POSITIVISASI HUKUM ISLAM PROBLEM DAN SOLUSINYA

Oleh : Rifqi

Abstrak : Positivisasi hukum Islam hingga saat ini masih mengalami kendala serius hingga setiap perjuangan untuk menerapkan hukum Islam dalam konteks negara selalu gagal di tengah jalan. Padahal hukum Islam dilihat dari asas berfikirnya merupakan tuntutan dari aqidah Islam yang diyakini oleh mayoritas penduduk negeri ini. Sumber-sumber rujukan hukum Islam juga memiliki kepastian yang dapat meminimalisir unsur kepentingan politik dalam proses legislasi hukum karena ia hanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan proses legislasinya juga tidak rumit sebagaimana yang ada dalam sistem demokrasi. Legislasi hukum Islam hanya menjadi hak ulil amri atau kepala negara melalui proses ijtihad yang benar, baik melalui ijtihadnya sendiri maupun ijtihad dari para mujtahid lain. Kekhawatiran terjadinya pemusatan kekuasaan dalam masalah legislasi hukum Islam sesungguhnya dapat dijelaskan secara argumentatif bahwa kepala negara juga memiliki batasan yang harus ia pegang teguh yaitu setiap keputusan hukum yang telah dikeluarkannya hanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Namun idealisasi hukum Islam tersebut masih menghadapi beberapa kendala diantaranya problem paradigma sekularisme yang meracuni pemikiran mayoritas kaum muslimin termasuk para elit politik muslim. Dan kendala kedua adalah problem institusional yaitu adanya institusi politik demokrasi yang diterapkan di negeri ini yang tentu secara prinsipil tidak kompatibel dengan Islam. Solusi untuk mengatasi itu semua adalah merujuk pada metode dakwah Rasulullah pada periode Mekah hingga berdirinya Negara Islam di Madinah.

Kata Kunci : Positivisasi, Hukum Islam, Legislasi, Metode Perubahan, Dakwah

Pendahuluan
            Perbincangan mengenai pemberlakuan hukum Islam sebagai dasar Negara telah dimulai sejak negeri ini mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun arus pemikiran hukum Islam tersebut terus mendapatkan rintangan dan kendala baik secara politik dan sosial. Hingga wacana pemberlakuan hukum Islam tinggal sejarah dan sekedar menjadi perdebatan akademis yang tak kunjung menemukan kata akhir penyelesaian.
            Kenyataan tersebut lebih di akibatkan oleh beberapa faktor yang menjadi penghalang agar dapat diterapkan dalam kontek keindonesiaan. Kendala pertama adalah minimnya pemahaman tentang hukum Islam baik secara konsep maun metode implementasinya. Banyak dikalangan umat Islam terutama para tokoh yang berkompeten dalam kajian hukum Islam hanya mendasarkan pada konsepsi hukum Islam secara global tanpa ada rincian secara memadai semisal sekedar menyangkut filosofi dan tata nilai hukum Islam. Belum menyentuh pada rincian yang dapat implementatif dalam kehidupan masyarakat maupun negara.
            Dari sisi konsepsi, hukum Islam selama ini hanya dipahami dalam ruang lingkup yang terlalu sempit. Hanya menyangkut seputar masalah peradilan, itupun saat ini yang diterapkan adalah menyangkut ahwa>l al-syahshiyah. Pemahaman tentang hukum Islam belum sampai pada seluruh problematika kehidupan manusia semisal menyangkut masalah sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Hingga pada gilirannya hukum Islam dianggap bukan solusi bagi segala permasalahan yang saat ini terus mendera negeri ini semisal masalah korupsi yang terus menggurita. Problem ekonomi seperti kemiskinan dan pengangguran. Masalah sosial seperti semakin meningkatnya kriminalitas dan lain sebagainya.
            Kendati saat ini di beberapa perguruan tinggi Islam telah dibuka berbagai jurusan dengan konsentrasi syariah dalam bidang ekonomi maupun politik Islam, namun sejauh yang kita lihat belum dapat menumbuhkan kesadaran politik di kalangan umat Islam akan penting dan mendesaknya pemberlakuan hukum Islam dalam konteks kenegaraan. Ilmu-ilmu syariah yang didapatkan diperguruan tinggi hanya merupakan wacana akademis yang tidak memiliki daya dorong kepada mahasiswa untuk memulai proses perubahan menuju tegaknya syariah Islam.
            Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kiranya dipandang mendesak untuk menggagas problem yang mengitari di seputar positifisasi hukum Islam dan bagaimana cara memecahkannya hingga kedepan syariah Allah SWT yang diyakini akan membawa rahmat bagi alam semesta dapat diwujudkan menjadi kenyataan.
Asas dan Tujuan Hukum Islam
            Setiap hukum manapun pasti memiliki asas yang mendasari setiap perumusan maupun penetapannya. Asas inilah yang menjadi kerangka pemikiran dalam setiap penetapan sebuah hukum. Dengan demikian jika kita mengkaji setiap penetapan hukum tertentu maka asas yang melandasinya juga harus dapat dipahami agar orientasi penetapannya dapat dijangkau dan di analisis.
            Hukum yang berkembang dan sedang diterapkan saat ini, terutama di negeri-negeri Islam adalah hukum yang didasarkan pada falsafah dan cara pandang yang tidak berasal dari aqidah Islam, namun ia berasal dari paradigma sekularisme[1] yang berkembang di negara-negara barat. Sehingga di dalam penetapannya tidak dengan sengaja atau dengan keseriusan menjadikan agama sebagai rujukan. Akhirnya hukum tunduk pada relatifitas berdasarkan kondisi sosial dan tuntunan zaman. Kenyataan demikian disebabkan karena hukum yang berkembang di negara-negara barat adalah dibangun berdasarkan landasan paradigma untuk menjamin asas kebebasan. Paradigma kebebasan ini kemudian terbagi menjadi empat, yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, kebebasan ber aqidah atau kebebasan berfikir dan kebebasan berkeperibadian.[2] Berdasarkan asas kebebasan tersebut, hukum dibangun dan dirumuskan, sehingga ia tidak memiliki prinsip yang tetap dan permanen.
            Berbeda halnya dengan hukum Islam, ia memiliki prinsip dan konsep yang jelas untuk menjawab seluruh problematika yang dihadapi oleh seluruh manusia, baik menyangkut masalah sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Islam telah menempatkan seluruh problem yang dihadapi oleh manusia sebagai problem kemanusiaan sehingga hukum memiliki konsepsi yang bersifat universal dan selalu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Hal itu disebabkan karena asas yang melandasi pemberlakuan hukum Islam didasarkan pada asas yang tetap yaitu berlandaskan aqidah Islam.
            Asas aqidah Islam mengharuskan manusia tunduk dan patuh terhadap segala ketentuan dan ketetapan yang Allah berikan. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا ) ألاحزاب : 36)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, dengan kesesatan  yang nyata”.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ  (النور : 51)
“ Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka diseru kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
            Tuntutan untuk mematuhi segala ketentuan Allah SWT juga mesti bersifat komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya terbatas pada masalah ibadah ritual saja. Namun harus mencakup segala dimensi kehidupan seperti masalah ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Islam telah memberikan solusi dalam setiap problem kehidupan manusia dengan sempurna dan menyeluruh sebagaimana firman Allah SWT :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (النحل : 89)

“Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا...( الما ئدة : 3)
“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
            Berdasarkan asas berfikir tersebut, maka bagi seorang muslim dituntut untuk selalu terikat dengan apa yang diperintah oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya. Perintah dilaksanakan dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Larangan dijauhi dengan tulus atas dasar pengabdian kepadanya. Oleh karena itu penerapan hukum Islam dalam seluruh sendi kehidupan manusia bukan sekedar termotivasi oleh tujuan rahmatan lil ‘a>lami>n, namun merupakan manifestasi dari keimanan kepada Allah SWT.
Peran Negara Dalam Pemberlakuan Hukum Islam
            Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad SAW bukan sekedar agama yang mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup yang harus dijadikan sandaran oleh umat Islam. Namun lebih daripada itu ia menjadi sekumpulan hukum yang harus diterapkan dalam kehidupan masyarakat sebagai hukum positif. Hal tersebut nampak dari keseluruhan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits yang tidak sekedar bersifat konsepsi namun juga mencakup penjelasan metodologis untuk mengimplementasikan konsep tersebut.[3] Misalnya perintah Allah untuk selalu mencari rizki yang halal lagi baik sebagai salah satu konsepsi dalam Islam, maka pada sisi yang lain Allah juga menetapkan sangsi bagi yang melakukan pelanggaran terhadap konsepsi tersebut semisal hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian dan lain sebagainya. Contoh lainnya ketika Allah menetapkan sebuah konsepsi untuk memastikan pemerataan ekonomi di tengah masyarakat sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ( الحشر : 7)

“ Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”.
