Konsep Pendidikan Syiah ; Telaah Kritis Terhadap pemikiran Murtadha Muthahhari
Oleh : Rifqi
A. Pendahuluan
Patut
diakui bahwa dunia Islam saat ini mengalami ketertinggalan dalam berbagai
aspek. Umat Islam sedang dilanda persoalan pelik yang tak kunjung selesai,
mulai dari rendahnya taraf pemikiran mereka sehingga tak bisa menjawab
tantangan zaman sampai memudarnya semangat perjuangan untuk membangkitkan kaum
muslimin. Kondisi ini disebabkan oleh melemahnya konsepsi Islam yang dipahami
oleh umat Islam sebagai sebuah metode dan problem solving dalam mengatasi
problematika kehidupan dalam berbagai bidang.
Rendahnya
taraf berfikir tersebut, salah satunya terkait dengan konsep serta sistem
pendidikan Islam yang tidak dapat menghadirkan Islam sebagai sebuah metode
kehidupan untuk memecahkan seluruh persoalan hidup manusia mulai dari masalah
ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Islam lebih banyak dipahami sekedar
wacana pemikiran dan filosofi yang tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan
perilaku. Para intelektual muslim lebih asyik mendiskusikan Islam sebagai
wacana dalam berbagai forum ilmiah tanpa ada pengaruh signifikant terhadap
peningkatan kualitas taraf berfikir umat Islam.
Kondisi
memperihatinkan ini semakin diperparah dengan keadaan umat Islam yang tengah
mengalami disorientasi keislaman mereka. Model kehidupan yang melingkupi umat
Islam telah diwarnai dengan model kehidupan yang tidak Islami. Berbagai bentuk
kemaksiatan dengan semua variasinya telah menghiasi harian umat Islam.
Keterpurukan
tersebut juga ditandai dengan kondisi negeri-negeri kaum muslimin yang
mengalami keterjajahan sistemik[1]
oleh negara negara besar dunia. Hampir seluruh negeri Islam selalu mengambil
kebijakan negara atas titah negara negara besar. Setiap peristiwa-peristiwa
politik dalam negeri tidak pernah terlepas dari intervensi negara-negara Asing
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan
landasan pemikiran tersebut, penulis mengetengahkan konsep pendidikan Syiah
yang digagas oleh salah seorang pemikir revolusioner Iran Murtadha Muthahhari
dengan satu harapan gagasan revolusinya tentang konsep pendidikan Islam dapat
memberikan inspirasi dan militansi bagi para pembaca makalah ini secara khusus
dan bagi umat Islam secara umum agar segera bangkit meraih kemulyaan dan
peradaban Islam yang gemilang.
Patut
diperhatikan bahwa pemaparan gagasan konsep pendidikan Islam Murtadha
Muthahhari akan dianalisa secara kritis serta dicari relevansinya dengan
sumber-sumber otoritas yang telah mendapatkan legitimasi oleh ketentuan syariat
Islam agar pemikirannya tidak sekedar kita ambil sebagai wacana diskusi namun
sebagai pemikiran Islam yang mengikat umat Islam untuk menerapkan dan
mengamalkannya dalam kehidupan praktis.
B.
Biografi
Intelektual Murtadha Muthahhari
Murtadha
Muthahhari dilahirkan di desa Fariaman pada lokasi Timur Laut negara Iran pada
tanggal 2 Pebruari 1920 M. Tempat kelahirannya berdekatan dengan kota pelajar
pusat ziarah orang syiah yang berada dibagian timur negara Iran.[2]
Beliau dilahirkan dalam lingkungan keluarga religius disebabkan ayahnya
Muhammad Husain Muthahhari adalah seorang ulama terkemuka dan terkenal.
