berpijak kepada Aqidah Islamiyah. Aqidah yang dimaksud disini bukan
sekedar wacana pengakuan akan ke esaan Allah SWT. Namun Aqidah yang akan
dijadikan sebagai landasan berfikir, yang darinya terbentuk sebuah system
pemikiran untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan.
Sesuai
dengan tuntutan aqidah Islam, maka pijakan kita dalam menganalisis sejarah bani
Abbasiyah tentu tidak boleh lepas dari Sunnah Rasul maupun Sunnah para
khulafaur Rasyidin. Karena pada kesejarahan mereka itulah Islam memberikan
legitimasinya. Dengan demikian kita akan dapat mengambil pelajaran dan dapat
mengidentifikasi berbagai dinamika perjalanan kekuasaan bani Abbasiyah, dari
para khalifah yang konsisten di jalan Islam atau dari kalangan mereka yang
tergelincir di jalan persimpangan.[14]
2. Kebijakan Politik Pemerintahan Abbasiyah
Sebagaimana
uraian sejarah yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai sepak terjang
kekuasaan bani Abbasiyah, maka ada beberapa kebijakan politik Abbasiyah yang
perlu di lakukan studi analisis baik pada proses pendiriannya hingga pada
kelemahan maupun kemundurannya. Abbasiyah untuk meraih tujuannya dan dapat
mengambil alih kekuasaan bani Umayah semula di awali dengan gerakan pemikiran dan
perencanaan yang matang. Menghimpun kekuatan politik dengan berbasis pada
pemikiran tertentu sudah dapat dipastikan akan bisa bergerak secara efektif
sekaligus dapat mengukur ketercapaian tujuan yang ditargetkan. Hal itu juga
sebagaimana yang kita pahami dari perjalanan perjuangan Rasulullah hingga
mendapatkan kekuasaan dan kekuatan politik di madinah. Beliau SAW telah
membangun pondasi pemikiran khas untuk menghantam pemikiran jahiliyah. Dengan
pemikiran islam itu pula beliau sanggup menghimpun banyak orang berada
disekitarnya dengan kekuatan ideologis yang pada gilirannya mampu menghancurkan
system kekuasaan jahiliyah. Namun ada perbedaan mendasar antara kerangka
pemikiran Islam yang dibawa Rasulullah dengan pemikiran dasar yang diusung oleh
Bani Abbasiyah. Jika Abbasiyah, pemikiran dan slogan politik yang di embannya
menyimpan selubung rasialisme yaitu keluarga Abbas secara khusus dan bani
hasyim secara umum. Akhirnya yang terjadi pada kelanjutan bani Abbasiyah adalah
pertentangan Ras dan pertentangan suku di sekitar kekuasaan. Dan ini tentu
turut menyumbang terhadap kelemahan dan kemunduran Abbasiyah. Perbedaan yang
mendasar lainnya dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah adalah penggunaan
dan pendekatan militer dalam meraih kekuasaan. Sesuatu yang tak pernah
dilakukan oleh Rasulullah pada saat beliau mendapatkan dukungan politik dari
masyarakat madinah untuk menerapkan dan memperjuangkan Islam.[15]
Bani Abbasiyah telah memburu dan membunuh keturunan bani Umayah bahkan ada
diantara mereka yang tak pernah membuat dosa politik masa lalu dengan tanpa
kemanusiaan. Ini menegaskan kelemahan Abbasiyah dalam memahami islam pada satu
sisi. Mereka menganggap yang berhak atas ke khalifahan adalah kalangan mereka
karena merupakan keturunan keluarga Rasul. Pemahaman keliru ini kemudian
berselingkuh dengan syahwat kekuasaannya. Penggunaan militer dengan pendekatan
“bumi hangus” sesungguhnya merupakan kekeliruan turunan dari bani Umayah yang
diteruskan oleh Bani Abbasiyah dengan bungkus balas dendam. Ini berbeda pula
dengan apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat nabi ketika menjadi
khalifah. Tengok misalnya kebijakan Abu bakar yang memerangi kalangan
pemberontak yang tidak mau membayar zakat, para nabi palsu dan kalangan yang
murtad dari Islam. Abu bakar masih mengingatkan mereka ke jalan yang benar dan
sekalipun terjadi peperangan, maka peperangan yang dilakukan juga dalam rangka
meluruskan dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar bukan perang bumi
hangus sebagaimana di praktekkan oleh bani Abbasiyah. Demikian pula yang
dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib ketika menghadapi kaum pemberontak Khawarij.[16]
Salah
satu kesalahan kebijakan politik yang dikembangkan oleh Abbasiyah juga adalah
penetapan putra mahkota dalam pemilihan khalifah, kendati kesalahan ini sudah
dimulai sejak pemerintahan bani Umayah. Pemilihan khalifah dengan penetapan
putra mahkota tentu menyalahi asas bai’at sebagai metode pengangkatan khalifah
yang berdasarkan kerelaan dan pilihan umat untuk menentukannya, setelah para
calon khalifah memenuhi syarat in’iqad sesuai dengan ketentuan syara’.
