SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT; AL-KINDI, AL-FARABI DAN IBNU SINA

Oleh: Rifqi
A.  PENDAHULUAN
Salah satu unsur terpenting dalam diri manusia adalah karena ia di anugerahi potensi akal yang dapat berfikir dan memecahkan masalah-masalah kehidupannya. Dan sudah tercatat dalam sejarah, sebuah peradaban yang pernah tampil di atas pentas kehidupan selalu ditandai dari meningkatnya taraf berfikir. Perubahan besar yang dialami seluruh kawasan dunia eropa dan negara-negara barat lainnya dari cengkeraman abad pertengahan menuju era kebangkitannya atau yang lebih popular dengan masa renaissance adalah disebabkan karena bangkitnya para pemikir dan filosof untuk menentang kejumudan berfikir akibat legitimasi doktrinal kalangan gereja dan penguasa-penguasa dzalim yang mengatas namakan agama demi kekuasaan dan penindasan terhadap rakyat. Hasil pergulatan antara pemikiran kebangkitan yang dipimpin oleh para pemikir dan filosof dengan para penguasa dan kalangan gereja tentu telah melahirkan perubahan mendasar dalam kesejarahan masyarakat eropa. Dan satu hal yang pasti bahwa setiap pemikiran yang memiliki metode untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan selalu meraih kemenangan kendati pada permulaannya dilalui dengan pengorbanan yang sengit dan jalanan yang terjal. Demikian pula yang terjadi pada pertumbuhan dan peradaban Islam, ia lahir dari jepitan budaya barbar yang tidak memiliki peradaban apapun, tidak terekam sama sekali oleh sejarah bahwa masyarakat yang melahirkan peradaban besar tersebut sebelumnya memiliki prestasi berfikir yang patut dibanggakan dan dapat di analisa menjadi embrio kelahiran dan benih-benih kemunculan peradaban Islam. Masyarakat Jahiliyah sebelum Islam datang adalah masyarakat pedalaman yang dikurung oleh sifat egoisme cultural, pertentangan suku serta kebanggaan terhadap nenek moyang Kedatangan Rasulullah SAW dengan membawa Risalah yang agung adalah jelas merupakan satu hal baru bagi masyarakat jahiliyah, oleh karena itu mereka semula menentang mati-matian. Yang pada gilirannya Islam mampu memberikan pencerahan pemikiran terhadap mereka sehingga Arab lalu berhasil keluar dari kejumudan berfikir dan tampil sebagai masyarakat dengan peradaban yang bisa menantang kepongahan dua adidaya besar yaitu Romawi dan Persia.
Fakta ini mengungkapkan satu rahasia terbesar yang patut direnungkan dan dikaji secara filosofis bahwa pemikiran adalah hal terpenting bagi jatuh bangunnya sebuah peradaban. Melalui aktifitas berfikir ini sebuah masyarakat akan mengalami kemajuan dan kebangkitannya, sekaligus melalui pola berfikir pulalah sebuah masyarakat justru merosot tajam dan terhempas dalam keterpurukannya. Berdasarkan kajian secara kritis, maka penulis sengaja mengetengahkan corak pemikiran para filosof Islam, terutama Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibn Sina. Apakah pemikiran filsafat mereka telah memberikan kontribusi besar bagi terwujudnya peradaban Islam gemilang dan menjadi sebab bagi kemajuan-kemajuan yang diraih? Atau eksistensi pemikiran mereka adalah akibat dari derasnya pemikiran sebagai kelanjutan dari metode berfikir khas Islam, atau malah justru menambah kerumitan dan problema tersendiri bagi keberlangsungan peradaban ini.