Disebabkan
kedudukan orang tuanya yang memiliki kedalaman dalam ilmu keagamaan, Muthahhari
terdorong mendalami ilmu agama secara serius melalui peran ayahnya dan memasuki
pendidikan formal pada usia 12 tahun. Ayahnya telah menanamkan teologi syiah
terutama syiah imamiyah yang kemudian mengakibatkan dia fanatik terhadap
golongan tersebut[3]
Pendidikan
formal pertamanya ditempuh di Masyhad yaitu pada tahun 1932 M. Pada saat itu
Masyhad berikut lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya kurang mendapatkan
perhatian oleh pemerintahan Reza Syah Iran yang mengadopsi sistem pemerintahan
sekuler. Sehingga kuantitas maupun kualitas pendidikan Islam mengalami
penurunan, namun kondisi itu tidak mengakibatkan Murtadha Muthahhari kehilangan
semangat, akan tetapi justru malah membakar semangatnya untuk mengembangkan
ilmu secara mendalam, ia mulai mencintai ilmu filsafat, teologi dan tasawwuf.
Guru
pertama yang mengajari Muthahhari akan keilmuan itu adalah Mirza Mahdi Syahidi
Razavi. Dengan Mirza, Muthahhari belajar ilmu filsafat kendati tidak lama
kemudian gurunya meninggal pada tahun 1936. Selanjutnya ia mengembangkan keilmuannya
diperguruan yang bernama Qum. Melalui perguruan Qum inilah Muthahhari bertemu
dengan tokoh yang kemudian hari menjadi figur sentral dalam perubahan besar
negara Iran yaitu Ayatullah Boroujerdi dan Ayatullah Khomeini. Kedua elit syiah
tersebut dikenal dengan satu sebagai mufassir dan yang kedua sebagai seorang
filosof.
Dengan
Ayatullah Boroujerdi, Muthahhari belajar ilmu-ilmu Al-Quran beserta tafsirnya.
Sedangkan dengan Ayatullah Khomeini ia belajar filsafat dan irfan.
Interaksi antara Muthahhari dengan Ayatullah Khomeini terjadi tepatnya pada
tahun 1946 yaitu dalam kajian yang diadakan oleh Khomeini di Madrasah Faiziyah.
Di Madrasah tersebut Khomeini mengajar Muthahhari dua kitab utama yaitu asfa>r
al-arba’ah karya Mulla Shadr dengan kitab sarh manzhu>mah karya
Mulla Hadi Sabzawari. Dari dua kitab inilah Muthahhari memahami filsafat Islam.
Disamping itu juga, Muthahhari belajar dari Khomeini fiqh dan ushul fiqh.
Pada
universitas Qum, Muthahhari juga membaca karya-karya yang ditulis oleh
orang-orang penganut Marxisme. Mendalami filsafat aristoteles hingga Satre
sekaligus membaca karya Will Durant. Sehingga kualitas keilmuannya bukan hanya
terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan tradisional seperti ayahnya namun mampu
merambah karya-karya para pakar modern Barat seperti Sigmund Freud, Bertrand
Russel, Albert Einstein, Erich Fromm dan lain sebagainya.
Selain
bersama Khameini, ia juga pernah berguru dengan seorang ulama syiah yang ia
kagumi serta sangat kuat mempengaruhinya yaitu mufassir besar sekaligus seorang
filsuf yaitu Ayatullah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i. Melalui
Thabathaba’i, Muthahhari belajar kitab as-shifa>’ karya Ibnu Sina
antara tahun 1950 hingga tahun 1953. Muthahhari juga membaca karya gurunya
Thabathaba’i yaitu ushul-e falsafe>h wa rowisye riyalism yang
membahas tentang hikmah.
C.