3. Pemerintahan Abbasiyah dan Problem Nasionalisme
Sudah
bukan merupakan rahasia, bani Abbasiyah membangun kekuasaannya dengan doktrin
dan konsepsi yang diselubungi oleh fanatisme suku yaitu berdasarkan keturunan
keluarga bani Abbas. Terlebih lagi pada tingkat perkembangannya, keberpihakan
Abbasiyah terhadap orang-orang Persia dan bertindak diskrimanatif terhadap
kalangan orang-orang Arab adalah bukti adanya sentiment nasionalisme[17]
yang tumbuh subur dalam kekuasaan bani Abbasiyah. Namun jika diamati dengan
teliti sentimen rasialisme ini adalah disebabkan karena situasi politik, dimana
pada saat itu mayoritas orang-orang Arab adalah pendukung bani Umayah. dan
dalam rangka mempertahankan kekuasaannya dari kemungkinan gangguan, maka Abbasiyah
memanfaatkan orang-orang persia untuk menggalang dukungan politik. Jadi
sentimen rasialisme yang muncul hanyalah bersifat kasuistik dan lebih
disebabkan oleh motif politik. oleh karena itu secara umum menurut Kamal Said
Habib sesungguhnya Bani Abbasiyah tetap memperlakukan secara sama antara
orang-orang arab dengan non Arab.[18]
Pada
perjalanan selanjutnya, yaitu pada era pemerintahan al-Mu’tashim, ia justru
menggaet Turki daripada persia. Namun tindakannya tersebut malah membuat
kekacauan yang tak terkendali hingga terbunuhnya khalifah berikutnya
al-Mutawakkil ditangan orang-orang Turki. Kekacauan yang memperlemah tubuh
negara terus berlangsung hingga pasukan Tartar menguasai Baghdad dan
menghancurkannya.
Kendati
isu rasial atau nasionalisme ini lebih disebabkan oleh motif politik, namun hal
tersebut telah menambah permasalahan tersendiri dan mengakibatkan kelemahan
daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, kenyataan tersebut mesti kita timbang dengan
sikap politik Rasulullah SAW dalam memperlakukan semua kalangan dari berbagai
kabilah termasuk misalnya dengan orang-orang Yahudi. Sikap Adil dan perlakuan
sama dari Rasulullah nampak dari teks perjanjian yang dibuat Rasul ketika
beliau memimpin Madinah. Perjanjian tersebut populer dengan sebutan piagam
madinah.[19]
Dengan demikian apa yang diperbuat oleh Daulah Abbasiyah adalah bentuk
penyimpangan terhadap ketentuan Islam, yang pada gilirannya menambah persoalan
rumit dan telah memperlemah kekuatan negara.
