SEJARAH PEMIKIRAN FILSAFAT; AL-KINDI, AL-FARABI DAN IBNU SINA
Oleh: Rifqi
A. PENDAHULUAN
Salah
satu unsur terpenting dalam diri manusia adalah karena ia di anugerahi potensi
akal yang dapat berfikir dan memecahkan masalah-masalah kehidupannya. Dan sudah
tercatat dalam sejarah, sebuah peradaban yang pernah tampil di atas pentas
kehidupan selalu ditandai dari meningkatnya taraf berfikir. Perubahan besar
yang dialami seluruh kawasan dunia eropa dan negara-negara barat lainnya dari
cengkeraman abad pertengahan menuju era kebangkitannya atau yang lebih popular
dengan masa renaissance adalah disebabkan karena bangkitnya para pemikir
dan filosof untuk menentang kejumudan berfikir akibat legitimasi doktrinal
kalangan gereja dan penguasa-penguasa dzalim yang mengatas namakan agama demi
kekuasaan dan penindasan terhadap rakyat. Hasil pergulatan antara pemikiran
kebangkitan yang dipimpin oleh para pemikir dan filosof dengan para penguasa
dan kalangan gereja tentu telah melahirkan perubahan mendasar dalam kesejarahan
masyarakat eropa. Dan satu hal yang pasti bahwa setiap pemikiran yang memiliki
metode untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan selalu meraih kemenangan
kendati pada permulaannya dilalui dengan pengorbanan yang sengit dan jalanan
yang terjal. Demikian pula yang terjadi pada pertumbuhan dan peradaban Islam,
ia lahir dari jepitan budaya barbar yang tidak memiliki peradaban apapun, tidak
terekam sama sekali oleh sejarah bahwa masyarakat yang melahirkan peradaban
besar tersebut sebelumnya memiliki prestasi berfikir yang patut dibanggakan dan
dapat di analisa menjadi embrio kelahiran dan benih-benih kemunculan peradaban
Islam. Masyarakat Jahiliyah sebelum Islam datang adalah masyarakat pedalaman
yang dikurung oleh sifat egoisme cultural, pertentangan suku serta kebanggaan
terhadap nenek moyang Kedatangan Rasulullah SAW dengan membawa Risalah yang
agung adalah jelas merupakan satu hal baru bagi masyarakat jahiliyah, oleh
karena itu mereka semula menentang mati-matian. Yang pada gilirannya Islam
mampu memberikan pencerahan pemikiran terhadap mereka sehingga Arab lalu
berhasil keluar dari kejumudan berfikir dan tampil sebagai masyarakat dengan
peradaban yang bisa menantang kepongahan dua adidaya besar yaitu Romawi dan
Persia.
Fakta
ini mengungkapkan satu rahasia terbesar yang patut direnungkan dan dikaji
secara filosofis bahwa pemikiran adalah hal terpenting bagi jatuh bangunnya
sebuah peradaban. Melalui aktifitas berfikir ini sebuah masyarakat akan
mengalami kemajuan dan kebangkitannya, sekaligus melalui pola berfikir pulalah
sebuah masyarakat justru merosot tajam dan terhempas dalam keterpurukannya.
Berdasarkan kajian secara kritis, maka penulis sengaja mengetengahkan corak
pemikiran para filosof Islam, terutama Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibn Sina. Apakah
pemikiran filsafat mereka telah memberikan kontribusi besar bagi terwujudnya
peradaban Islam gemilang dan menjadi sebab bagi kemajuan-kemajuan yang diraih?
Atau eksistensi pemikiran mereka adalah akibat dari derasnya pemikiran sebagai
kelanjutan dari metode berfikir khas Islam, atau malah justru menambah
kerumitan dan problema tersendiri bagi keberlangsungan peradaban ini.
B. SEJARAH PEMIKIRAN AL-KINDI
1.
Biografi
dan Karyanya
Al-Kindi
merupakan salah satu filosof yang merupakan keturunan Arab asli. ia bernama Abu
Yusuf bin Ishak. Silsilah nasabnya sampai kepada Ya’rub bin Qahthan, yaitu
nenek pertama dari suku Arabia Selatan. Ayahnya Al-Kindi pernah menjadi wali di
wilayah kufah pada saat pemerintahan al-Mahdi dan Harun Al-Rashid. Sedangkan
nenek-neneknya adalah para penguasa di daerah Kindah dan sekitarnya yaitu
daerah Arabia Selatan.[1]
Al-kindi
mendapatkan kedudukan yang istimewa pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dan al-Mu’tas}im. Bahkan disebutkan ia menjadi
guru dari anak al-Mu’tas}im yaitu Ahnad. Al-Kindi mengalami proses kemajuan
berfikir dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Mendalamnya
pengetahuan al-Kindi nampak dalam karyanya yang meliputi berbagai bidang antara
lain: logika, filsafat, geometri, matematika, aritmatika, musik, astronomi dan
lain-lain. Seluruh karyanya dicatat oleh Ibn Nadim sebanyak 241 topik. Dalam
bidang logika ada 20 topik, filsafat 22 topik, geometri 23 topik, matematika 13
topik, aritmatika 5 topik, musik 7 topik, astronomi dan perbintangan 45 topik,
geologi 8 topik, medis 22 topik, diskusi 17 topik, psikologi 5 topik, politik
12 topik, dimensi 8 topik, sebab-sebab wujud keduniaan (ahdathiyah) 14 topik
dan lain-lain sebanyak 33 topik.[2]
Namun dari sekian banyak karya al-Kindi
tersebut telah banyak yang hilang dan musnah dan hanya sedikit yang ada hingga
sekarang. Di antara karya-karyanya yang terkenal di temukan oleh seorang
orientalis berkebangsaan Jerman yaitu Hillmuth Ritter di perpustakaan Aya Sofia di Istambul dan
terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah tersebut membahas tentang soal-soal
alam dan filsafat, antara lain masalah ke esaan Tuhan, akal, jiwa dan filsafat
pertama.