Maka Islam juga menetapkan metode pendistribusiannya agar asas pemerataan ekonomi tersebut menjadi kenyataan, seperti perintah untuk mengambil harta zakat bagi orang-orang yang mampu dan mendistribusikannya kepada delapan golongan yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an. Disamping itu, dalam rangka menjamin pemerataan kekayaan dan keadilan ekonomi, Islam telah membagi tata cara kepemilikan harta menjadi tiga yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.[4]
            Dalam masalah sosial semisal menyangkut konsepsi yang mengatur tata pergaulan di tengah masyarakat, seperti konsep pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Islam juga menetapkan metode praktis agar konsep tersebut bisa terwujud menjadi kenyataan dan menetapkan beberapa sangsi bagi setiap penyimpangan terhadapnya seperti hukuman cambuk bagi pelaku perzinahan.
            Demikian pula masalah sosial yang terkait dengan wilayah jaminan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Islam juga menetapkan beberapa sangsi bagi tindakan kriminal yang dapat mengganggu keamanan seperti hukuman qisha>sh bagi pelaku pembunuhan dan lain sebagainya. Jadi semua hukum Islam yang mengatur kehidupan seorang muslim baik itu menyangkut masalah ibadah yang bersifat vertikal kepada Allah maupun yang bersifat horizontal mengenai hubungan manusia dengan manusia lainnya memiliki seperangkat sistem sangsi ( ‘uqu>bat) yang terbagi menjadi empat yaitu hudu>d, jina>yah, ta’zi>r dan mukha>lafat[5]
            Hukum-hukum Islam yang terkait dengan aspek metodologi praktis tersebut membutuhkan sebuah institusi untuk melaksanakan dan menerapkannya. Sehingga semua ajaran Islam bisa terwujud menjadi kenyataan. Dalam kajian fiqh Islam politik, institusi yang menerapkkan hukum Islam menjadi hukum positif tersebut adalah negara yang dipimpin oleh seorang imam atau kepala negara. Dengan demikian peran negara dalam Islam amat sangat penting agar seluruh konsepsi Islam bisa diterapkan. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa antara kekuasaan (negara) dengan agama adalah dua hal yang tidak bisa di pisahkan. Agama adalah pondasi bagi sebuah negara, sedangkan negara berfungsi untuk menjaga keberlangsungan agama tersebut.[6]
            Dalam banyak hadits juga disebutkan tentang peran seorang imam atau kepala negara dalam mengemban amanah untuk melayani kepentingan rakyat dan melindungi umat Islam. Diantaranya adalah :
كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ : فَالْاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.

“ Kalian semuanya adalah penanggung jawab atas kepemimpinannya; Dan seorang pemimpin adalah penanggung jawab dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. ( Hadits riwayat Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu Umar ).[7]
            Oleh karena itu, penerapan hukum Islam menjadi hukum positif memerlukan peran negara sebagai institusi pelaksananya. Hubungan antara negara dengan agama dalam konteks hukum Islam adalah hubungan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan Islam tanpa negara hanyalah menjadi agama ritual yang bersifat personal bagi para pemeluknya. Dan itu bertentangan dengan sejarah risalah yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW sebagai nabi sekaligus sebagai pemimpin negara di Madinah. Dimana kepemimpinan beliau sebagai kepala negara kemudian dilanjutkan oleh para Khulafa> al-Ra>syidi>n setelah beliau wafat.


Sumber-sumber Hukum Islam
            Layaknya sebagai hukum positif yang akan diberlakukan oleh sebuah Negara, maka hukum Islam juga harus memiliki kepastian mengenai sumber-sumber hukum yang akan menjadi rujukan bagi Negara. Jika demokrasi mendasarkan sumber hukumnya pada kehendak rakyat melalui mekanisme representasi para wakil rakyat di parlemen, maka hukum Islam hanya bersumber dari nash-nash syara’ yang telah ditetapkan oleh Islam, yaitu Al-Qur’an, Hadits, ataupun dari sumber yang telah ditunjukkan oleh keduanya semisal ijma’ sahabat maupun qiya>s syar’i.
            Tuntutan untuk hanya merujuk kepada sumber-sumber syari’at tersebut merupakan konsekuensi dari keimanan kepada Allah SWT. Seorang muslim tidak diperkenankan mengambil atau mengadopsi hukum lain selain hukum Islam dalam mengatur perilaku dalam hidupnya, termasuk dalam urusan pengaturan masyarakat dan negara. Ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا  ( النساء : 60)

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka Telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya".