Dan
satu hal lagi yang mengakibatkan kelemahan negara semakin parah adalah
pembiaran terhadap para wali atau gubernur di berbagai wilayah memerintah tanpa
koreksi dan intsruksi khalifah. Khalifah hanya bangga ketika namanya disebut
pada mimbar-mimbar atau hanya diakui sebagai kepemimpinan umum kaum muslimin,
namun fungsi kepemimpinan secara riil tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan
ada yang sampai memisahkan diri dari kekuasaan pusat seperti bani Fatimiyah di
mesir. Dinasti Abbasiyah terus membiarkan hal itu terjadi berlangsung sekian
lama tanpa berupaya sungguh-sungguh untuk menyatukannya kembali dalam satu
naungan negara.[20]
D.
MENYINGKAP
MAKNA HISTORIS DINASTI ABBASIYAH
Sesuai
dengan tuntutan Islam dalam menilai sejarah yaitu sedapat mungkin kita bisa
mengambil pelajaran, maka kajian pada bagian ini penulis maksudkan untuk
mengambil makna historis dari perjalanan panjang dinasti Abbasiyah. Tentu makna
historis yang akan dikemukakan memiliki keterkaitan dengan hasil studi analisis
yang di jelaskan sebelumnya.
1. Indikator Kegemilangan dan Kemunduran Peradaban
Islam
Banyak
dari pengamat sejarah maupun para pemikir yang mencatat puncak dari masa
keemasan Bani Abbasiyah adalah dimulai sejak masa pemerintahan dimana filsafat,
sastra, sains maupun tekhnologi mengalami perkembangan sangat pesat. Dan masa
itu populer ketika khalifah Al-Ma’mun memerintah. Pandangan tersebut hanya
diarahkan pada prestasi yang diraih oleh sebuah peradaban, tanpa melakukan
penelitian secara mendalam mengenai sebab akibat terbentuknya sebuah peradaban.
Pernyataan Arnold Toynbe sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Al-Qashash
menegaskan bahwa ekstensi politik, peperangan, atau indahnya seni tidak dapat
di anggap sebagai kaedah yang tepat untuk mengukur kemajuan yang hakiki.
Kecanggihan teknologi baik dibidang sains ataupun tekhnologi dalam pandangan
Toynbe tidak bisa menunjukkan apa-apa kecuali sedikit adanya hubungan bahkan
bisa jadi tidak ada kaitannya sama sekali dengan kemajuan sebuah peradaban.[21]
Sebab kadangkala kemajuan sains dan tekhnologi mengalami puncaknya namun pada
saat yang bersamaan justru peradaban tertentu sedang menuju masa kehancurannya,
dan juga bisa berlaku sebaliknya. Dengan demikian standard untuk menilai masa
keemasan sebuah peradaban tidak cukup menjadikan prestasinya di bidang seni,
sain maupun tekhnologi sebagai tolak ukur.
Berdasarkan
sudut pandang ini, masa khalifah Al-Ma’mun yang banyak dicatat oleh para pakar
sejarah mutakhir sebagai masa keemasan Bani Abbasiyah karena pada masa itu
ditandai dengan kemajuan filsafat, seni dan berbagai penemuan ilmiah justru
menurut hemat penulis adalah masa yang ikut andil dalam mengantarkan kelemahan
dan kemunduran Abbasiyah. Pandangan Mu’tazilah yang dijadikan sebagai madzhab
negara dan penerjemahan besar-besaran filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab
telah mengantarkan pemikiran kaum muslimin di selimuti oleh kemelut dan polemik.
Al-Ma’mun yang waktu itu mengadopsi pandangan mu’tazilah mengenai Khalq
Al-Qur’an sebagai pandangan negara telah mengakibatkan fitnah yang menyeret
kalangan para ulama dan umat Islam dalam konflik internal yang berkepanjangan.[22]
Konflik itu mengakibatkan fanatisme madzhab dan aliran di tengah-tengah
masyarakat. Dan ini sesungguhnya merupakan embrio kejumudan berfikir yang pada
berikutnya mengantarkannya kepada kelemahan dan kemunduran sebuah peradaban.