Setting Social
Politik Kehidupan Murtadha Muthahari
Kondisi
sosial politik yang mewarnai kehidupan Muthahhari tidak terlepas dari sistem
pemerintahan tiranik dan hegemonik yang sekuler dibawah kepemimpinan rezim Reza
Syah Pahlevi. Kondisi ini yang telah mendorong Muthahhari terlibat dan
berpartisipasi dalam revolusi Iran\. Pada tahun 1955 gurunya memanggil
murid-muridnya diantaranya adalah Murtadha Muthahhari untuk dididik menjadi
pemimpin gerakan revolusi. Sementara pada saat itu kondisi ulama masih banyak
yang berfikir tradisional sehingga keberadaan mereka kurang dirasa memberikan
manfaat ditengah-tengah masyarakat. Atas dasar itu Muthahhari beserta para
ulama-ulama lainnya membentuk sebuah komunitas yang diberikan nama anjuman-i
mahana-yi dini yang berdiri pada
tahun 1960. Komunitas ulama ini bergerak dalam bidang pemikiran keagamaan dan
mengkontekstualisasikannya dalam kehidupan nyata sehingga pemikiran mereka
menjadi rujukan dan problem solving di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu
komunitas ulama ini tengah berupaya merubah paradigma ulama jumud menjadi ulama
yang reformis. Dan melalui komunitas ulama ini, Muthahhari terjun kedunia
politik praktis guna membebaskan masyarakat dari rezim Pahlevi yang otoriter.
Melihat
perkembangan dan pengaruh yang semakin kuat dari komunitas ulama ini, akhirnya
rezim Pahlevi mengeluarkan maklumat pembubaran terhadap organisasi keulamaan
ini. Pemerintah menganggap organisasi tersebut telah mengancam stabilitas serta
kekuasaan rezim Pahlevi.
Sejak
tanggal 6 Juni 1963, Muthahhari mulai menyerukan pentingnya upaya mendesak
pemerintahan Pahlevi untuk ditumbangkan dengan cara revolusi. Banyak organisasi
yang ia ikuti demi tujuan tersebut diantaranya adalah Jami’ayi Ruhanuya-i
Mubarris (kelompok ulama militan). Akibat peran dan kiprahnya untuk
mengawal desakan revolusi, Muthahhari akhirnya menjadi ketua dewan revolusi
Iran pada tanggal 12 Januari 1979. Gerakan serta manuver politik yang telah
dirancangnya telah menyebabkan pemerintah berang dan secara brutal menyerang
kelompok ini melalui kelompok Furqan pada tanggal 1 Mei 1979 hingga
mengakibatkan meninggalnya Muthahhari.
Kepergian
muthahhari telah meninggalkan luka dan kesedihan mendalam bagi para pemimpin
revolusi Iran lainnya terutama bagi Ayatullah Khomeini, guru sekaligus
inspirator revolusi di Iran. Dia mengiringi proses pemakaman Muthahhari dengan
mengatakan:
“Ketahuilah
wahai mereka yang berkehendak buruk! Walaupun Muthahhari telah pergi,
kepribadian islaminya, filsafat dan ilmu pengetahuannya tetap bersama kami.
Pembunuhan tidak sedikitpun dapat menghancurkan kepribadian umat Islam. Islam
tumbuh melalui pengorbanan dan kesyahidan putra-putra tercintanya”.[4]
Demikianlah
kehidupan sosial politik yang mewarnai hari-hari Muthahhari hingga ia menemui
ajalnya sebagai seorang pahlawan revolusioner Iran. Pengalaman hidup inilah
yang telah ikut andil mempengaruhi spektrum
pemikirannya dalam konsepsi pendidikan Islam yang digagasnya.
D.
Konstruksi
Konsep Pendidikan Islam Perspektif Murtadha Muthahhari
Untuk merumuskan konstruksi
pemikiran pendidikan Islam perspektif Muthahhari tentu bukan perkara yang
mudah, namun penulis akan mencoba mengambil poin-poin penting dari gagasannya
tentang pendidikan Islam. diantara gagasan beliau tentang masalah pendidikan
Islam adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan Islam
Salah satu
tujuan pendidikan Islam menurut Murtadha Muthahhari adalah membangun
kepribadian manusia dengan cara pengembangan potensi akal dan berfikir.