            Ibnu Katsir ( 700 -774 H.) menjelaskan ayat ini dengan menceritakan sebab turunnya ayat bahwa seorang muslim munafik dari kalangan anshor telah menolak berhukum kepada hukumnya Rasulullah dan menampakkan ketidakridhaannya terhadap putusan beliau mengenai persengketaannya dengan seorang Yahudi. Kata Thaghut yang terdapat pada ayat tersebut dijelaskan sebagai hukum yang tidak berasal dari kitabullah dan sunnah RasulNya.[8]
            Dari pengertian ayat tersebut seorang muslim diwajibkan terikat hanya kepada hukum Islam dan dilarang tegas untuk berhukum kepada selainnya dalam penyelesaian masalah dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.  
Proses Dan Metode Legislasi Hukum Islam
            Proses legislasi dalam pandangan hukum Islam adalah berarti upaya untuk menggali dan mengadopsi hukum Islam kemudian dijadikan sebagai perundang-undangan untuk mengatur masyarakat atau negara. Namun sebelum jauh membahas tentang proses legislasi tersebut, ada hal yang harus diperhatikan menyangkut paradigma yang mendasari aspek legislasi hukum tersebut, yaitu pertama, bahwa hak untuk membuat hukum hanyalah milik Allah SWT, manusia tidak punya hak untuk membuat keputusan hukum. Dengan demikian dalam kaitan ini dipertegas bahwa kedaulatan berada di tangan syara>’  saja. Sementara kedudukan manusia hanya sebagai pihak yang berupaya memahami apa yang telah ditunjukkan oleh hukum syara>’.
            Paradigma ini tentu berbeda secara diametral dengan sistem demokrasi yang menempatkan kedaulatan berada ditangan rakyat, sehingga dalam perumusan undang-undang didasarkan kepada kehendak dan aspirasi rakyat melalui para wakilnya dalam sidang parlemen. Dalam sistem demokrasi yang memiliki otoritas untuk menetapkan baik buruknya sesuatu adalah diberikan secara bebas kepada akal manusia. Akal dipandang mampu menjangkau segala sesuatu yang dapat mendatangkan kemaslahatan bagi semua. Sedangkan dalam pandangan Islam akal hanya berfungsi untuk mengkaji dan memahami petunjuk tentang baik buruknya sesuatu atau perbuatan sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh syara>’. Memang benar bahwa akal dapat menjangkau baik atau buruknya sesuatu dari fakta empiris yang bersesuaian dengan kecenderungan manusia dan fitrohnya seperti pandai itu baik, bodoh itu buruk, mencuri hak orang lain itu buruk dan menolong orang yang mendapatkan kecelakaan itu baik. Namun pada sisi apakah perbuatan itu mendapat ridha dan pahala Allah serta apakah mendapat siksaNya, maka akal tidak akan dapat menjangkaunya.[9] Dengan demikian keputusan hukum untuk memberikan penilaian baik buruknya sesuatu hanyalah hak Allah. Oleh karena itu syariat Islamlah yang mesti dijadikan sebagai patokan bagi perundang-undangan untuk mengatur masyarakat maupun negara.
            Kedua, setelah memahami bahwa hukum hanyalah hak Allah, maka selanjutnya dalam rangka menerapkan atau mengamalkan hukum tersebut, manusia telah diperintahkan oleh Allah untuk merujuk pada ketentuan yang telah ditetapkanNya. Dan melarang melakukan satu tindakan apapun kecuali setelah mengetahui hukumnya. Allah SWT berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.  ( QS: Al-Isra’ : 36 )
Rasulullah SAW juga bersabda :
إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.