B.  SEJARAH PEMIKIRAN AL-KINDI
1.    Biografi dan Karyanya
Al-Kindi merupakan salah satu filosof yang merupakan keturunan Arab asli. ia bernama Abu Yusuf bin Ishak. Silsilah nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu nenek pertama dari suku Arabia Selatan. Ayahnya Al-Kindi pernah menjadi wali di wilayah kufah pada saat pemerintahan al-Mahdi dan Harun Al-Rashid. Sedangkan nenek-neneknya adalah para penguasa di daerah Kindah dan sekitarnya yaitu daerah Arabia Selatan.[1]
Al-kindi mendapatkan kedudukan yang istimewa pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dan al-Mu’tas}im. Bahkan disebutkan ia menjadi guru dari anak al-Mu’tas}im yaitu Ahnad. Al-Kindi mengalami proses kemajuan berfikir dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Mendalamnya pengetahuan al-Kindi nampak dalam karyanya yang meliputi berbagai bidang antara lain: logika, filsafat, geometri, matematika, aritmatika, musik, astronomi dan lain-lain. Seluruh karyanya dicatat oleh Ibn Nadim sebanyak 241 topik. Dalam bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik, geometri 23 topik, matematika 13 topik, aritmatika 5 topik, musik 7 topik, astronomi dan perbintangan 45 topik, geologi 8 topik, medis 22 topik, diskusi 17 topik, psikologi 5 topik, politik 12 topik, dimensi 8 topik, sebab-sebab wujud keduniaan (ahdathiyah) 14 topik dan lain-lain sebanyak 33 topik.[2]
Namun dari sekian banyak karya al-Kindi tersebut telah banyak yang hilang dan musnah dan hanya sedikit yang ada hingga sekarang. Di antara karya-karyanya yang terkenal di temukan oleh seorang orientalis berkebangsaan Jerman yaitu Hillmuth Ritter  di perpustakaan Aya Sofia di Istambul dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah tersebut membahas tentang soal-soal alam dan filsafat, antara lain masalah ke esaan Tuhan, akal, jiwa dan filsafat pertama.
Di antara unsur-unsur filsafat yang terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah sebagai berikut:
a.    Aliran pythagoras tentang matematika sebagai jalan menuju filsafat
b.    Pikiran-pikiran Aristoteles mengenai masalah fisika dan metafisika, meskipun al-kindi tidak sepakat dengan pendapat Aristoteles tentang qadi>m nya alam
c.    Pikiran-pikiran Plato mengenai masalah kejiwaan
d.    Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles mengenai masalah etika
e.    Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) menyangkut soal-soal yang berkaitan dengan Tuhan dan sifat-sifatnya.
f.     Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-qur’an.[3]
Selain bidang filsafat, Al-Kindi juga memperhatikan ilmu falak. Ia menulis buku tentang masalah masalah kedokteran dan obat-obatan. Sebagian kaum orientalis memilih al-Kindi sebagai satu di antara sepuluh orang yang mempunyai predikat sebagai puncak pemikir manusia.[4]
2.    Pandangan tentang Integrasi Agama dengan Filsafat
Di tengah pertentangan antara kelompok agamawan yang anti filsafat dengan para filosof mengenai masalah keagamaan, maka al-Kindi berupaya memberikan gambaran menyangkut persinggungan antara filsafat dengan agama. Menurutnya bahwa filsafat adalah sebuah ilmu untuk menemukan kebenaran sebagaimana agama juga ilmu tentang kebenaran. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya. Pandangannya mengenai kesanggupan akal manusia di dalam menemukan rahasia-rahasia apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah jelas merupakan pengaruh pemikiran Mu’tazilah. Ilmu filsafat pertama yang mencakup masalah ketuhanan, ke esaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang menjelaskan bagaimana memperoleh hal-hal yang bermanfaat dan menjauhkan dari hal-hal yang merugikan juga dibawa oleh para Rasul Tuhan.
Menurut al-Kindi kita harus mengambil kebenaran darimanapun kita memperolehnya sekalipun dari bangsa-bangsa yang mungkin amat jauh dari negeri kita. Orang yang berupaya mencari kebenaran tidaklah lebih utama dari kebenaran itu sendiri. Bahkan ia menyebutkan bahwa orang yang mengingkari filsafat adalah orang yang mengingkari kebenaran. Para penentang filsafat juga menggunakan rumusan-rumusan filsafat ketika mereka memperkuat argumentasinya tentang tidak perlunya filsafat.[5]
Gagasan Al-Kindi untuk mempertemukan hubungan agama dengan filsafat juga nampak dari penjelasannya ketika misalnya secara lahiriyah ada kontradiksi antara ayat di dalam Alqur’an dengan hasil rumusan filsafat maka yang mesti dilakukan adalah takwil, karena karakter kebahasaan dalam bahasa arab memiliki dua arti yaitu arti yang sebenarnya dan arti majazi (arti kiasan). Penarikan makna dari arti kiasan ini tentu harus dilakukan dengan jalan takwil, dengan syarat harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli agama sekaligus sebagai seorang pemikir. Kendatipun misalnya ada pertentangan antara risalah yang dibawa oleh nabi dengan hasil filsafat, maka perbedaan tersebut hanya mengenai cara, sumber dan ciri-cirinya, karena ilmu nabi-nabi diterima oleh mereka setelah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan dipersiapkan menerima pengetahuan dengan cara yang luar biasa di luar hukum alam. Namun para filosof haruslah berupaya mencari kebenaran itu dengan sungguh-sungguh dengan cara mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan dengan sebaik-baiknya.[6]