Menurutnya pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk pengembangan kelompok dan
individu. Karena menurutnya didalam Islam kesejatian individu dan masyarakat
harus dijaga dan dihormati. Dan salah satu cara untuk mengembangkannya adalah
lewat pendidikan.[5]
Pandangan
Muthahhari tentang tujuan pendidikan Islam mencerminkan pemahamannya yang utuh
tentang konsep pendidikan Islam yang tidak hanya bertujuan membangun karakter
individual namun juga berorientasi pada pembangunan masyarakat Islam. Antara
individu dan masyarakat adalah dua perkara yang sangat diperhatikan di dalam
Islam sebagaimana terekam dalam hadits Rasulullah SAW :
مَثَلُ
الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ، وَالْوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ
اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا، وَبَعْضُهُمْ
أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِى أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ
مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِى نَصِيبِنَا
خَرْقًا، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ، وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا
جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا[6]
“Perumpamaan orang-orang yang menegakkan
hukum Allah dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang sedang menumpang
kapal. Sebagian dari mereka berada dibagian atas dan yang lain berada dibagian
bawah. Jika orang-orang yang berada dibawah membutuhkan air, mereka harus
melewati orang-orang yang berada diatasnya. Lalu mereka berkata ; andai saja
kami lubangi kapal pada bagian kami tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang
yang berada diatas kami. Tetapi jika yang demikin itu dibiarkan oleh
orang-orang yang berada di atas maka akan binasa semuanya. Dan jika mereka
menghendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamat semuanya.”
Hadits
ini menegaskan tentang model kehidupan dalam masyarakat Islam yang saling
menjaga satu sama lainnya, sehingga tujuan pendidikan Islam harus mampu
membentuk karakter individu yang berkepribadian Islam sekaligus karakter yang
memiliki perhatian dan kepedulian dalam pembentukan masyarakat Islam
sebagaimana gagasan Murtadha Muthahhari.
2. Ideologi Pendidikan Islam
Gagasan ideologi
pendidikan Islam perspektif Muthahhari dibangun berdasarkan pandangannya bahwa
Islam tidak hanya merupakan agama yang memuat petuah etis yang bersifat
individual personal, melainkan merupakan agama yang berusaha untuk membangun
sebuah masyarakat yang sempurna. Apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat,
Islam telah mewajibkannya.[7]
Berdasarkan
pandangan tersebut, Muthahhari menegaskan bahwa Islam dengan ilmu pengetahuan
memiliki tali hubungan yang sangat erat. Menurutnya antara ilmu pengetahuan dan
agama dapat dibahas dari dua sudut pandang. Pertama adalah rasionalitas agama
yaitu bahwa agama telah melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, ilmiah
serta mampu mewujudkan rasa optimisme. Agama memberi cinta, harapan dan
kehangatan. Sedangkan sudut pandang kedua adalah bahwa ilmu pengetahuan telah
memberi manusia cahaya dan kekuatan.[8]
Pandangan
Muthahhari tentang rasionalitas Islam dan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai
basis ideologi pendidikan telah menegaskan bahwa pendidikan Islam harus
dibangun berdasarkan kaedah rasionalitas sehingga dapat mengembangkan daya
kritis peserta didik terhadap diri dan masyarakatnya. Pandangan Muthahhari ini
memiliki akar relevansi dengan konsepsi Islam tentang pentingnya peran akal
dalam memahami agama. Bahkan Islam telah mewajibkan siapapun yang menghendaki
masuk di dalamnya harus melalui perantara proses berfikir sebagaimana Allah
berfirman dalam Al-Qur’an:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (أل عمران : 190)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal"
3. Epistemologi
pendidikan Islam
Kajian epistemologi pendidikan membicarakan
tentang bagaimana ilmu pengetahuan dapat diperoleh. Dalam konteks ini Murtadha
Muthahhari mengungkapkan gagasannya tentang epistemologi pendidikan Islam yang
bersumber dari tiga subyek yang bermanfaat untuk mendapatkan pengetahuan
yaitu: alam, sejarah dan jiwa manusia.