Di antara unsur-unsur filsafat yang
terdapat pada pemikiran al-Kindi adalah sebagai berikut:
a.
Aliran pythagoras tentang matematika sebagai jalan menuju
filsafat
b.
Pikiran-pikiran Aristoteles mengenai masalah fisika dan
metafisika, meskipun al-kindi tidak sepakat dengan pendapat Aristoteles tentang
qadi>m nya alam
c.
Pikiran-pikiran Plato mengenai masalah kejiwaan
d.
Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles mengenai masalah etika
e.
Wahyu dan Iman (ajaran-ajaran agama) menyangkut soal-soal
yang berkaitan dengan Tuhan dan sifat-sifatnya.
f.
Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam
menakwilkan ayat-ayat Al-qur’an.[3]
Selain bidang filsafat, Al-Kindi juga
memperhatikan ilmu falak. Ia menulis buku tentang masalah masalah kedokteran
dan obat-obatan. Sebagian kaum orientalis memilih al-Kindi sebagai satu di
antara sepuluh orang yang mempunyai predikat sebagai puncak pemikir manusia.[4]
2.
Pandangan
tentang Integrasi Agama dengan Filsafat
Di
tengah pertentangan antara kelompok agamawan yang anti filsafat dengan para
filosof mengenai masalah keagamaan, maka al-Kindi berupaya memberikan gambaran
menyangkut persinggungan antara filsafat dengan agama. Menurutnya bahwa
filsafat adalah sebuah ilmu untuk menemukan kebenaran sebagaimana agama juga
ilmu tentang kebenaran. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara keduanya.
Pandangannya mengenai kesanggupan akal manusia di dalam menemukan
rahasia-rahasia apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah jelas merupakan
pengaruh pemikiran Mu’tazilah. Ilmu filsafat pertama yang mencakup masalah
ketuhanan, ke esaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang menjelaskan bagaimana memperoleh
hal-hal yang bermanfaat dan menjauhkan dari hal-hal yang merugikan juga dibawa
oleh para Rasul Tuhan.
Menurut
al-Kindi kita harus mengambil kebenaran darimanapun kita memperolehnya
sekalipun dari bangsa-bangsa yang mungkin amat jauh dari negeri kita. Orang
yang berupaya mencari kebenaran tidaklah lebih utama dari kebenaran itu
sendiri. Bahkan ia menyebutkan bahwa orang yang mengingkari filsafat adalah
orang yang mengingkari kebenaran. Para penentang filsafat juga menggunakan
rumusan-rumusan filsafat ketika mereka memperkuat argumentasinya tentang tidak
perlunya filsafat.[5]
Gagasan
Al-Kindi untuk mempertemukan hubungan agama dengan filsafat juga nampak dari
penjelasannya ketika misalnya secara lahiriyah ada kontradiksi antara ayat di
dalam Alqur’an dengan hasil rumusan filsafat maka yang mesti dilakukan adalah
takwil, karena karakter kebahasaan dalam bahasa arab memiliki dua arti yaitu
arti yang sebenarnya dan arti majazi (arti kiasan). Penarikan makna dari
arti kiasan ini tentu harus dilakukan dengan jalan takwil, dengan syarat harus
dilakukan oleh orang-orang yang ahli agama sekaligus sebagai seorang pemikir.
Kendatipun misalnya ada pertentangan antara risalah yang dibawa oleh nabi
dengan hasil filsafat, maka perbedaan tersebut hanya mengenai cara, sumber dan ciri-cirinya,
karena ilmu nabi-nabi diterima oleh mereka setelah jiwanya dibersihkan oleh
Tuhan dan dipersiapkan menerima pengetahuan dengan cara yang luar biasa di luar
hukum alam. Namun para filosof haruslah berupaya mencari kebenaran itu dengan
sungguh-sungguh dengan cara mengikuti pendapat orang-orang sebelumnya dan menguraikan
dengan sebaik-baiknya.[6]
3.
Konsepnya
tentang Filsafat Metafisika
Mengenai
pembahasan
tentang masalah di wilayah metafisika, Al-Kindi juga memberikan kontribusi
pemikirannya yang tercatat dalam beberapa risalahnya, di antaranya “tentang
filsafat pertama” dan “tentang keesan Tuhan dan berakhirnya benda-benda alam”.
Terkait dengan ini Al-Kindi mengemukakan pendapatnya mengenai seputar hakikat
Tuhan, bukti-bukti wujud Tuhan dan sifat-sifatNya.
Tentang
hakikat Tuhan ia menyatakan bahwa Tuhan tidak ada permulaan yang menyebabkan ia
ada. Tuhan akan selalu ada dan tidak berakhir, serta menjadi sebab bagi
keberadaan wujud yang lain. Kemudian dalam rangka membuktikan keberadaan Tuhan
ia membangun argumentasinya melalui tiga hal. Pertama, baharunya alam, kedua,
Keaneka ragaman dalam wujud dan ketiga, menyangkut keteraturan alam.