3.    Konsepnya tentang Filsafat Metafisika
Mengenai pembahasan tentang masalah di wilayah metafisika, Al-Kindi juga memberikan kontribusi pemikirannya yang tercatat dalam beberapa risalahnya, di antaranya “tentang filsafat pertama” dan “tentang keesan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”. Terkait dengan ini Al-Kindi mengemukakan pendapatnya mengenai seputar hakikat Tuhan, bukti-bukti wujud Tuhan dan sifat-sifatNya.
Tentang hakikat Tuhan ia menyatakan bahwa Tuhan tidak ada permulaan yang menyebabkan ia ada. Tuhan akan selalu ada dan tidak berakhir, serta menjadi sebab bagi keberadaan wujud yang lain. Kemudian dalam rangka membuktikan keberadaan Tuhan ia membangun argumentasinya melalui tiga hal. Pertama, baharunya alam, kedua, Keaneka ragaman dalam wujud dan ketiga, menyangkut keteraturan alam.
Langkah pertama ketika membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi baharunya alam ia mengemukakan pendapatnya melalui satu argumentasi bahwa sesuatu tidak mungkin menjadi sebab bagi wujud dirinya. Dengan demikian alam semesta ini bersifat baharu dan mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga bersifat terbatas. Berdasarkan argumentasi ini ia menegaskan bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan alam semesta dari tidak ada menjadi ada.
Sedangkan argumentasi kedua mengenai keaneka ragaman dalam wujud, Al-kindi membuktikan keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa alam ini baik yang bersifat inderawi maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada ke anekaragaman tanpa ada keseragaman, atau sebaliknya ada keseragaman tanpa ada keanekaragaman. Jika alam inderawi tergabung dalam keanekaragaman dengan keseragaman secara bersama-sama, maka hal itu bukan disebabkan karena kebetulan namun karena adanya sesuatu yang menjadi sebab. Namun sebab tersebut tentu bukan dari alam itu sendiri, karena jika demikian maka tidak akan ada ujung pangkalnya dan tidak akan pernah berakhir dan itu adalah mustahil terjadi. Oleh karena itu, sebab tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu adanya. Karena sebab harus ada sebelum efek atau akibatnya.
Mengenai pembuktian wujud Tuhan melalui argumentasi keteraturan alam, Al-Kindi mengungkapkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Sedangkan zat yang tidak nampak tersebut hanya bias diketahui keberadaannya melalui bekas-bekas Nya dan keteraturan yang ada di alam semesta ini. Langkah argumentasi ini dikenal dengan sebutan “illat tujuan”.[7]
Kemudian pandangan al-Kindi mengenai sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan pendapatnya bahwa ke esaan Tuhan sebagai salah satu sifatnya dapat dibuktikan bahwa Tuhan bukanlah materi, bukan bentuk, tidak mempunyai kuantitas dan juga mempunyai kualitas. Ia tidak memiliki hubungan ketergantungan dengan yang lain, semisal sebagai ayah atau sebagai anak. Tidak bisa di sifati dengan apa yang ada dalam pikiran. Ia bukan genus, bukan differentia (fas}l), bukan proprium (Khas}s}ah), bukan accident (‘arad}), tidak bertubuh dan tidak bergerak. Oleh sebab itu menurut al-Kindi Tuhan hanya bersifat Esa saja. tidak ada hal lain kecuali esa semata.
Oleh sebab itu pula, Tuhan bersifat azali, yaitu zat yang sama sekali tidak ada permulaannya. Keberadaannya tidak tergantung pada yang lain atau tidak berkaitan dengan sebab. Dengan demikian ia bukanlah subyek atau predikat. Kesimpulannya Tuhan adalah sebab pertama dimana wujudnya bukan karena adanya sebab yang lain. Menurut Al-Kindi sifat azali Tuhan juga menuntut ia tidak bergerak karena dalam gerak memungkinkan adanya pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna. Karena zat yang azali itu tidak bergerak maka zaman atau waktu tidak berlaku padaNya. karena zaman merupakan bagian dari bilangan gerak. Namun menurut al-Kindi Tuhan memiliki pekerjaan khusus yang disebut dengan “ibda”  yaitu menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, namun tidak mengandung pengertian bahwa ia mempunyai perasaan atau menerima pengaruh.[8]





4.    Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tas}im, dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam.
Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk. Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya.[9] Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada untanya.  Namun ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi z}at Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya sekedar spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai justifikasinya.


C.  SEJARAH PEMIKIRAN AL-FARABI
1.    Biografi dan Karyanya
Nama Al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan. Sebutan Al-Farabi di ambil dari nama kota dimana ia dilahirkan yaitu kota Farab. Ia lahir pada tahun 257 H / 870 M. Ayahnya berasal dari Iran (Persia) dan menikah dengan seorang wanita Turkestan. Oleh karena itu ia biasa disebut sebagai orang Persia.
Sejak kecil ia sudah suka belajar dan mempunyai kecakapan dalam bidang bahasa. Bahasa yang di kuasainya antara lain adalah bahasa-bahasa Iran, Turkestan dan Kurdistan. Setelah besar Al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada saat itu. Selama di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Pada saat pertama tinggal di Baghdad ia tidak banyak menguasai Bahasa Arab. Akhirnya ia belajar ilmu nahwu pada Abu Bakar as-Sarraj, sebagai imbalan terhadap pelajaran logika yang ia ajarkan kepadanya. Setelah itu ia pindah ke Harran, salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Disana ia berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Namun tidak lama ia kembali lagi ke Baghdad untuk mendalami ilmu filsafat setelah ia sudah menguasai ilmu mantik (logika). Selama 30 tahun ia tinggal di Baghdad dan memaksimalkan waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu antara lain adalah Yahya bin Ady. Kemudian setelah itu ia pindah ke Damaskus pada tahun 330 H / 941 M. disini ia mendapatkan kedudukan istimewa dari Saifuddaulah, seorang penguasa dinasti Hamdan di Halab (daerah Aleppo). Ia menetap di kota Damaskus hingga wafatnya pada tahun 337 H / 950 M pada usia 80 tahun.[10]
Dalam bidang fisafat, Al-farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat yang lebih tinggi hingga seorang orientalis berkebangsaan Perancis, Massignon menyebutkan bahwa ia adalah seorang filosof muslim yang pertama dengan arti yang sesungguhnya. Kendati sebelum Al-farabi sudah ada Al-Kindi sebagai orang yang pertama membuka penetrasi ilmu filsafat di dunia Islam, namun masih belum terbentuk sebagai satu disiplin keilmuan khas. Sebaliknya Al-Farabi dianggap sebagai orang yang menekuni bidang filsafat dan berhasil membentuk system filsafat yang lengkap dan cukup memainkan peranan penting dalam dunia islam di bidang filsafat. Para filosof sesudahnya adalah para muridnya, diantaranya adalah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan filosof-filosof lainnya. Oleh karena itu ia disebut sebagai guru kedua setelah Aristoteles yang dianggap guru pertama dalam bidang filsafat.[11]
Karya al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika. Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan system pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles. Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah :
1.    Aghradhu ma Ba’da al-Ta}bi’ah
2.    Al-Jam’u bain Ra’y al-Hakimain
3.    Tahs}il al-Sa’a>dah
4.    ‘U’yu>n al-Masa>’il
5.    Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
6.    Ihs}}a’ al-‘Ulu>m[12]