Efeknya dari itu semua memang tidak harus dirasakan pada saat itu juga, namun
baru nampak setelah masa khalifah berikutnya.
Dengan
demikian untuk menilai tinggi rendahnya sebuah peradaban maka kita seharusnya
mengukur berdasarkan sebab terbentuknya peradaban tersebut. Peradaban Islam
lahir dari posisi geografis masyarakat dimana sebelumnya belum dan tidak
tersentuh oleh peradaban besar, bahkan masyarakat yang secara sosiologis bisa
terkategori sebagai masyarakat yang terisolasi. Sebuah masyarakat yang hanya
bangga dengan keyakinan dan mitos-mitos masa lalunya. Namun ketika Rasulullah
membawa risalah Islam sebagai pemikiran baru bagi masyarakat Jahiliyah, maka
kondisinya mengalami perubahan drastis. Masyarakat yang tadinya jumud dan terbelakang
justru bangkit dan mendulang menantang dua imperium besar yaitu Romawi dan
Persia. Dengan demikian sesungguhnya sebab utama kegemilangan peradaban Islam
adalah di ukur berdasarkan keterikatannya dengan pemikiran Islam itu sendiri
sebagai way of life. maka berdasarkan hal tersebut, sejarawan seperti
Mahmud Syakir sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Al-Qashash mengemukakan bahwa
“Asas dan akar peradaban ini telah mencapai puncaknya pada masa Rasulullah SAW
dan para Khulafaur Rasyidin. Sedangkan pengaruhnya mulai nampak setelah penaklukan
terhadap berbagai negeri.[23]
2. Merevitalisasi Peradaban Islam; Sebuah Ikhtiar
Meraih Kebangkitan
Sesuai
dengan paparan di atas, jika kita ingin mengembalikan peradaban Islam maka kita
sudah pasti harus kembali kepada Islam sebagai way of life. Islam yang
dimaksud bukan sekedar Agama ritual yang saat ini banyak dipahami oleh
kebanyakan kaum muslimin. Namun Islam Kaffah[24]
yang mencakup konsep kehidupan yang dapat menjadi solusi bagi seluruh dimensi
kehidupan manusia. Sekaligus Islam yang juga mencakup aspek metode praktis
dalam pelaksanaan seluruh konsepsinya.
Perpaduan
antara Islam konseptual dan Islam Metodologis adalah jaminan totalitas ajaran
yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad SAW hingga
berhasil mengubah masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat Islami dengan pilar-pilarnya
yang kokoh. Islam konseptual adalah Islam yang mencakup Aqidah Islamiah sebagai
landasan berfikirnya sekaligus problem solving bagi seluruh problematika kehidupan,
mulai dari masalah ibadah, tatanan sosial budaya, ekonomi, pendidikan maupun
politik. Sedangkan Islam Metodologis adalah keseluruhan konsep Islam yang
mencakup metode praktis agar seluruh problem solving yang ditawarkan terwujud
menjadi kenyataan. Satu contoh, ketika Islam memiliki seperangkat konsep
mengenai tata kehidupan masyarakat semisal aturan pergaulan dalam kehidupan
sosial, maka Islam juga memiliki metode praktis agar konsep tersebut bisa
terwujud yaitu berupa sistem yang menjaga, melestarikan dan mencegah berbagai
kemungkinan penyimpangannya di tengah masyarakat. Dan sistem ini tentu dalam
pandangan Islam yang memiliki otoritas adalah para ulil amri [25].
Sehingga dengan demikian Islam bukan hanya seperangkat nilai-nilai kehidupan
yang di jadikan pedoman bagi umat, namun lebih dari itu ia akan menjadi ideologi
yang memuat seluruh sistem pemikiran yang siap diterapkan dalam kehidupan.