Langkah
pertama ketika membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi baharunya alam ia
mengemukakan pendapatnya melalui satu argumentasi bahwa sesuatu tidak mungkin menjadi
sebab bagi wujud dirinya. Dengan demikian alam semesta ini bersifat baharu dan
mempunyai permulaan waktu, sekaligus juga bersifat terbatas. Berdasarkan
argumentasi ini ia menegaskan bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan alam
semesta dari tidak ada menjadi ada.
Sedangkan
argumentasi kedua mengenai keaneka ragaman dalam wujud, Al-kindi membuktikan
keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa alam ini baik yang bersifat inderawi
maupun alam lain yang menyamainya, tidak mungkin ada ke anekaragaman tanpa ada
keseragaman, atau sebaliknya ada keseragaman tanpa ada keanekaragaman. Jika
alam inderawi tergabung dalam keanekaragaman dengan keseragaman secara bersama-sama,
maka hal itu bukan disebabkan karena kebetulan namun karena adanya sesuatu yang
menjadi sebab. Namun sebab tersebut tentu bukan dari alam itu sendiri, karena
jika demikian maka tidak akan ada ujung pangkalnya dan tidak akan pernah
berakhir dan itu adalah mustahil terjadi. Oleh karena itu, sebab tersebut
haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dahulu
adanya. Karena sebab harus ada sebelum efek atau akibatnya.
Mengenai
pembuktian wujud Tuhan melalui argumentasi keteraturan alam, Al-Kindi
mengungkapkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi
dan teratur kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Sedangkan zat yang
tidak nampak tersebut hanya bias diketahui keberadaannya melalui bekas-bekas Nya
dan keteraturan yang ada di alam semesta ini. Langkah argumentasi ini dikenal
dengan sebutan “illat tujuan”.[7]
Kemudian
pandangan al-Kindi mengenai sifat-sifat Tuhan, ia mengemukakan pendapatnya bahwa
ke esaan Tuhan sebagai salah satu sifatnya dapat dibuktikan bahwa Tuhan
bukanlah materi, bukan bentuk, tidak mempunyai kuantitas dan juga mempunyai
kualitas. Ia tidak memiliki hubungan ketergantungan dengan yang lain, semisal
sebagai ayah atau sebagai anak. Tidak bisa di sifati dengan apa yang ada dalam
pikiran. Ia bukan genus, bukan differentia (fas}l), bukan proprium (Khas}s}ah),
bukan accident (‘arad}), tidak bertubuh dan tidak bergerak. Oleh sebab
itu menurut al-Kindi Tuhan hanya bersifat Esa saja. tidak ada hal lain kecuali
esa semata.
Oleh sebab itu pula, Tuhan bersifat
azali, yaitu zat yang sama sekali tidak ada permulaannya. Keberadaannya tidak
tergantung pada yang lain atau tidak berkaitan dengan sebab. Dengan demikian ia
bukanlah subyek atau predikat. Kesimpulannya Tuhan adalah sebab pertama dimana
wujudnya bukan karena adanya sebab yang lain. Menurut Al-Kindi sifat azali
Tuhan juga menuntut ia tidak bergerak karena dalam gerak memungkinkan adanya
pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna. Karena zat yang
azali itu tidak bergerak maka zaman atau waktu tidak berlaku padaNya. karena
zaman merupakan bagian dari bilangan gerak. Namun menurut al-Kindi Tuhan memiliki
pekerjaan khusus yang disebut dengan “ibda” yaitu menjadikan sesuatu dari yang sebelumnya
tidak ada menjadi ada, namun tidak mengandung pengertian bahwa ia mempunyai
perasaan atau menerima pengaruh.[8]
4.
Studi
Kritis tehadap Pemikiran Filsafat Al-kindi
Sejarah
filsafat yang berkembang di dunia Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
aliran kalam di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan
Abbasiyah. Al-Kindi merupakan filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah
Al-Ma’mun dan Al-Mu’tas}im,
dimana pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat
wajar jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari
rumusan logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir.
Namun al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat
daripada sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh
karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan
atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir
muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai
pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi
titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam.
Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi
mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang
digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui
metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan
keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk
membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya. Misalnya
dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan
makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk.
Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya. Berdasarkan
logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa keanekaragaman
mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin terjadi karena
kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia maksud adalah
Tuhan.
Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya
bisa berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera
ataupun melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya.[9]
Pada hal-hal yang tidak dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada
informasi pasti yang membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar
jangkauan akal. Apa yang di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan
bukti baharunya alam memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap
manusia. Sebagaimana argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran
unta jika tidak ada untanya. Namun
ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba membahas subtansi z}at
Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak dengan alasan bahwa
gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak sama dengan
makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan demikian
berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan pengamatan inderawi dan
juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut. Oleh karena
itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari pemikiran berdasarkan akal
dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya sekedar spekulasi atau
imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai justifikasinya.
C. SEJARAH PEMIKIRAN AL-FARABI
1.
Biografi
dan Karyanya
Nama
Al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan. Sebutan Al-Farabi
di ambil dari nama kota dimana ia dilahirkan yaitu kota Farab. Ia lahir pada
tahun 257 H / 870 M. Ayahnya berasal dari Iran (Persia) dan menikah dengan
seorang wanita Turkestan. Oleh karena itu ia biasa disebut sebagai orang Persia.
Sejak
kecil ia sudah suka belajar dan mempunyai kecakapan dalam bidang bahasa. Bahasa
yang di kuasainya antara lain adalah bahasa-bahasa Iran, Turkestan dan
Kurdistan. Setelah besar Al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad
sebagai pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada saat itu. Selama di
Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Pada saat pertama
tinggal di Baghdad ia tidak banyak menguasai Bahasa Arab. Akhirnya ia belajar
ilmu nahwu pada Abu Bakar as-Sarraj, sebagai imbalan terhadap pelajaran logika
yang ia ajarkan kepadanya. Setelah itu ia pindah ke Harran, salah satu pusat
kebudayaan Yunani di Asia kecil. Disana ia berguru kepada Yuhanna bin Jilan.