2.    Pandangannya tentang Metafisika
Mengenai pemikiran Al-Farabi di bidang metafisika, penulis hanya membatasi dalam hal-hal yang terkait dengan pemikiran Islam diantaranya menyangkut masalah wujud Tuhan dan sifat-sifatnya, masalah teori emanasi yang membicarakan proses penciptaan alam semesta, dan lain-lain.
Sebelum membahas mengenai tentang wujud Tuhan, al-Farabi membuat kerangka pemikiran mengenai wujud, ia membaginya menjadi dua bagian:
1.    Wujud yang mumkin, yaitu wujud yang ada karena ada sebab lainnya, seperti adanya cahaya matahari karena sebab adanya matahari. Cahaya tersebut bisa ada atau tidak ada. Oleh karena itu ia disebut sebagai wujud yang mumkin. Keberadaannya bergantung pada wujud yang lain. Adanya wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya wujud yang menjadi sebab pertama yakni Tuhan. Karena segala yang mumkin harus berakhir pada wujud yang nyata dan pertama kali ada. Wujud pertama menjadi sebab adanya wujud lainnya, karena wujud yang mumkin tersebut tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri.
2.    Wujud yang wajib adanya (wa>jib al-wuju>d ) yaitu wujud yang ada bukan karena sebab lainnya melainkan karena dirinya sendiri. Ia adalah sebab pertama bagi wujud-wujud lainnya. Dengan demikian keberadaannya menjadi wajib adanya, dan wujud yang pertama ini adalah Tuhan (Allah).[13] Menurutnya, wujud yang sempurna dan paling awal mau tidak mau harus berwujud. Sebab esensi dan wujud-Nya tidak mungkin tidak ada sebagaimana yang tidak eksis juga tidak memiliki wujud. Sebab itu menurut Al-Farabi, zat yang sempurna adalah mustahil tidak ada dari segala aspek. Bahkan dia adalah qadi>m, abadi dan otonom.[14]

Berdasarkan kerangka berfikir di atas, Al-farabi membahas masalah wujud ketuhanan berikut sifat-sifatNya. Sekaligus membicarakan masalah kejadian alam semesta dengan teori emanasi.
Mengenai hakikat Allah ia menyatakan bahwa ia adalah wujud yang sempurna yang ada tanpa perantara atau sebab lainnya. Karena kalau ada faktor lain yang menjadi sebab keberadaannya maka ia tidak lagi menjadi sempurna. Ia menjadi sebab pertama yang tidak memiliki permulaan dan akan selalu ada. Namun menurut Al-farabi, wujud-Nya tidak terdiri dari materi atau benda dan juga bukan terdiri dari bentuk. Karena gabungan keduanya ada pada makhluk. Sedangkan Tuhan mesti berbeda dengan makhluknya.
Kemudian mengenai sifat Tuhan Al-farabi mengungkapkan gagasannya dengan menyatakan bahwa sifat Tuhan tidak berbeda dengan z}atNya. Tuhan bersifat tunggal dan merupakan akal murni, karena ia tidak menempati ruang dan waktu yang menyebabkan keberadaannya. Jika sesuatu wujud itu tidak butuh dan tidak tergantung pada benda maka ia akan menjadi akal (pikiran) yang sesungguhnya. Demikianlah penjelasan Al-Farabi mengenai keadaan wujud yang pertama (Tuhan). Menurutnya zat Tuhan adalah obyek pemikiran tuhan sendiri sekaligus sebagai subyek dengan sendirinya. Ia tidak membutuhkan hal lain dalam memikirkan zatnya sendiri. Dengan kata lain, Tuhan adalah ‘aqal, ‘a>qil dan ma’qu>l sekaligus.
Demikian juga Al-Farabi berpendapat bahwa ilmu Tuhan adalah sama dengan zatnya. Tuhan adalah zat yang maha mengetahui (‘alim ) sekaligus zat menjadi obyek pengetahuannya. Atau dengan kata lain Tuhan adalah Ilmu yang mengetahui dan sekaligus menjadi obyek ilmu-Nya.
Berdasarkan paparan di atas, Al-farabi memiliki pandangan tentang kesatuan zat dengan sifat Tuhan sebagaimana pandangan kalangan Mu’tazilah. Dan pandangannya tentang obyek pemikiran atau ilmu adalah terletak pada zatnya sesungguhnya menurut Ahmad Hanafi merupakan pendapat yang di ambil dari pandangan Aristoteles. Pendapat tersebut didasarkan kepada satu anggapan bahwa alam semesta terlalu rendah derajatnya jika harus menjadi obyek pemikiran Tuhan. Tuhan hanya memikirkan z}atnya yang menjadi sebab bagi wujud alam ini.
Kemudian berdasarkan teori tentang kesatuan zat dengan sifat, ia memulai gagasannya tentang wujudnya alam semesta. Ia beranggapan bahwa alam semesta atau makhluk yang merupakan wujud yang mumkin adalah sesuatu yang keluar dari wujud yang wajib adanya (Tuhan). Gagasan seperti ini disebut dengan teori emanasi atau teori urut-urutan wujud. Tuhan cukup berfikir tentang zatnya maka keluarlah dariNya wujud alam semesta sebagaimana keluarnya cahaya dari Matahari.[15]