“Jika seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala, dan jika ia memutuskan perkara lalu berijtihad kemudian salah maka baginya satu pahala”.[10]
            Terkait dengan hadits ini, juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk menjadi Qadhi disana. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya: Bagaimana engkau menetapkan hukum jika ada masalah yang harus engkau hukumi? Mu’adz menjawab: “ Aku akan memutuskan hukum berdasarkan apa yang telah ditetapkan dalam kitab Allah. Rasulullah SAW bertanya lagi. Jika engkau tidak mendapatkannya dalam kitab Allah? Mu’adz kemudian menjawab: “Saya akan berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya lagi: Jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah maupun dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan mengerahkan segenap upayaku. Maka Rasulullah SAW bersabda : “ Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk pada utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhai oleh Rasulullah.[11]
            Ayat maupun Hadits di atas menegaskan bahwa ketika kita mengamalkan atau memutuskan hukum dalam penyelesaian problem kehidupan, maka haruslah merujuk pada petunjuk Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah SAW. Proses penggalian dan pemahaman terhadap nash syara’ tersebut disebut sebagai proses ijtihad.  Ijtihad merupakan upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka menggali hukum syara’ dengan dugaan kuat bahwa hal itu adalah hukum Allah hingga pada batas ia merasa tidak mampu lagi berbuat lebih dari apa yang telah diusahakannya.[12] Dan hal ini adalah perkara penting yang sudah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits diatas.
Atas dasar itu proses legislasi hukum Islam tentu didahului oleh proses ijtihad bagi orang-orang yang sudah mampu kemudian hasil istimbathnya akan dijadikan sebagai hukum yang mengatur kehidupan masyarakat maupun negara. atau dengan kata lain konsepsi hukum yang telah digali oleh seorang mujtahid akan menjadi perundang-undangan yang siap untuk diterapkan.
Namun permasalahan selanjutnya dalam proses legislasi hukum untuk sampai menjadi hukum positif bagi negara, siapakah yang berhak untuk merumuskan dan menetapkannya? Apakah hak tersebut diserahkan kepada para anggota legislatif sebagaimana yang ada dalam system demokrasi, atau sebuah lembaga yang ditunjuk oleh negara untuk menetapkannya sebagaimana peran wila>yatul faqi>h dalam sistem kenegaraan Iran, atau itu hanya menjadi hak bagi kepala negara atau seorang imam. Untuk menjawab semua itu, kita harus merujuk pada praktek kepemimpinan negara sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau memimpin negara di Madinah atau para khulafa> al-ra>syidi>n sebagai penerus beliau.
Jika diamati dengan seksama sirah nabawiyah dan praktek kepemimpinan para khulafa> al-ra>syidi>n maka akan didapatkan bahwa hak legislasi hukum Islam hanya berada ditangan kepala negara atau ulil amri. Hal itu dapat disimpulkan ketika Rasulullah SAW memutuskan untuk menjalin hubungan damai melalui perjanjian Hudaibiyah dengan para kafir Quraisy. Beliau memutuskan sendiri karena hal itu merupakan petunjuk dari Allah SWT tanpa memperhatikan penolakan kaum muslimin atas perjanjian tersebut[13]. Demikian pula apa yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq ketika mau memutuskan untuk memerangi orang-orang yang murtad, orang-orang yang menolak membayar zakat dan orang yang mengaku sebagai nabi palsu. Semula sejumlah para sahabat tidak sepakat atas keputusan Abu Bakar, namun beliau meneguhkan keputusannya dan meyakinkan kebijakannya tersebut.
Keputusan para khalifah setelah Abu bakar juga menunjukkan demikian, kendati khalifah bisa jadi meminta pendapat hukum terhadap para mujtahid tentang berbagai persoalan yang tidak dapat dipecahkannya sendiri. Namun keputusan legislasi tetap berada di tangannya, baik berdasarkan ijtihadnya sendiri maupun hasil ijtihad dari mujtahid lainnya.
Fakta tersebut diperkuat dengan wajibnya taat terhadap ulil amri sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ( النساء : 59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu”.
            Kewajiban taat terhadap ulil amri yang disebutkan dalam ayat tersebut menegaskan bahwa otoritas kepemimpinan dalam sebuah negara hanya ada pada satu orang yaitu ulil amri dengan mendasarkan pada kitabullah dan sunnah Rasulullah.
            Namun demikian, kepemimpinan kepala negara atau ulil amri tentu tidak mutlak sesuai dengan hasrat kekuasaan sang penguasa, ia juga harus tunduk terhadap hukum Allah. Artinya bahwa setiap keputusan hukum yang ia tetapkan haruslah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syara’ atau tidak bertentangan dengan ketentuan syara’. Keputusan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam saja yang wajib ditaati. Sedangkan apabila ada keputusannya menyalahi hukum Islam maka ia tidak wajib di taati, bahkan harus di ingkari dan pada saat itu umat Islam wajib menasehati dan meluruskannya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
اَفْضَلُ الجِهَادِ كَلِمَةُ الحَقِّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.