Namun tidak lama ia kembali lagi ke Baghdad untuk mendalami ilmu filsafat
setelah ia sudah menguasai ilmu mantik (logika). Selama 30 tahun ia tinggal di
Baghdad dan memaksimalkan waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran dan
mengulas buku-buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu antara lain
adalah Yahya bin Ady. Kemudian setelah itu ia pindah ke Damaskus pada tahun 330
H / 941 M. disini ia mendapatkan kedudukan istimewa dari Saifuddaulah, seorang
penguasa dinasti Hamdan di Halab (daerah Aleppo). Ia menetap di kota Damaskus
hingga wafatnya pada tahun 337 H / 950 M pada usia 80 tahun.[10]
Dalam
bidang fisafat, Al-farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi
dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat yang lebih
tinggi hingga seorang orientalis berkebangsaan Perancis, Massignon menyebutkan
bahwa ia adalah seorang filosof muslim yang pertama dengan arti yang
sesungguhnya. Kendati sebelum Al-farabi sudah ada Al-Kindi sebagai orang yang
pertama membuka penetrasi ilmu filsafat di dunia Islam, namun masih belum
terbentuk sebagai satu disiplin keilmuan khas. Sebaliknya Al-Farabi dianggap
sebagai orang yang menekuni bidang filsafat dan berhasil membentuk system
filsafat yang lengkap dan cukup memainkan peranan penting dalam dunia islam di
bidang filsafat. Para filosof sesudahnya adalah para muridnya, diantaranya
adalah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan filosof-filosof lainnya. Oleh karena itu ia
disebut sebagai guru kedua setelah Aristoteles yang dianggap guru pertama dalam
bidang filsafat.[11]
Karya
al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan
mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam
arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada
keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut
logika. Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan
bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula
sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa.
Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus
dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum
kebenaran itu diambil oleh para Nabi.
Karya
al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya
Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang.
Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagain besar naskah-naskah ini
belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang
pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang
dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan system pemikiran Hellenik
berdasarkan Plato dan Aristoteles. Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal
adalah :
1.
Aghradhu ma Ba’da al-Ta}bi’ah
2.
Al-Jam’u bain Ra’y al-Hakimain
3.
Tahs}il al-Sa’a>dah
4.
‘U’yu>n al-Masa>’il
5.
Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
6.
Ihs}}a’ al-‘Ulu>m[12]
2.
Pandangannya
tentang Metafisika
Mengenai pemikiran Al-Farabi di bidang metafisika,
penulis hanya membatasi dalam hal-hal yang terkait dengan pemikiran Islam
diantaranya menyangkut masalah wujud Tuhan dan sifat-sifatnya, masalah teori
emanasi yang membicarakan proses penciptaan alam semesta, dan lain-lain.
Sebelum
membahas mengenai tentang wujud Tuhan, al-Farabi membuat kerangka pemikiran
mengenai wujud, ia membaginya menjadi dua bagian:
1. Wujud
yang mumkin,
yaitu wujud yang ada karena ada sebab lainnya, seperti adanya cahaya matahari
karena sebab adanya matahari. Cahaya tersebut bisa ada atau tidak ada. Oleh
karena itu ia disebut sebagai wujud yang mumkin. Keberadaannya
bergantung pada wujud yang lain. Adanya wujud yang mumkin tersebut
menjadi bukti adanya wujud yang menjadi sebab pertama yakni Tuhan. Karena
segala yang mumkin harus berakhir pada wujud yang nyata dan pertama kali
ada. Wujud pertama menjadi sebab adanya wujud lainnya, karena wujud yang mumkin
tersebut tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri.
2. Wujud yang wajib adanya (wa>jib
al-wuju>d ) yaitu wujud yang ada bukan karena sebab lainnya melainkan
karena dirinya sendiri. Ia adalah sebab pertama bagi wujud-wujud lainnya.
Dengan demikian keberadaannya menjadi wajib adanya, dan wujud yang pertama ini
adalah Tuhan (Allah).[13]
Menurutnya, wujud yang sempurna dan paling awal mau tidak mau harus berwujud.
Sebab esensi dan wujud-Nya tidak mungkin tidak ada sebagaimana yang tidak eksis
juga tidak memiliki wujud. Sebab itu menurut Al-Farabi, zat yang sempurna
adalah mustahil tidak ada dari segala aspek. Bahkan dia adalah qadi>m, abadi
dan otonom.[14]
Berdasarkan
kerangka berfikir di atas, Al-farabi membahas masalah wujud ketuhanan berikut
sifat-sifatNya. Sekaligus membicarakan masalah kejadian alam semesta dengan
teori emanasi.
Mengenai hakikat Allah ia menyatakan
bahwa ia adalah wujud yang sempurna yang ada tanpa perantara atau sebab
lainnya. Karena kalau ada faktor lain yang menjadi sebab keberadaannya maka ia
tidak lagi menjadi sempurna. Ia menjadi sebab pertama yang tidak memiliki
permulaan dan akan selalu ada. Namun menurut Al-farabi, wujud-Nya tidak terdiri
dari materi atau benda dan juga bukan terdiri dari bentuk. Karena gabungan
keduanya ada pada makhluk. Sedangkan Tuhan mesti berbeda dengan makhluknya.