3.    Studi Kritis terhadap Pemikiran Filsafat Al-Farabi
Sebagaimana penulis ungkapkan pada bagian sebelumnya, bahwa pemikiran manusia mesti terbatas pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh pengamatan, ataupun ketiadaan informasi yang menguraikannya, maka apa yang dilakukan oleh Al-farabi juga demikian halnya, Ia hanya berupaya memperkuat hasil imajinasinya dengan logika-logika[16] yang dirumuskan. Dan sesungguhnya yang demikian bukanlah bagian dari kreatifitas berfikir, namun khayalan yang diformat hingga nampak terkesan rasional. Semisal ketika ia berpendapat tentang kesatuan zat dan sifat Tuhan. Padahal wilayah itu merupakan wilayah yang tidak bisa di amati dan memang tidak ada satupun informasi mengenai hal tersebut yang termaktub dalam kitab suci.
Pendapatnya tentang teori emanasi mengenai wujud alam semesta yang disebutkan terpancar atau keluar dari wujud Tuhan sebagaimana layaknya sinar matahari terpancar dari mataharinya, sungguh merupakan pandangan khayali yang justru bertentangan dengan keterangan nash Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah dari ketiadaan menjadi ada. Al-Farabi maupun para filosof lainnya seperti Al-Kindi tidak bisa membedakan antara wilayah yang bisa dijangkau oleh akal manusia dengan yang tidak bisa dijangkau oleh akal.
Sesungguhnya menyangkut masalah metafisika yang memang berada diluar penginderaan manusia adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan akal karena faktanya tidak bisa di indera. Namun ada hal-hal metafisis yang diberitahukan oleh Allah melalui sumber informasi yang pasti semisal Al-Qur’an, seperti adanya surga, neraka, hari kiamat, hari pembalasan dan sebagainya. Maka hal demikian hanya dapat diterima sesuai dengan informasi yang ada, setelah sebelumnya kita sudah membuktikan kekuatan dan kepastian informasi yang menjelaskannya sesuai dengan metode berfikir rasional. Namun sebaliknya, masalah metafisika yang tidak ada informasi sedikitpun tentang eksistensinya seperti kesatuan zat Tuhan dan sifat-Nya, menyangkut wujud Tuhan yang bukan materi atau bentuk, maka hal demikian tidak dapat dibahas oleh akal kecuali hanya berputar-putar dalam rumusan proposisi logikanya.