“Paling utamanya jihad adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim”
            Berdasarkan hal itu, maka perkara legislasi hukum Islam hanya ada ditangan para pemimpin negara dengan standard harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum syara’ dalam wilayah yang menjadi wewenangnya sebagai kepala negara.
            Berkaitan dengan itu, apa yang saat ini ada dalam sistem demokrasi dengan konsep pemisahan kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sesungguhnya merupakan gagasan dari Montesquieu yang bertolak dari traumatik sejarah gelap eropa, dimana kekuasaan berpusat pada kalangan gerejawan sehingga memberikan peluang dominasi dan tirani kekuasaan. Oleh sebab itu harus dibangun kekuasaan yang berimbang dan mencegah dari kekuasaan tunggal yang rentan dominatif dan bersikap sewenang-wenang.[14]
            Hal itu dapat dipahami karena dalam sistem demokrasi dengan konsep pemisahan kekuasaannya, hukum yang akan dirumuskan dan ditetapkan masih belum ada kejelasan karena bersifat fleksibel dan relatif sesuai dengan rasionalitas manusia. Dalam keputusannya manusia bisa menetapkannya sesuai dengan kepentingannya tanpa ada batasan yang pasti sehingga pemusatan kekuasaan berpotensi menciptakan kekuasaan dzalim dan bersikap sewenang-wenang.
Kendati pemisahan kekuasaan dalam sistem demokrasi dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjadi dominasi, namun yang sering terjadi justru adalah kompromi di antara para elit penguasa tersebut untuk melanggengkan hasrat dan kepentingan kekuasaannya. Atau malah saling melakukan politik penyanderaan ketika salah satu lembaga penguasa tersebut sedang terancam kepentingan politiknya.
Fenomena yang terjadi pada sistem demokrasi tersebut tidak berlaku bagi sistem hukum Islam. Kepala negara juga terikat dengan syariat Islam dan tidak boleh menyalahinya. Setiap bentuk penyimpangan terhadap hukum Islam akan dengan mudah dapat diketahui oleh umat Islam sehingga hal itu dapat di kontrol dan diluruskan. Mekanisme kontrol ini bisa melalui peran majelis umat sebagai lembaga representatif dari para tokoh masyarakat untuk melakukan hak menyampaikan pendapat dan koreksi terhadap penguasa.[15]
            Berdasarkan landasan pemikiran demikian, legislasi hukum Islam menjadi hukum positif tidak akan terbelenggu oleh tendensi kepentingan politik penguasa sekaligus juga tidak terjebak pada arena konstelasi para elit politik sebagaimana proses legislasi hukum dalam sistem demokrasi. Hukum Islam ketika dirumuskan menjadi hukum perundang-undangan bagi negara akan sangat mudah untuk diterapkan karena proses legislasinya tidaklah rumit. Kepala negara atau seorang imam akan melakukan pengkajian hukum terhadap sumber hukum yang sudah pasti melalui metode ijtihad yang s}ahih. Seandainya hasil legislasi hukum oleh negara dipandang lemah  dari sisi dalil yang digunakan atau metode istimba>th yang dipakai kurang kuat, Majelis Umat bisa mengoreksinya dan mengajukan hasil ijtihad baru yang dipandang lebih kokoh dari sumber hukum yang sudah pasti pula.
            Demikianlah proses dan metode legislasi dalam sistem hukum Islam yang dapat diterapkan sebagai sistem alternatif untuk menggantikan sistem hukum buatan manusia yang tentu banyak kelemahan karena kelemahan manusia itu sendiri. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ  (المائدة : 50)

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin”
Problem Positivisasi Hukum Islam
            Perdebatan tentang pentingnya syariat Islam untuk diterapkan menjadi dasar perundang-undangan negara telah dimulai sejak Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya. Namun hingga saat ini syariat Islam yang di idamkan tersebut belum juga bisa diterapkan bahkan nyaris tinggal wacana kendati partai politik yang berbasis Islam cukup reperesentatif dari sisi perolehan suara. Ditambah lagi mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam, sehingga jika menggunakan logika demokrasi selayaknya hukum Islam sudah bisa diterapkan.
            Kenyataan tersebut disebabkan oleh problem krusial yang hingga saat ini belum tergarap secara serius. Diantara beberapa problem yang menghadang positivisasi hukum Islam agar bisa diterapkan setidaknya ada dua kategori. Pertama, problem paradigmatik dan kedua adalah problem institusional.