Kemudian mengenai sifat Tuhan Al-farabi
mengungkapkan gagasannya dengan menyatakan bahwa sifat Tuhan tidak berbeda
dengan z}atNya. Tuhan bersifat tunggal dan merupakan akal murni, karena ia
tidak menempati ruang dan waktu yang menyebabkan keberadaannya. Jika sesuatu
wujud itu tidak butuh dan tidak tergantung pada benda maka ia akan menjadi akal
(pikiran) yang sesungguhnya. Demikianlah penjelasan Al-Farabi mengenai keadaan
wujud yang pertama (Tuhan). Menurutnya zat Tuhan adalah obyek pemikiran tuhan
sendiri sekaligus sebagai subyek dengan sendirinya. Ia tidak membutuhkan hal
lain dalam memikirkan zatnya sendiri. Dengan kata lain, Tuhan adalah ‘aqal,
‘a>qil dan ma’qu>l sekaligus.
Demikian juga Al-Farabi berpendapat
bahwa ilmu Tuhan adalah sama dengan zatnya. Tuhan adalah zat yang maha
mengetahui (‘alim ) sekaligus zat menjadi obyek pengetahuannya. Atau
dengan kata lain Tuhan adalah Ilmu yang mengetahui dan sekaligus menjadi obyek
ilmu-Nya.
Berdasarkan paparan di atas, Al-farabi
memiliki pandangan tentang kesatuan zat dengan sifat Tuhan sebagaimana pandangan
kalangan Mu’tazilah. Dan pandangannya tentang obyek pemikiran atau ilmu adalah
terletak pada zatnya sesungguhnya menurut Ahmad Hanafi merupakan pendapat yang
di ambil dari pandangan Aristoteles. Pendapat tersebut didasarkan kepada satu
anggapan bahwa alam semesta terlalu rendah derajatnya jika harus menjadi obyek
pemikiran Tuhan. Tuhan hanya memikirkan z}atnya yang menjadi sebab bagi wujud
alam ini.
Kemudian berdasarkan teori tentang
kesatuan zat dengan sifat, ia memulai gagasannya tentang wujudnya alam semesta.
Ia beranggapan bahwa alam semesta atau makhluk yang merupakan wujud yang mumkin
adalah sesuatu yang keluar dari wujud yang wajib adanya (Tuhan). Gagasan
seperti ini disebut dengan teori emanasi atau teori urut-urutan wujud. Tuhan
cukup berfikir tentang zatnya maka keluarlah dariNya wujud alam semesta
sebagaimana keluarnya cahaya dari Matahari.[15]
3.
Studi
Kritis terhadap Pemikiran Filsafat Al-Farabi
Sebagaimana
penulis ungkapkan pada bagian sebelumnya, bahwa pemikiran manusia mesti
terbatas pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh pengamatan, ataupun
ketiadaan informasi yang menguraikannya, maka apa yang dilakukan oleh Al-farabi
juga demikian halnya, Ia hanya berupaya memperkuat hasil imajinasinya dengan
logika-logika[16]
yang dirumuskan. Dan sesungguhnya yang demikian bukanlah bagian dari
kreatifitas berfikir, namun khayalan yang diformat hingga nampak terkesan
rasional. Semisal ketika ia berpendapat tentang kesatuan zat dan sifat Tuhan.
Padahal wilayah itu merupakan wilayah yang tidak bisa di amati dan memang tidak
ada satupun informasi mengenai hal tersebut yang termaktub dalam kitab suci.
Pendapatnya
tentang teori emanasi mengenai wujud alam semesta yang disebutkan terpancar atau
keluar dari wujud Tuhan sebagaimana layaknya sinar matahari terpancar dari
mataharinya, sungguh merupakan pandangan khayali yang justru
bertentangan dengan keterangan nash Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa alam
semesta diciptakan oleh Allah dari ketiadaan menjadi ada. Al-Farabi maupun para
filosof lainnya seperti Al-Kindi tidak bisa membedakan antara wilayah yang bisa
dijangkau oleh akal manusia dengan yang tidak bisa dijangkau oleh akal.
Sesungguhnya
menyangkut masalah metafisika yang memang berada diluar penginderaan manusia adalah
sesuatu yang berada diluar jangkauan akal karena faktanya tidak bisa di indera.
Namun ada hal-hal metafisis yang diberitahukan oleh Allah melalui sumber
informasi yang pasti semisal Al-Qur’an, seperti adanya surga, neraka, hari
kiamat, hari pembalasan dan sebagainya. Maka hal demikian hanya dapat diterima
sesuai dengan informasi yang ada, setelah sebelumnya kita sudah membuktikan
kekuatan dan kepastian informasi yang menjelaskannya sesuai dengan metode
berfikir rasional. Namun sebaliknya, masalah metafisika yang tidak ada
informasi sedikitpun tentang eksistensinya seperti kesatuan zat Tuhan dan
sifat-Nya, menyangkut wujud Tuhan yang bukan materi atau bentuk, maka hal
demikian tidak dapat dibahas oleh akal kecuali hanya berputar-putar dalam
rumusan proposisi logikanya.
D. SEJARAH PEMIKIRAN IBNU SINA
1.
Biografi
dan Karyanya
Ibnu
Sina lahir pada tahun 340 H / 980 M, di suatu daerah bernama Afsyana, di
wilayah Bukhara. Sejak berumur sepuluh tahun ia sudah menhafal Al-Qur’an,
belajar ilmu-ilmu agama dan astronomi. Kemudian ia belajar matematika, fisika,
logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada
seorang yang beragama Kristen bernama Isa bin Yahya.