D.  SEJARAH PEMIKIRAN IBNU SINA
1.    Biografi dan Karyanya
Ibnu Sina lahir pada tahun 340 H / 980 M, di suatu daerah bernama Afsyana, di wilayah Bukhara. Sejak berumur sepuluh tahun ia sudah menhafal Al-Qur’an, belajar ilmu-ilmu agama dan astronomi. Kemudian ia belajar matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada seorang yang beragama Kristen bernama Isa bin Yahya.
Belum lebih dari umur enam belas tahun, Ibnu Sina sudah terkenal kemahirannya dalam ilmu kedokteran, bukan hanya dalam konsep masalah kedokteran, namun ia juga piawai dalam mengobati orang-orang yang sakit. Sebagai bukti dari kepiawaiannya, suatu ketika ketika usianya mencapai tujuh belas tahun, Nuh bin Mansur, penguasa daerah Bukhara menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh para dokter pada masanya, namun setelah Ibnu Sina mengobatinya ia menjadi sembuh. Akibat dari semua itu Ibnu Sina mendapat sambutan yang baik sekali dan mendapatkan kesempatan mengunjungi perpustakaannya yang penuh dengan buku-buku yang sulit didapat.
Setelah berumur dua puluh tahun, ayahnya meninggal dunia, lalu ia meninggalkan Bukhara menuju daerah Jurjan, dan dari sini ia pergi menuju Khawarazm. di wilayah Jurjan ia mengarang dan mengajar, namun di daerah ini ia tidak tinggal lama disebabkan terjadinya kekacauan politik. Setelah itu ia berpindah pindah dari satu negeri ke negeri lainnya hingga akhirnya ia sampai di daerah Hamadzan. Hingga pada tahun 428 H / 1037 M, ia meninggal di daerah Hamadzan pada usia 58 tahun.[17]
Sebelum meninggal dunia, Ibnu Sina banyak meninggalkan karya-karya di antaranya:
1.      Ash-Shifa, sebuah buku filsafat yang terbesar dan terpenting dari Ibnu Sina yang terdiri dari empat bagian yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika.
2.      An-Najat, buku ringkasan dari buku ash-shifa, dan pernah diterbitkan secara bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
3.      Al-Isha>rat wa al-Tanbiha>t, Buku ini merupakan buku terakhir dan yang paling baik, pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan sebagiannya di terjemahkan ke dalam bahasa Perancis, kemudian diterbitkan di Kairo pada tahun 1947 di bawah asuhan Dr.Sulaiman Dunia.
4.      Al-Hikmah al-Mashriqiyyah, buku ini sedikit memuat logika, dan ada yang menyatakan bahwa isi buku memuat masalah tasawwuf, namun menurut Carlos Nallino, di dalamnya berisi filsafat timur sebagai perimbangan dari filsafat barat.
5.      Al-Qa>nun, atau Canon of Medicine menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalambahasa Latin sekaligus menjadi buku standard bagi universitas-universitas Eropa hingga akhir abad ketujuh belas Masehi. Buku ini pernah diterbitkan di Roma tahun 1953 M, dan di India tahun 1323 H.[18]
Dalam laporan Abd al-Amir, Ibnu Sina meninggalkan 276 buku, namun secara detail tidak disebutkan. Namun dari sekian bukunya yang masih ada menurut laporan Badawi berkisar 17 buah[19]
2.    Pandangan Ibnu Sina tentang Masalah Metafisika
Pada pembahasan menyangkut masalah metafisika, gagasan filsafat Ibnu Sina tidak jauh berbeda dari Al-Farabi. Ia juga berupaya mengintegrasikan antara konsep Islam dengan rumusan filsafat. Dimana masing-masing sesungguhnya merupakan perpaduan antara filsafat Plato, Aristoteles dan Neo-Platonisme. Dalam penjelasannya mengenai wujud pertama ia juga menggunakan dasar argumentasi Al-Farabi dengan membagi eksistensi wujud menjadi dua bagian, yaitu wa>jib al wuju>d dengan mumkin al-wuju>d[20]. Begitu juga ketika menjelaskan tentang proses kejadian alam semesta, ia juga menggunakan teori emanasi nya Al-Farabi, hal itu Nampak dari pernyataannya sebagaimana yang dikutip oleh Moh.Maghfur: “Saya benar-benar telah memperkenalkan, bahwa Allah yang maha tinggi telah menciptakan akal pertama, kemudian melaluinya diciptakan akal lain dan bintang, dan melalui akal lain diciptakan akal ketiga dan bintang ketiga berdasarkan urut-urutan yang telah kami sebutkan.”[21]
Mengenai pendapat Ibnu Sina tentang masalah jiwa. Ia membagi jiwa menjadi tiga macam: pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan, yaitu kesempurnaan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup dan dengannya makhluk hidup bisa berkembang biak, bertambah dan makan. Jiwa tumbuh-tumbuhan menurutnya memiliki tiga kekuatan yaitu kekuatan penyerap makanan, kekuatan pertumbuhan dan kekuatan untuk berkembang biak. Kedua, Jiwa binatang, yaitu jiwa yang berfungsi untuk melengkapi kesempurnaan bagi seluruh manusia dan dengan jiwa ini ia dapat bergerak dan berfikir. Jiwa binatang ini menurutnya memiliki dua kekuatan yaitu kekuatan gerak dan kekuatan berfikir. Kekuatan gerak juga memiliki dua macam yakni gerak pendorong untuk memberikan motivasi dan melaksanakannya dan kedua adalah gerak berdasarkan kekuatan emosional, yaitu kekuatan yang membangkitkan keinginan untuk mencapai sesuatu yang di khayalkan atau kekuatan untuk menghindari sesuatu yang berbahaya. Sedangkan jiwa ketiga adalah jiwa kemanusiaan, yaitu jiwa kesempurnaan manusia yang dapat berbuat dan di dorong oleh akalnya, meneliti, membanding dan mengambil kesimpulan. Dan dengan jiwa itu pula ia dapat menemukan suatu pemikiran atau ide yang hanya dapat ditemui akal. Jiwa berpikir manusia menurutnya dapat dibagi menjadi kekuatan mengetahui dan kekuatan untuk berbuat.[22]
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia bersifat abadi setelah diciptakan. Ia menyebutkan bahwa jiwa termasuk ciptaan yang sama dengan tubuh, namun ia tetap ada sekalipun tubuhnya musnah.[23]