            Problem paradigmatik adalah problem pemikiran yang saat ini menjangkiti kaum muslimin. Ini menjadi masalah serius karena umat akan teracuni pemikiran asing yang menghalangi mereka untuk berfikir jernih sesuai dengan aqidah yang diyakini yaitu aqidah Islam. Aqidah Islam mestinya menjadi landasan berfikir umat dalam menyelesaikan problem kehidupan mereka. Namun aqidah ini telah bercampur dengan berbagai pemikiran asing tanpa disadari. Diantara pemikiran yang paling dominan melanda umat Islam adalah sekularisme, yaitu suatu pandangan yang memisahkan antara agama dengan kehidupan, antara wilayah dunia yang profan dengan wilayah akhirat yang transendental. Agama hanya dianggap sebagai ajaran yang mengatur kehidupan individual yaitu menyangkut masalah ibadah ritual dan sedikit masalah moralitas. Sementara dalam kaitan membangun masyarakat dan negara dianggap bukan wilayah agama namun diserahkan pada otoritas dan kreatifitas manusia.
            Selanjutnya paradigma sekularisme ini telah memunculkan ide bahwa agama tidak boleh intervensi dalam urusan negara dan negara juga tidak boleh campur tangan dalam urusan agama, sehingga pada gilirannya lahirlah generasi yang memiliki keahlian dalam bidang agama namun tidak mempunyai skill dalam urusan negara. Sebaliknya muncul pula para negarawan yang kosong dari pemahaman agama.
            Pihak-pihak yang berupaya menjembatani ketegangan antara agama dengan negara mencoba memasukkan unsur agama dalam negara sebatas pada prinsip nilai dan moralitas. Mereka menyatakatan bahwa nilai-nilai Islam bisa menjadi standard untuk mengatur negara ini dari sisi substansialnya bukan pada formalitas agama itu sendiri. Namun upaya ini juga bisa dinyatakan gagal karena formulasi antara substansi Islam dengan sistem yang masih dilandasi oleh semangat sekularisme tidak pernah ada wujudnya dalam kenyataan. Justru nilai-nilai Islam semakin tergerus dan tak pernah secara serius menjadi landasan bagi negara. Hal itu wajar karena dalam Islam tidak pernah ada kompromi antara haq dan kebatilan. Islam tidak akan pernah bisa menyatu dengan sistem yang bukan berasal dari sistem Islam itu sendiri, karena sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya bahwa antara konsepsi dengan aspek metode praktis dalam Islam adalah dua komponen yang membentuk kekuatan ideologis.
            Problem paradigma seperti ini bukan hanya melanda umat Islam secara umum namun sudah menjangkiti para politisi Islam yang berjuang atas nama Islam. Tanpa sadar mereka berupaya membalut sistem sekularisme yang diterapkan ini dengan kemasan Islam. Hal itu di akibatkan karena para politisi muslim yang tergabung dalam gerakan ataupun partai politik Islam menurut Taqiyuddin An-Nabhani mengalami kegagalan dalam perjuangan menegakkan hukum Islam disebabkan empat faktor[16]:
            Pertama, gerakan politik yang mereka perjuangkan tegak diatas pemikiran yang masih global tanpa ada batasan yang jelas sehingga pemikirannya menjadi kabur dan bias. Kedua, gerakan politik tersebut belum memiliki aspek thariqa>h (metodologi praktis) dalam menjalankan konsepsi Islam sehingga perjuangannya simpang siur dan tidak memiliki orientasi yang jelas. Ketiga, para politisi yang yang ada dalam gerakan maupun partai politik tersebut belum memiliki kehendak dan kesadaran yang benar, mereka hanya bermodal semangat saja. Dan keempat, para politisi tersebut belum memiliki ikatan yang benar diantara mereka selain hanya rumusan program aktifitas dan slogan-slogan politik.
            Demikianlah problem paradigmatik yang saat ini masih melanda dan meracuni pemikiran umat Islam sehingga harapan umat Islam guna meraih kemulyaan tak kunjung dapat diraih dengan tegaknya syariat Islam. Oleh karena itu solusi untuk menuntaskan problem tersebut merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditunda-tunda sehingga kedepan umat Islam kembali dapat meraih derajat khaira ummah sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an.