Alam yang dimaksud oleh Muthahhari adalah
alam materi, alam ruang dan waktu yaitu alam dimana manusia tengah hidup di
dalamnya. Sedangkan aspek kedua adalah sejarah. Menurut Muthahhari sejarah
dapat menjadi sumber pengetahuan bagi manusia yaitu dengan cara memperhatikan
perubahan yang terjadi pada masyarakat sehingga tipologi masyarakat tertentu
dapat diketahui dan dapat menjadi sumber pengetahuan. Aspek ketiga adalah jiwa
manusia. Sumber epistemologi jiwa manusia dapat diperoleh melalui penyucian
jiwa, namun menurut Muthahhari, penyucian jiwa ini bukan dengan mengasingkan
diri dan tidak berurusan dengan aktifitas sosial, namun menurutnya adalah
melalui penggunaan rasio dalam setiap perkataan dan perilakunya, menghilangkan
nafsu amarah dan menghindarkan diri dari berbuat kesalahan.
Pandangan Muthahhari tentang epistemologi
pendidikan Islam sesungguhnya belum menyentuh aspek mendasar bagaimana sebuah
pengetahuan diperoleh dan bagaimana standard maupun metode memperoleh
pengetahuan dalam pandangan Islam. ketiga aspek yang digagas oleh beliau
hanyalah merupakan bagian dari sumber-sumber yang dapat mengantarkan manusia
untuk mendapatkan pengetahuan. Sedangkan metode untuk memperoleh pengetahuan
dalam pandangan Islam sesungguhnya terletak pada obyek yang akan dikaji. Jika
obyek kajiannya mengenai fakta yang tidak ada kaitannya dengan nilai benar atau
salah maka metode memahaminya adalah melakukan pengamatan terhadap realitas secara
menyeluruh yang memungkinkan didapatkan data secara penuh. Proses ini
diserahkan pada kreatifitas manusia sepenuhnya.
Jika obyek pengetahuan itu menyangkut sesuatu
yang memiliki keterkaitan dengan nilai benar dan salah atau dengan kata lain
berkaitan dengan konsepsi kehidupan maka proses memahaminya adalah harus
melalui otoritas sumber yang dilegitimasi oleh syariah Islam sebagai sebuah
dalil atau shubhah dali>l.
Dengan demikian yang disebut pengetahuan
dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang memiliki kesesuaian dengan fakta,
bukan spekulasi yang tidak ada faktanya.[9] Bahkan dalam masalah aqidah yang berkaitan
dengan hal-hal gaib saja, Islam melarang umatnya meyakini sesuatu berdasarkan
spekulasi namun harus berdasarkan bukti rasional yang pasti. Allah SWT
berfirman :
وَمَا يَتَّبِعُ
أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali
persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk
mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
kerjakan” (QS: Yunus : #36)
4. Kurikulum
dan Metode Pembelajaran Perspektif Murtadha Muthahhari
Sesuai dengan pengertian kurikulum yaitu
suatu kegiatan yang terencana dan sistemik dalam rangka memperoleh hasil
pembelajaran dan pada jenjang pendidikan tertentu, maka tujuan pengembangan
kurikulum pendidikan menurut Murtadha Muthahhari adalah usaha untuk
mengembangkan potensi berfikir kreatif. Menurutnya berfikir kreatif harus
menjadi tujuan utama dalam setiap pembelajaran. Dan maksud dari berfikir
kreatif adalah kemampuan untuk mengaplikasikan ilmu yang dimiliki dalam
langkah-langkah praktis. Karena substansi dari pembelajaran adalah perubahan
tingkah laku bukan hanya sekedar formalitas belaka.
Tujuan pembelajaran untuk berfikir kreatif
oleh Muthahhari juga dimaksudkan agar peserta didik mampu berfikir kritis yaitu
kemampuan untuk menjadi problem solver terhadap berbagai persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian tujuan pembelajaran sebagai bagian
dari komponen kurikulum menurut Muthahhari adalah setiap kegiatan pembelajaran
yang bertujuan untuk membentuk pola fikir peserta didik dengan pengembangan
nalar kritis dan kreatif.