3.    Studi Kritis terhadap Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
Berdasarkan uraian tentang pemikiran Ibnu Sina yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa catatan kritis yang dapat diungkapkan di antaranya:
     Pandangan Ibnu Sina mengenai proses kejadian alam semesta yang disebutkan berdasarkan teori emanasi sebagaimana Al-Farabi, menunjukkan ketidak jelasan tentang definisi akal berikut batasan-batasannya. Hingga apa yang digagas sesungguhnya merupakan hal yang berada diluar penalaran. Ketidak jelasan pengertian akal disini juga nampak ketika ia menyebutkan bahwa kekuatan pikir manusia adalah termasuk bagian dari jiwa kemanusiaan. Padahal jika kita amati berdasarkan metode penginderaan, akal manusia baru berfungsi jika memenuhi empat komponen yaitu otak, panca indera, fakta terindera / kesan fakta dan juga informasi sebelumnya yang berguna untuk mengidentifikasi fakta yang di amati. Dari komponen akal tersebut ternyata melibatkan factor lain diluar tubuh manusia berupa sesuatu yang yang bersifat materi, demikian juga halnya otak yang berupa materi yang melekat dalam diri manusia. Sementara Ibnu Sina mengungkapkan bahwa jiwa bukan materi dan sekaligus tidak melekat pada materi.
Sedangkan gagasannya mengenai macam-macam jiwa yang disebutkan menjadi tiga macam yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa kebinatangan dan jiwa kemanusiaan. Ia menyebutkan bahwa kekuatan penggerak dalam diri manusia untuk menginginkan sesuatu atau menghindar dari sesuatu yang berbahaya adalah bagian dari jiwa kebinatangan. Menurut hemat penulis, gagasan tersebut adalah ketidak jelasan dalam memahami potensi kehidupan manusia. Hal ini diakibatkan karena ia membangun pemikirannya tidak didasarkan pada pemikiran rasional dengan komponen-komponen yang disebutkan oleh penulis sebelumnya. Namun di dasarkan pada gagasan spekulatif karena keterpengaruhannya dengan filsafat Yunani.
Potensi kehidupan manusia yang menyebabkan manusia bergerak dan melakukan tindakan menurut Muhammad Muhammad Ismail adalah terdiri dari dua macam, pertama adalah kebutuhan jasmani dan kedua adalah kebutuhan naluri. Kebutuhan jasmani mendorong manusia melakukan tindakan untuk memenuhinya seperti makan, minum dan lain sebagainya. Kebutuhan jasmani ini tuntutannya bersifat pasti, karena jika tidak terpenuhi bisa mengakibatkan kematian atau kerusakan tubuh. Sedangkan potensi kebutuhan naluri yang ada manusia mendorongnya untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka memenuhi tuntutannya, kendati pada kebutuhan naluri ini, tuntutannya tidak bersifat pasti karena jika tidak terpenuhi tidak sampai mengakibatkan kematian sebagaimana kebutuhan jasmani. Namun hanya mengakibatkan kegelisahan dan kegundahan.[24] Kebutuhan naluri ini semisal naluri beragama yang mendorong manusia melakukan penyembahan terhadap z}at yang dianggap dapat melindungi dirinya. Atau naluri mempertahankan diri semisal perasaan berani, takut, ingin dihargai atau dihormati, keinginan berkuasa dan lain sebagainya. Atau juga naluri melestarikan jenis semisal kecenderungan kepada lawan jenis, perasaan cinta sesama dan lain sebagainya.
Sedangkan apa yang digagas oleh Ibnu sina bahwa yang menggerakkan manusia untuk berbuat adalah jiwa kebinatangan yang ada pada manusia adalah sesuatu yang abstrak dan tidak dapat di amati keberadaannya, disamping itu jiwa atau nafs yang sebagiannya disebutkan di dalam Alqur’an belum ada keterangan yang pasti mengenai pengertiannya karena maknanya bersifat mushtarok. Ada juga yang mengatakan bahwa jiwa yang dimaksud dalam Al-Qur’an adalah ruh, dimana hakekat dan maknanya juga masih samar, ruh ada yang bermakna wahyu,[25] ada yang bermakna malaikat Jibril,[26] dan ada yang bermakna rahasia kehidupan (nyawa)[27]
Pandangan Ibnu Sina tentang keabadian jiwa setelah diciptakan juga merupakan gagasan imajinatif yang tidak dapat dibuktikan. Dan hal itu bertentangan dengan informasi yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an  bahwa segala sesuatu selain Allah adalah pasti binasa dan hancur.[28]