Belum
lebih dari umur enam belas tahun, Ibnu Sina sudah terkenal kemahirannya dalam
ilmu kedokteran, bukan hanya dalam konsep masalah kedokteran, namun ia juga
piawai dalam mengobati orang-orang yang sakit. Sebagai bukti dari
kepiawaiannya, suatu ketika ketika usianya mencapai tujuh belas tahun, Nuh bin
Mansur, penguasa daerah Bukhara menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan
oleh para dokter pada masanya, namun setelah Ibnu Sina mengobatinya ia menjadi
sembuh. Akibat dari semua itu Ibnu Sina mendapat sambutan yang baik sekali dan
mendapatkan kesempatan mengunjungi perpustakaannya yang penuh dengan buku-buku
yang sulit didapat.
Setelah
berumur dua puluh tahun, ayahnya meninggal dunia, lalu ia meninggalkan Bukhara
menuju daerah Jurjan, dan dari sini ia pergi menuju Khawarazm. di wilayah
Jurjan ia mengarang dan mengajar, namun di daerah ini ia tidak tinggal lama
disebabkan terjadinya kekacauan politik. Setelah itu ia berpindah pindah dari
satu negeri ke negeri lainnya hingga akhirnya ia sampai di daerah Hamadzan.
Hingga pada tahun 428 H / 1037 M, ia meninggal di daerah Hamadzan pada usia 58
tahun.[17]
Sebelum
meninggal dunia, Ibnu Sina banyak meninggalkan karya-karya di antaranya:
1.
Ash-Shifa, sebuah buku filsafat yang terbesar dan terpenting dari Ibnu
Sina yang terdiri dari empat bagian yaitu logika, fisika, matematika dan
metafisika.
2.
An-Najat, buku ringkasan dari buku ash-shifa, dan pernah
diterbitkan secara bersama-sama dengan buku al-Qanun dalam ilmu
kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
3.
Al-Isha>rat wa al-Tanbiha>t, Buku ini merupakan buku terakhir dan yang
paling baik, pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, dan sebagiannya di
terjemahkan ke dalam bahasa Perancis, kemudian diterbitkan di Kairo pada tahun
1947 di bawah asuhan Dr.Sulaiman Dunia.
4.
Al-Hikmah al-Mashriqiyyah, buku ini sedikit memuat logika, dan ada
yang menyatakan bahwa isi buku memuat masalah tasawwuf, namun menurut Carlos
Nallino, di dalamnya berisi filsafat timur sebagai perimbangan dari filsafat
barat.
5.
Al-Qa>nun, atau Canon of Medicine menurut penyebutan orang-orang
barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalambahasa Latin sekaligus menjadi
buku standard bagi universitas-universitas Eropa hingga akhir abad ketujuh
belas Masehi. Buku ini pernah diterbitkan di Roma tahun 1953 M, dan di India
tahun 1323 H.[18]
Dalam laporan Abd al-Amir, Ibnu Sina
meninggalkan 276 buku, namun secara detail tidak disebutkan. Namun dari sekian
bukunya yang masih ada menurut laporan Badawi berkisar 17 buah[19]
2. Pandangan Ibnu Sina tentang Masalah Metafisika
Pada
pembahasan menyangkut masalah metafisika, gagasan filsafat Ibnu Sina tidak jauh
berbeda dari Al-Farabi. Ia juga berupaya mengintegrasikan antara konsep Islam
dengan rumusan filsafat. Dimana masing-masing sesungguhnya merupakan perpaduan antara
filsafat Plato, Aristoteles dan Neo-Platonisme. Dalam penjelasannya mengenai
wujud pertama ia juga menggunakan dasar argumentasi Al-Farabi dengan membagi
eksistensi wujud menjadi dua bagian, yaitu wa>jib al wuju>d dengan mumkin al-wuju>d[20].
Begitu juga ketika menjelaskan tentang proses
kejadian alam semesta, ia juga menggunakan teori emanasi nya Al-Farabi, hal itu
Nampak dari pernyataannya sebagaimana yang dikutip oleh Moh.Maghfur: “Saya
benar-benar telah memperkenalkan, bahwa Allah yang maha tinggi telah
menciptakan akal pertama, kemudian melaluinya diciptakan akal lain dan bintang,
dan melalui akal lain diciptakan akal ketiga dan bintang ketiga berdasarkan
urut-urutan yang telah kami sebutkan.”[21]
Mengenai pendapat Ibnu Sina tentang
masalah jiwa. Ia membagi jiwa menjadi tiga macam: pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan,
yaitu kesempurnaan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup dan dengannya
makhluk hidup bisa berkembang biak, bertambah dan makan. Jiwa tumbuh-tumbuhan
menurutnya memiliki tiga kekuatan yaitu kekuatan penyerap makanan, kekuatan
pertumbuhan dan kekuatan untuk berkembang biak. Kedua, Jiwa binatang, yaitu jiwa
yang berfungsi untuk melengkapi kesempurnaan bagi seluruh manusia dan dengan
jiwa ini ia dapat bergerak dan berfikir. Jiwa binatang ini menurutnya memiliki
dua kekuatan yaitu kekuatan gerak dan kekuatan berfikir. Kekuatan gerak juga
memiliki dua macam yakni gerak pendorong untuk memberikan motivasi dan
melaksanakannya dan kedua adalah gerak berdasarkan kekuatan emosional, yaitu kekuatan
yang membangkitkan keinginan untuk mencapai sesuatu yang di khayalkan atau
kekuatan untuk menghindari sesuatu yang berbahaya. Sedangkan jiwa ketiga adalah
jiwa kemanusiaan, yaitu jiwa kesempurnaan manusia yang dapat berbuat dan di dorong
oleh akalnya, meneliti, membanding dan mengambil kesimpulan. Dan dengan jiwa
itu pula ia dapat menemukan suatu pemikiran atau ide yang hanya dapat ditemui akal.