Namun
kesadaran terhadap Islam Ideologis yang penulis maksud tidaklah otomatis
menyebabkan umat mengalami kebangkitan. Ada perkara-perkara lain yang mesti
disadari oleh umat Islam agar pemahamannya terhadap Islam ideologis itu bisa
menjadi mesin penggerak untuk mewujudkan perubahan. Dan kesadaran akan
pentingnya perubahan menuju kebangkitan menurut Ahmad ‘Athiyat akan terus
mengalir jika ditengah-tengah umat sudah memiliki dua kesadaran yaitu pertama,
sebuah kesadaran mengenai fakta kehidupan yang rusak yang melingkupi kehidupan
umat. Dan kedua adalah kesadaran tentang fakta alternatif yang akan menggantikan
fakta yang rusak tersebut.[26]
Jika
kesadaran terhadap fakta yang rusak sudah dimiliki oleh umat islam melalui
proses berfikir mendalam, dan sekaligus kesadaran terhadap fakta alternatif
yang akan menjadi penggantinya, maka selanjutnya yang dibutuhkan adalah pemahaman
tentang metode yang akan ditempuh dalam mewujudkan perubahan. Dan syarat-syarat
yang diperlukan dalam proses perubahan mencakup:
1.
Kesadaran bahwa
jalan perubahan yang akan ditempuh merupakan perkara yang sulit dan susah
sehingga membutuhkan jiwa yang besar dan pengorbanan maksimal
2.
Memiliki tujuan
dan arah perubahan dengan jelas sehingga kondisi ideal yang di inginkan dapat
menjamin kemulyaan, kebahagiaan dan kedamaian bagi umat
3.
Memahami bahwa
jalan perubahan yang ditempuh berada pada jalan lurus dan sesuai dengan langkah
yang telah digariskan.
4.
Proses perubahan
menuju kebangkitan yang dijalaninya haruslah dilalui dengan sungguh-sungguh
dengan tekad yang bulat dan menganggapnya sebagai agenda utamanya yang bersifat
penting.[27]
E.
KESIMPULAN
Dari
sekian paparan makalah yang telah disajikan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dinasti
Abbasiyah adalah bagian dari kekuasan politik Islam yang di dirikan oleh
keturunan keluarga Abbas dan khalifah pertamanya adalah Abul-Abbas As-Safah
setelah berhasil menggulingkan kekuasan bani Umayah sebelumnya.
2. Dinasti
Abbasiyah melewati tiga fase yaitu pertama fase berdiri dan pembentukannya,
kedua, fase kematangan kekuasaannya dan fase ketiga adalah fase kelemahan dan
kemundurannya.
3. Studi
analisis terhadap dinasti Abbasiyah mencakup beberapa penyimpangan yang telah
dilakukan di antaranya penggunaan militer dengan pendekatan “bumi hangus”
terhadap setiap lawan-lawan politiknya. Keberpihakan terhadap ras tertentu demi
mempertahankan kekuasaannya yang akhirnya mengakibatkan sentimen rasialisme
atau nasionalisme dalam pengertian yang lebih luas. Dan sikap pembiarannya
terhadap wilayah-wilayah yang memisahkan diri dari kekuasaan pusat.
4. Makna
historis dari dinasti Abbasiyah dapat dirumuskan dengan sebisa mungkin
mengambil pelajaran penting yaitu menemukan sebab utama kebangkitan peradaban
Islam terletap pada Islam itu sendiri. Selanjutnya dapat menentukan
langkah-langkah untuk mewujudkan perubahan menuju kebangkitan dengan dua
kesadaran yakni kesadaran akan fakta yang rusak yang telah menjangkiti umat dan
kesadaran akan fakta alternatif yang akan dijadikan sebagai penggantinya.
Wallahu
a’lamu bis shawab.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Atha bin
Khalil, Ushul Fiqih; Kajian Ushul Fiqih Mudah dan Praktis, “terj”. Yasin
as-Siba’i (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008).
Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam;
Studi tentang Transformasi dan Kebangkitan Umat, terj; Dede Koswara,
(Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2010)
Al-Baghda>di, Abdul Qa>hir Al-farqu
bayna al-firaq, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t),
Al-Jaziri, Abdurrahman Kitab
al-fiqh ‘ala al Maz}ahib al-Arba’ah, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2008).
Al-Mawardi, Ahkam
al-Sulthaniyah, ( t.p.).
Al-Qashash, Ahmad. Peradaban Islam
VS Peradaban Asing, Terj; Zahid As-Sidany (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah,
2009)
Al-Wakil, Muhammad. Sayyid Wajah
Dunia Islam; dari dinasti Bani Umayah hingga Imprealisme Modern, terj,
Fadli Bahri (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998),
Amin, Samsul Munir. Sejarah
Peradaban Islam, ( Jakarta, Amzah, 2010),
as Suyuti, Jalaluddin. Al-Itqa>n
fi> Ulu>m al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t)
Haekal, Muhammad Khair. Jihad
dan Perang Menurut Syariat Islam, terj; A.Fakhri (Bogor, Pustaka Thariqul
Izzah, 2004)
Ibn
Hisyam, Sirah Nabawiyah ibn hisha>m. terj: Fadhli Bahri, (Jakarta,
Darul Falah, 2009).
Ibnu Katsir, Al-Bida>yah
wa al-Niha>yah ( Beirut, Da>r al-Fikr, 1986)
Maghfur W, Muhammad. Koreksi atas
Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil, Al-Izzah, 2002).
[1]
kedua perspektif siroh antara siroh nabawiyah dengan para sahabat dipilih
karena umat Islam hanya boleh mengambil risalah Islam yang bersumber dari
Alquran dan Hadits yang terakumulasi dalam kesejarahan nabi. (Lihat QS: 59 : 7).
sedangkan yang dimaksud siroh para sahabat bukan hanya sejarah para sahabat
secara perorangan namun merupakan kesepakan mereka tentang hukum dan itu
terpateri dalam kesejarahan mereka. mengenai legalitas Ijma’ sahabat ini
sebagai bagian dari hukum syara’ bisa dilihat Jalaluddin as Suyuti, Al Itqan
fii Uluum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 548. penjelasan tentang ijma’ sahabat dan
kriterianya bisa dilihat ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqih; Kajian Ushul Fiqih
Mudah dan Praktis, “terj”. Yasin as-Siba’i (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,
2008), 102-106.
[2]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta, Amzah, 2010), 138
[3]
Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam; dari dinasti Bani Umayah hingga
Imprealisme Modern, terj, Fadli Bahri (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998),
76
[4]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 139
[5]
Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam, 71
[6]
Ibid, 72
[8]
Ibid, 46
[9]
Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam,
(Bangil, Al-Izzah, 2002), 170
[10]
Ibid, 168
[11]
Tentang perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai aspek kehidupan pada masa ini
bisa di lihat Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, 148-152
[12]
Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran..., 172
[13]
Wilayah yang memisahkan diri pada masa Harun ar-Rasyid adalah dinasti Idrisiah yang
bermadzhab syi’ah di Maroko tahun 788 M. Dinasti Aghalibah di Tunisia pada
tahun 800 M dan bermadzhab Sunni. Lihat Ibid, 171
[14]
Jalan persimpangan yang penulis maksud adalah karena mereka pada masa
pemerintahan islam masih menggunakan system Islam sebagai dasar negara namun
diantara mereka berbuat kedzaliman disebabkan kelemahan memahami konsepsi islam
atau karena pelaksanaan buruk terhadap konsepsi Islam. Penulis menyebutnya
dijalan persimpangan bukan di jalan kesesatan disebabkan mereka masih merujuk
kepada Islam kendati lemah atau salah memahaminya.