Tujuan pembelajaran dengan pengembangan nalar
kritis dan kreatif oleh Muthahhari agar pembelajaran tidak hanya merupakan
indoktrinasi formalistik belaka yang akan menciptakan pragmatisme di dalam
pendidikan. Namun mampu membentuk karakter peserta didik yang siap berjuang
melakukan perubahan dengan penuh pengorbanan sesuai dengan hasil dari kesadaran
kritis mereka.
Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut,
Muthahhari menawarkan beberapa metode pembelajaran yang dapat diterapkan oleh
seorang guru antara lain:
·
Metode Trial and Error yaitu melatih peserta
didik selalu memecahkan problem-problem kehidupan yang dihadapi. Melatih ini
dimaksudkan agar peserta didik terbiasa untuk selalu mencari solusi yang tepat
dalam memecahkan masalah kehidupan mereka.
·
Metode eksperimen adalah metode pembelajaran
dengan mengedepankan pengalaman hidup sebagai basis pengetahuan.
·
Metode menakut-nakuti ( punishment-reward)
yaitu metode pembelajaran preventif terhadap pelanggaran peserta didik serta
pemberian penghargaan bagi yang berprestasi.
·
Metode dialog adalah metode yang menerapkan
strategi dialogis antara guru dengan peserta didik agar dapat menumbuhkan
kemampuan berfikir kritis dan kreatif dalam memecahkan berbagai persoalan.
E.
Menggagas
Pendidikan Revolusioner; Sebuah Ikhtiar Menyongsong Kebangkitan Islam.
Dari
seluruh konstruksi pendidikan Islam yang digagas oleh Murtadha Muthahhari
sesungguhnya dapat ditarik benang merahnya bahwa tujuan pendidikan adalah dalam
rangka membentuk kepribadian peserta didik yang memiliki kemampuan bernalar
secara kritis dan kreatif dalam memecahkan seluruh problematika kehidupan yang
mereka hadapi baik peserta didik secara individu maupun komunitas mereka
sebagai bagian dari umat Islam, sehingga mereka tidak hanya berfikir
individualistik namun menjadi agen perubahan dalam membangun masyarakatnya.
Gagasan
Murtadha Muthahhari ini mencerminkan kemampuannya dalam menggabungkan fungsi
manusia sebagai hamba Allah disatu sisi dan fungsi sebagai khali>fah
fi> al-ardh. Kedua fungsi ini memang mesti selalu diperankan oleh
seorang muslim sebagai bentuk pelaksanaan amanah dari Allah SWT.
Namun
persoalan berikutnya bagaimana menumbuhkan proses pendidikan yang dapat
mewujudkan kualitas peserta didik sebagaimana yang dimaksud. Dalam konteks ini
penulis mencoba mengetengahkan beberapa langkah pembelajaran diantara adalah
sebagai berikut:
·
Seorang guru
pertama kali harus mampu menbentuk karakter peserta didik yang berkpribadian
Islam dengan menjadikan Aqidah Islam sebagai basis ideologi mereka sekaligus
sebagai landasan berfikir mereka dalam memecahkan berbagai problematika hidup.[10]
·
Seorang guru
harus mampu menggambarkan kepada peserta didik tentang fakta kehidupan yang
melingkupi mereka adalah fakta kehidupan yang tidak lagi sesuai dengan ideologi
Islam yang mereka anut. Fakta tersebut harus dapat digambarkan secara realistis
baik melalui pengamatan langsung atau dorongan melalui penginderaan dengan
memfungsikan proses berfikir kritis dengan menjelaskan bahayanya bagi
kepentingan umat Islam.
·
Penjelasan akan fakta yang rusak dan berbagai
bahayanya bagi kepentingan umat harus disertai dengan pemaparan bahwa semua itu
terjadi diakibatkan oleh sistem kehidupan yang diterapkan kepada mereka adalah
sistem yang bertentangan dengan sistem Islam.