Jiwa berpikir manusia menurutnya dapat dibagi menjadi kekuatan mengetahui dan
kekuatan untuk berbuat.[22]
Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia
bersifat abadi setelah diciptakan. Ia menyebutkan bahwa jiwa termasuk ciptaan
yang sama dengan tubuh, namun ia tetap ada sekalipun tubuhnya musnah.[23]
3.
Studi
Kritis terhadap Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
Berdasarkan
uraian tentang pemikiran Ibnu Sina yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa
catatan kritis yang dapat diungkapkan di antaranya:
Pandangan
Ibnu Sina mengenai proses kejadian alam semesta yang disebutkan berdasarkan
teori emanasi sebagaimana Al-Farabi, menunjukkan ketidak jelasan tentang
definisi akal berikut batasan-batasannya. Hingga apa yang digagas sesungguhnya
merupakan hal yang berada diluar penalaran. Ketidak jelasan pengertian akal disini
juga nampak ketika ia menyebutkan bahwa kekuatan pikir manusia adalah termasuk
bagian dari jiwa kemanusiaan. Padahal jika kita amati berdasarkan metode penginderaan,
akal manusia baru berfungsi jika memenuhi empat komponen yaitu otak, panca
indera, fakta terindera / kesan fakta dan juga informasi sebelumnya yang
berguna untuk mengidentifikasi fakta yang di amati. Dari komponen akal tersebut
ternyata melibatkan factor lain diluar tubuh manusia berupa sesuatu yang yang
bersifat materi, demikian juga halnya otak yang berupa materi yang melekat
dalam diri manusia. Sementara Ibnu Sina mengungkapkan bahwa jiwa bukan materi
dan sekaligus tidak melekat pada materi.
Sedangkan gagasannya mengenai
macam-macam jiwa yang disebutkan menjadi tiga macam yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan,
jiwa kebinatangan dan jiwa kemanusiaan. Ia menyebutkan bahwa kekuatan penggerak
dalam diri manusia untuk menginginkan sesuatu atau menghindar dari sesuatu yang
berbahaya adalah bagian dari jiwa kebinatangan. Menurut hemat penulis, gagasan
tersebut adalah ketidak jelasan dalam memahami potensi kehidupan manusia. Hal
ini diakibatkan karena ia membangun pemikirannya tidak didasarkan pada
pemikiran rasional dengan komponen-komponen yang disebutkan oleh penulis
sebelumnya. Namun di dasarkan pada gagasan spekulatif karena keterpengaruhannya
dengan filsafat Yunani.
Potensi kehidupan manusia yang
menyebabkan manusia bergerak dan melakukan tindakan menurut Muhammad Muhammad
Ismail adalah terdiri dari dua macam, pertama adalah kebutuhan jasmani dan
kedua adalah kebutuhan naluri. Kebutuhan jasmani mendorong manusia melakukan
tindakan untuk memenuhinya seperti makan, minum dan lain sebagainya. Kebutuhan
jasmani ini tuntutannya bersifat pasti, karena jika tidak terpenuhi bisa
mengakibatkan kematian atau kerusakan tubuh. Sedangkan potensi kebutuhan naluri
yang ada manusia mendorongnya untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka memenuhi
tuntutannya, kendati pada kebutuhan naluri ini, tuntutannya tidak bersifat
pasti karena jika tidak terpenuhi tidak sampai mengakibatkan kematian
sebagaimana kebutuhan jasmani. Namun hanya mengakibatkan kegelisahan dan
kegundahan.[24]
Kebutuhan naluri ini semisal naluri beragama yang mendorong manusia melakukan
penyembahan terhadap z}at
yang dianggap dapat melindungi dirinya. Atau naluri mempertahankan diri semisal
perasaan berani, takut, ingin dihargai atau dihormati, keinginan berkuasa dan
lain sebagainya. Atau juga naluri melestarikan jenis semisal kecenderungan
kepada lawan jenis, perasaan cinta sesama dan lain sebagainya.
Sedangkan
apa yang digagas oleh Ibnu sina bahwa yang menggerakkan manusia untuk berbuat
adalah jiwa kebinatangan yang ada pada manusia adalah sesuatu yang abstrak dan
tidak dapat di amati keberadaannya, disamping itu jiwa atau nafs yang
sebagiannya disebutkan di dalam Alqur’an belum ada keterangan yang pasti
mengenai pengertiannya karena maknanya bersifat mushtarok. Ada juga yang
mengatakan bahwa jiwa yang dimaksud dalam Al-Qur’an adalah ruh, dimana
hakekat dan maknanya juga masih samar, ruh ada yang bermakna wahyu,[25]
ada yang bermakna malaikat Jibril,[26]
dan ada yang bermakna rahasia kehidupan (nyawa)[27]
Pandangan Ibnu Sina tentang keabadian
jiwa setelah diciptakan juga merupakan gagasan imajinatif yang tidak dapat
dibuktikan. Dan hal itu bertentangan dengan informasi yang disampaikan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an bahwa segala
sesuatu selain Allah adalah pasti binasa dan hancur.[28]
E. KESIMPULAN
Dari
pemaparan makalah mengenai pemikiran tiga filosof muslim yaitu Al-Kindi,
Al-Farabi dan Ibnu Sina di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Al-Kindi adalah
seorang filosof muslim yang berasal dari arab, ia merupakan orang pertama yang
membuka jalan masuknya filsafat Yunani kedalam dunia Islam. Gagasannya
diantaranya menyangkut integrasi agama dengan filsafat, Pembuktian tentang
keberadaan wujud Tuhan melalui tiga argumentasi yaitu baharunya alam semesta,
keanekaragaman wujud dan keteraturan alam.