[15]
Sikap untuk tidak menggunakan kekerasan dalam meraih kekuasaan nampak
ditunjukkan oleh Rasulullah SAW pada saat bai’at Aqabah kedua, yaitu ketika
Rasulullah SAW mendapatkan dukungan politik dari masyarakat Madinah untuk
membela dan memperjuangkan Islam. Pada saat itu ada tawaran dari salah seorang
tokoh yang terlibat dalam baiat aqabah kedua yakni al-‘Abbas bin Nahdhah
mengenai kesiapannya melakukan serangan guna memerangi kaum musyrik di Mina.
Nabi SAW bersabda : لم نؤمر بذلك ولكن ارجعوا الى رحالكم. (Kita
belum diperintahkan untuk itu. karena itu kembalilah kalian ke hewan tunggangan
kalian). Lihat Muhammad Khair Haekal, Jihad dan Perang Menurut Syariat
Islam, terj; A.Fakhri (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2004), 98
[16]
Ali bin Abi Thalib menganggap Khawarij sebagai bagian dari kelompok politik.
Beliau tidak pernah mencegah mereka melakukan shalat di masjid ataupun
menikmati harta fa’i dari peperangan. Ali bin Abi Thalib juga tidak memerangi
mereka sebelum mereka sendiri yang melancarkan peperangan terhadap negara.
bahkan Ali tetap memberikan keamanan kepada mereka dan tidak memeranginya
selama mereka tidak memerangi negara. lihat Kamal Sa’id Habib, Kaum
Minoritas dan Politik Negara Islam, terj; Ahmad Fahrur Rozi, dkk. (Bogor,
Pustaka Thariqul Izzah, 2007), 217
[17]
Nasionalisme yang dimaksud oleh penulis disini adalah paham dan fanatisme
kesukuan yang berkembang. Ini mungkin berbeda secara historis dengan
perkembangan ide nasionalisme yang bermula dari eropa lalu menyebar menjadi
sebuah konsep kenegaraan yang berdiri di atas dasar kebangsaan. Namun secara
esensi dan substansialnya, fanatisme kesukuan ini memiliki akar konseptual yang
sama dengan nasionalisme yang berkembang saat ini yaitu sebagai ikatan yang
didasarkan pada factor suku atau bangsa tertentu yang berasal dari latar
belakang sejarah yang sama atau nasib yang sama. tentu ikatan ini tidak
didasarkan pada agama sebagaimana ikatan Islam. Jika ikatan islam sudah pasti
tidak lagi memperhatikan perbedaan ras, suku atau bangsa tertentu namun hanya
di dasarkan pada kesatuan aqidah yaitu aqidah Islam.
[18]
Kamal Sa’id Habib, Kaum Minoritas dan Politik Negara Islam, 213
[19]
Mengenai isi piagam madinah bisa di lihat Ibn
Hisyam, Sirah
Nabawiyah ibn hisha>m. terj:
Fadhli Bahri, (Jakarta, Darul Falah, 2009), 454-457
[20]
Kesatuan negara yang melindungi seluruh umat Islam adalah merupakan hal yang
paling prinsipil dalam Islam, hal itu dikemukakan oleh banyak para ulama
ahlus-sunnah wal jama’ah. Lihat Abdul
Qa>hir al-Baghda>di, Al-farqu bayna al-firaq, (Beirut, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), 271. Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-fiqh
‘ala al Maz}ahib al-Arba’ah, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), 366. Lihat
al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah, ( t.p.), 9
[21]
Ahmad Al-Qashash, Peradaban Islam VS Peradaban Asing, Terj; Zahid
As-Sidany (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2009), 148
[22]
Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran..., 209
[23]
Ahmad Al-Qashash, Peradaban Islam...., 150
[24]
Allah SWT berfirman : يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (Wahai orang-orang yang
beriman, Masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan dan jangan kalian
mengikuti langkah-langkah setan karena ia adalah musuh yang nyata bagi kalian.
(QS; Al-Baqarah; 208)
[25]
Lihat QS. An-Nisa’ : 59
[26]
Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam; Studi tentang Transformasi dan Kebangkitan
Umat, terj; Dede Koswara, (Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2010), 7
[27]
Ibid, 10-11.
Komentar
Posting Komentar