E.  KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah mengenai pemikiran tiga filosof muslim yaitu Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Al-Kindi adalah seorang filosof muslim yang berasal dari arab, ia merupakan orang pertama yang membuka jalan masuknya filsafat Yunani kedalam dunia Islam. Gagasannya diantaranya menyangkut integrasi agama dengan filsafat, Pembuktian tentang keberadaan wujud Tuhan melalui tiga argumentasi yaitu baharunya alam semesta, keanekaragaman wujud dan keteraturan alam.
2.    Al-Farabi merupakan seorang filosof muslim yang hidup setelah al-Kindi dan telah berhasil membentuk system filsafat secara memadai hingga ia mendapat julukan sebagai guru kedua setelah julukan guru pertama bagi Aristoteles. Gagasannya mengenai bidang filsafat di bidang metafisika adalah mashhur  dengan teori emanasinya terkait dengan proses penciptaan alam semesta. Yaitu alam semesta bersifat Qadim karena wujudnya terpancar dari wujud yang pertama yang bersifat wa>jib al-wuju>d.
3.    Ibnu Sina adalah seorang filosof muslim yang hidup setelah Al-Farabi. Oleh karena itu gagasannya tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, ia juga mengungkapkan proses kejadian alam semesta melalui teori urut-urutan wujud atau emanasi. Ibnu Sina juga berpandangan bahwa jiwa manusia bersifat kekal dan abadi setelah diciptakan.












DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muh.Husein. Mafa>him Isla>miyah ; Menajamkan Pemahaman Islam, terj: M.Romli,  ( Bangil, Al-Izzah, 2003)

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996),
An-Nabhani, Taqiyuddin. Hakekat Berfikir, terj: Taqiyuddin As-Siba’I, ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2006)
Ash-Shahrastani, Al-Mila>l wa al-Niha>l; Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, terj; Asywadie Syukur, ( Surabaya, Bina Ilmu, t.t)
As-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, terj; Sonif,dkk. ( Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2011)

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama, (Jakarta, Logos, 1997)
Maghfur W, Muhammad. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil, Al-Izzah, 2002),
Muhammad Isma’il, Muhammad. Al-Fikr al Isla>mi, (Beirut, Maktabah al-Wa’yi, 1958)



[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), 73
[2] Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil, Al-Izzah, 2002), 66
[3] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 74
[4] Raghib As-Sirjani, Sunbangan Peradaban Islam Pada Dunia, terj; Sonif,dkk. ( Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2011), 373
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,  60
[6] Ibid, 61
[7] Ibid, 77-78
[8] Ibid, 78
[9] Akal hanya berfungsi ketika memenuhi empat komponen yaitu 1. Fakta terindera, 2.Panca indera sebagai alat penginderaan, 3. Otak yang sehat dan normal, 4. Informasi sebelumnya mengenai fakta yang di amati. Lihat Moh.Husein Abdullah, Mafa>him Isla>miyah ; Menajamkan Pemahaman Islam, terj: M.Romli, ( Bangil, Al-Izzah, 2003), 29-33. Bukti tentang batasan akal sesungguhnya telah dibuktikan dalam kisah nabi Adam ketika ia tidak mengetahui atau tidak bisa mengidentifikasi benda-benda. kemudian Allah memberitahukan nama benda-benda tersebut kepada nabi Adam, lihat QS:Al-Baqarah : 31-32. Dan bukti bahwa keberadaan Tuhan dapat dijangkau oleh akal manusia adalah kisah Nabi Ibrahim ketika ia memperhatikan keterbatasan benda-benda langit sebagai bagian dari alam semesta dengan kesimpulan bahwa di balik itu semua pasti ada sang pencipta yang telah menciptakannya. Namun akal hanya mampu menjangkau keberadaannya, bukan pada kualitas z}atnya.
[10] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 81
[11] Ibid, 82
[12] Ibid, 82
[13] Ibid, 90
[14] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta, Logos, 1997), 171
[15] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 92-94.
[16] Dalam pembahasan logika, jika berbagai premisnya yang mengandung berbagai pemikiran yang akan dihubungkan dengan premis lainnya benar maka kesimpulannya juga benar. Namun jika premis yang digunakannya tidak benar maka kesimpulannya juga tidak benar. Dan syarat bagi premis-premis yang digunakan haruslah sesuatu yang bisa diamati secara inderawi. Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Hakekat Berfikir, terj: Taqiyuddin As-Siba’I, ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2006), 55
[17] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 115-116
[18] Ibid, 117
[19] Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan, 75
[20] Ibnu Sina menjelaskan bahwa Zat yang wa>jib bi z}a>tihi bersifat esa, sedangkan wujud yang mumkin bi za>tihi bersifat berbilang atau beraneka ragam, Lihat Ash-Shahrastani, Al-Mila>l wa al-Niha>l; Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, terj; Asywadie Syukur, ( Surabaya, Bina Ilmu, t.t) Buku ke-2, 157
[21] Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan, 76
[22] Ash-Shahrastani, Al-Mila>l wa al-Niha>l…, Buku ke-2, 198-201
[23] Ibid, 203
[24] Muhammad Muhammad Isma’il, Al-Fikr al Isla>mi, (Beirut, Maktabah al-Wa’yi, 1958), 12
[25] Lihat QS; An-Nahl : 2
[26] Lihat QS; Ash-Shu’ara>’: 193
[27] Lihat QS; Al-Isra>’: 85
[28] Lihat QS; Al-Qasa>s: 88

Komentar

Postingan Populer