2.
Al-Farabi
merupakan seorang filosof muslim yang hidup setelah al-Kindi dan telah berhasil
membentuk system filsafat secara memadai hingga ia mendapat julukan sebagai
guru kedua setelah julukan guru pertama bagi Aristoteles. Gagasannya mengenai
bidang filsafat di bidang metafisika adalah mashhur dengan teori emanasinya terkait dengan proses
penciptaan alam semesta. Yaitu alam semesta bersifat Qadim karena wujudnya
terpancar dari wujud yang pertama yang bersifat wa>jib al-wuju>d.
3.
Ibnu Sina adalah
seorang filosof muslim yang hidup setelah Al-Farabi. Oleh karena itu gagasannya
tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, ia juga mengungkapkan proses kejadian
alam semesta melalui teori urut-urutan
wujud atau emanasi. Ibnu Sina juga berpandangan bahwa jiwa manusia bersifat
kekal dan abadi setelah diciptakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muh.Husein.
Mafa>him
Isla>miyah ; Menajamkan Pemahaman Islam, terj: M.Romli, ( Bangil, Al-Izzah, 2003)
Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996),
An-Nabhani, Taqiyuddin. Hakekat
Berfikir, terj: Taqiyuddin As-Siba’I, ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah,
2006)
Ash-Shahrastani,
Al-Mila>l
wa al-Niha>l; Aliran-aliran
Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, terj;
Asywadie Syukur, ( Surabaya, Bina Ilmu, t.t)
As-Sirjani, Raghib. Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, terj;
Sonif,dkk. ( Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2011)
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama, (Jakarta,
Logos, 1997)
Maghfur
W, Muhammad. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam,
(Bangil, Al-Izzah, 2002),
Muhammad Isma’il, Muhammad. Al-Fikr al Isla>mi, (Beirut, Maktabah al-Wa’yi, 1958)
[1]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996),
73
[2]
Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam,
(Bangil, Al-Izzah, 2002), 66
[3]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 74
[4]
Raghib As-Sirjani, Sunbangan Peradaban Islam Pada Dunia, terj;
Sonif,dkk. ( Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2011), 373
[5]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 60
[6]
Ibid, 61
[7]
Ibid, 77-78
[8]
Ibid, 78
[9]
Akal hanya berfungsi ketika memenuhi empat komponen yaitu 1. Fakta terindera,
2.Panca indera sebagai alat penginderaan, 3. Otak yang sehat dan normal, 4.
Informasi sebelumnya mengenai fakta yang di amati. Lihat Moh.Husein Abdullah, Mafa>him Isla>miyah ;
Menajamkan Pemahaman Islam, terj:
M.Romli, ( Bangil, Al-Izzah, 2003), 29-33. Bukti tentang batasan akal
sesungguhnya telah dibuktikan dalam kisah nabi Adam ketika ia tidak mengetahui
atau tidak bisa mengidentifikasi benda-benda. kemudian Allah memberitahukan
nama benda-benda tersebut kepada nabi Adam, lihat QS:Al-Baqarah : 31-32. Dan
bukti bahwa keberadaan Tuhan dapat dijangkau oleh akal manusia adalah kisah
Nabi Ibrahim ketika ia memperhatikan keterbatasan benda-benda langit sebagai
bagian dari alam semesta dengan kesimpulan bahwa di balik itu semua pasti ada
sang pencipta yang telah menciptakannya. Namun akal hanya mampu menjangkau
keberadaannya, bukan pada kualitas z}atnya.
[10]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 81
[11]
Ibid, 82
[12]
Ibid, 82
[13]
Ibid, 90
[14]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta, Logos, 1997), 171
[15]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 92-94.
[16]
Dalam pembahasan logika, jika berbagai premisnya yang mengandung berbagai
pemikiran yang akan dihubungkan dengan premis lainnya benar maka kesimpulannya
juga benar. Namun jika premis yang digunakannya tidak benar maka kesimpulannya
juga tidak benar. Dan syarat bagi premis-premis yang digunakan haruslah sesuatu
yang bisa diamati secara inderawi. Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Hakekat
Berfikir, terj: Taqiyuddin As-Siba’I, ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah,
2006), 55
[17]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 115-116
[18]
Ibid, 117
[19]
Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan, 75
[20]
Ibnu Sina menjelaskan bahwa Zat yang wa>jib
bi z}a>tihi bersifat esa, sedangkan wujud yang mumkin bi za>tihi
bersifat berbilang atau beraneka ragam, Lihat Ash-Shahrastani, Al-Mila>l wa al-Niha>l;
Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, terj; Asywadie Syukur, (
Surabaya, Bina Ilmu, t.t) Buku ke-2, 157
[21]
Moh.Maghfur W, Koreksi atas Kesalahan, 76
[23]
Ibid, 203
[24]
Muhammad Muhammad Isma’il, Al-Fikr
al Isla>mi, (Beirut, Maktabah al-Wa’yi, 1958), 12
[25]
Lihat QS; An-Nahl :
2
[26]
Lihat QS; Ash-Shu’ara>’:
193
[27]
Lihat QS; Al-Isra>’: 85
[28]
Lihat QS; Al-Qasa>s:
88
Komentar
Posting Komentar