·
Setelah para
siswa memahami semua fakta tersebut serta dapat mendorong mereka melakukan
perubahan, maka langkah selanjutnya adalah memaparkan fakta kehidupan yang akan
menjadi alternatif penggantinya yaitu sistem kehidupan Islam dengan penjelasan
yang utuh.
·
Setelah semua
kesadaran terhadap fakta yang rusak tersebut berikut kesadaran terhadap fakta
penggantinya telah dapat dipahami oleh peserta didik secara sempurna, seorang
guru harus juga dapat menjelaskan tentang bagaimana jalan perubahan harus
dilakukan.
·
Semua penjelasan
tersebut seyogyanya disampaikan kepada peserta didik bukan hanya pada level
kognitif saja namun harus terintegrasi antara ilmu dan amal melalui pembiasaan
dengan pemberian taklif kepada mereka. Sehingga mereka dapat merasakan langung
melalui pengalaman praktis mereka. Kemudian setelah itu seorang guru harus
berperan untuk membangkitkan semangat para peserta didik didalam melakukan
upaya-upaya perjuangan revolusioner guna menyongsong kebangkitan Islam dengan
tetap berpijak pada metode Rasulullah SAW dalam melakukan perubahan.[11]
F. Penutup
Berdasarkan
paparan makalah tentang konstruksi pendidikan syiah perspektif Murtadha
Muthahhari di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Pandangan
Muthahhari tentang konsep Pendidikan Islam terpateri dari gagasannya bahwa
pendidikan harus ditujukan untuk mencetak kualitas peserta didik yang mampu
mengembangkan sikap kritis dan kreatif. Peserta didik yang memiliki kesadaran
terhadap diri dan komunitasnya. Menjadi pribadi shalih serta mushlih dan tidak
bersifat pragmatis.
2.
Ideologi
pendidikan Islam yang dirumuskan oleh Muthahhari adalah mengenai integrasi
secara kuat antara rasionalitas Islam sebagai agama yang komprehensif dengan
ilmu pengetahuan. Karena menurutnya setiap apapun yang dibutuhkan masyarakat,
Islam juga mewajibkannya.
3.
Epistemologi
pendidikan Islam menurut Muthahhari bertumpu pada tiga aspek yang patut
difikirkan dan dapat menjadi sumber pengetahuan yaitu alam semesta, sejarah dan
jiwa manusia.
4.
Gagasan
revolusioner Muthahhari tentang konsep pendidikan Islam sejatinya menjadi
inspirasi bagi para guru untuk mendidik peserta didik berfikir kritis terhadap
kondisi sosial maupun sistem kehidupan yang diterapkan atas mereka sehingga
menumbuhkan semangat untuk melakukan perubahan menuju upaya meraih kebangkitan
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
‘Athiyat, Ahmad. At-Thariq, Dirasah Fikriyah fi> Kaifiyah
al-‘Amal li Taghyi>r Wa>qi’ al-Ummah wa Inha>dhiha>. (Beirut, Da>r al-Baya>riq, 1988
Al-Bukhari,
Kitab Shahih al-Bukhari, Maktabah
Syamilah, hadits no : 2313
Al-Qashash,
Ahmad. Dasar-dasar Kebangkitan, Bogor, Pustaka Thariq al-Izzah
An-Nabhani,
Taqiyuddin. Niz}am al-Isla>m, Beirut,
Maktabah al-Wa’yi, 2003
An-Nabhani, Taqiyuddin. Hakekat Berpikir, terj : Taqiyuddin
As-Siba’i, Bogor, PTI, 2006
An-nawiy, Fathiy Syamsuddin
Ramadhan. Revolusi Islam ; Jalan Terang Menuju Perubahan, Bogor, Al-Azhar Press, 2011
Muhajir, Filsafat
Pendidikan Islam Syi’ah, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2013
[1]
Penjajahan memiliki dua bentuk yaitu
penjajahan militer seperti yang dilakukan oleh belanda ke Indonesia, serta
penjajahan non militer. Penjajahan non militer ini yang kita sebut dengan
penjajahan sistemik. Yaitu negara-negara jajahan tidak merasa dirinya sedang
dijajah karena secara formal negara tersebut adalah negara yang sudah merdeka.
Namun setiap keputusan negara selalu mengekor dan terhegemoni oleh kepentingan
negara-negara penjajah sehingga sebagian besar aset negara justru secara
sistemik mengalir pada pihak negara penjajah.
[2]
Muhajir, Filsafat Pendidikan
Islam Syi’ah, ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013), 22
[3]
Ibid, 23
[4]
Ibid, 30
[5]
Ibid, 54 dan 56
[6]
Al-Bukhari, Kitab Shahih
al-Bukhari, ( Maktabah Syamilah), hadits no : 2313
[7]
Muhajir, Filsafat Pendidikan
Islam Syi’ah, 64. Lebih lanjut istilah ideologi dikemukakan oleh Taqiyuddin
An-Nabhani dengan menyebutkan bahwa ideologi adalah aqidah rasional yang melahirkan
berbagai sistem kehidupan. Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Niz}am al-Isla>m,
( Beirut, Maktabah al-Wa’yi, 2003),
[8]
Muhajir, Filsafat Pendidikan
Islam Syi’ah, 65
[9]
Aktifitas berfikir itu dinyatakan
benar apabila proses berfikir yang dilakukan seseorang memiliki kesesuaian
dengan fakta. Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Hakekat Berpikir, terj :
Taqiyu>ddin As-Siba’i, ( Bogor, PTI, 2006 ), 96-97
[10]
Aqidah yang dimaksud disini adalah
aqidah yang menjadi pandangan hidupnya dengan menjadikan syariat Islam sebagai
tolak ukur atas perbuatannya. Aqidah ini
akan menjadi landasan perubahan bagi masyarakat. Lebih lanjut lihat Fathiy
Syamsuddin Ramadhan An-nawiy, Revolusi Islam ; Jalan Terang Menuju
Perubahan, ( Bogor, Al-Azhar Press, 2011 ), 1-3
[11] Langkah-langkah perubahan
masyarakat dijelaskan panjang lebar oleh ahmad ‘Athiyat dengan menegaskan bahwa
masyarakat tidak akan terdorong melakukan perubahan jika didalam pikiran mereka
tidak ada kesadaran akan fakta kehidupan yang rusak yang memotivasi mereka
untuk bergerak melakukan perubahan. Kemudian selain kesadaran akan fakta yang
rusak, harus ada kesadaran akan fakta alternatif yang akan menjadi
penggantinya. Lihat Ahmad ‘Athiyat, At-Thariq, Dirasah Fikriyah fi>
Kaifiyah al-‘Amal li Taghyi>r Wa>qi’ al-Ummah wa Inha>dhiha>. (Beirut, Da>r al-Baya>riq, 1988),
21. Rumusan perubahan ini jika dicermati amat sangat relevan dengan apa yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam perubahan masyarakat jahiliyah
menuju masyarakat islam. beliau SAW memaparkan fakta rusaknya sistem masyarakat
jahiliyah, menjelaskan kepalsuannya dan bahayanya bagi kehidupan manusia,
kemudian beliau menawarkan Islam sebagai solusinya. Sedangkan langkah-langkah
praktis yang dilakukan nabi menurut Ahmad Al-Qashash adalah melalui tiga
tahapan yaitu pertama, tahapan pembentukan kelompok pejuang dengan pembinaan
berdasarkan aqidah Islam. Kedua, tahapan berinteraksi langsung dengan
masyarakat melalui perjuangan pemikiran dan politik. Ketiga, adalah tahapan
pemberlakuan syariat islam sebagai sistem kehidupan yang diterapkan oleh
negara. Lihat Ahmad Al-Qashash, Dasar-dasar Kebangkitan, (Bogor, Pustaka
Thariq al-Izzah), 187-188
Komentar
Posting Komentar