            Problem kedua yang tak kalah krusialnya dengan yang pertama adalah problem institusional. Problem ini adalah problem institusi politik yang diterapkan di negeri ini, termasuk hampir seluruh negeri-negeri Islam. Dengan demikian perjuangan penegakan syariat Islam tidak akan dapat diterapkan secara sempurna jika masih berharap pada sistem politik yang saat ini mendasari negeri ini. Sistem politik demokrasi yang diterapkan negeri ini dengan asas sekularismenya tidak akan pernah kompatibel dengan Islam. Oleh karena itu institusi politik demokrasi berikut struktur serta varian-varian yang ada di dalamnya juga harus dapat dipecahkan sehingga sedapat mungkin bisa mewujudkan institusi baru dengan falsafah dan asas baru yaitu falsafah dan asas yang dibangun berdasarkan aqidah Islam.
            Perubahan institusi politik sebagai alternatif baru bagi tegaknya hukum Islam bukan ditujukan untuk merombak institusi sebelumnya secara destruktif, karena problem institusional yang menjadi kendala bagi positivisasi hukum Islam masih ada kaitannya dengan problem paradigmatik yang telah digagas sebelumnya. Artinya bahwa perubahan institusi politik tidak akan memiliki makna signifikant jika perubahan paradigma ke arah Islam belum terwujud menjadi kenyataan. Karena perubahan hakiki untuk meraih kebangkitan umat Islam dengan tegaknya hukum Islam secara sempurna hanya dapat diraih dengan perubahan pemikiran yaitu berupa kesadaran politik terhadap fakta kebobrokan sistem yang berlangsung saat ini dan kesadaran untuk menggantinya dengan sistem baru yang berasal dan digali dari konsep Islam. Dua kesadaran antara fakta yang rusak dan kesadaran terhadap fakta penggantinya inilah yang harus dimiliki oleh umat Islam guna mengarahkannya dalam melakukan langkah-langkah perubahan yang benar.[17]
            Problem paradigmatik maupun problem institusional inilah yang membelenggu umat Islam sehingga perjuangan untuk menegakkan hukum Islam menjadi hukum positif di negri ini mengalami kendala serius dan membutuhkan solusi mendasar untuk mengatasinya.


Langkah-langkah Memantapkan Positivisasi Hukum Islam
            Kendala paradimatik maupun institusional yang menjerat umat Islam untuk menegakkan hukum Islam sesungguhnya bukan perkara yang sama sekali baru, namun hal itu telah berakar sejak Islam pertama kali di perjuangkan oleh Rasulullah SAW pada masa jahiliyah di wilayah dan pada periode dakwah di Mekah. Dengan demikian langkah-langkah yang harus diambil dalam masalah tersebut adalah merujuk pada metode perjuangan Rasulullah untuk meruntuhkan paradigma jahiliyah di satu sisi seperti kebanggaan terhadap kehormatan kabilah, fanatisme terhadap doktrin nenek moyang dengan bentuk penyembahan berhala dan lain sebagainya. Kemudian beliau meletakkan sebuah institusi baru di atas puing-puing reruntuhan paradigma jahiliyah bangsa arab sebelumnya dengan mendirikan negara Islam yang berasaskan aqidah Islam menggantikan institusi politik sebelumnya yang bersifat keqabilahan.
            Ada beberapa langkah perjuangan yang layak kita teladani dari metode Rasulullah dalam melakukan perubahan.[18] Pertama, sebagai tahapan awal Rasulullah telah melakukan pembinaan intensif dengan aqidah dan pemikiran Islam kepada orang-orang terdekat beliau, dan menghimpun mereka dalam sebuah kelompok dakwah yang siap secara bersama untuk memperjuangkan Islam. Tahapan ini beliau lalui dengan upaya kaderisasi secara intensif dengan menyampaikan fakta-fakta kerusakan masyarakat Jahiliyah dan membangun kesadaran terhadap konsepsi dan bangunan pemikiran Islam. Periode dakwah pada tahapan ini merupakan langkah penyiapan sebuah kelompok dengan dasar ideologi Islam guna memasuki pada tahapan dakwah selanjutnya.
            Tahapan awal ini bisa kita teladani dalam konteks kekinian dengan membentuk sebuah organisasi dakwah yang berjuang secara pemikiran, yaitu melakukan proses pembinaan dan kaderisasi sehingga membentuk para pengemban dakwah yang berkepribadian Islam dan siap untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam.
Kedua, tahapan penyampaian dakwah secara terang-terangan dan berinteraksi dengan masyarakat secara langsung guna membentuk opini umum tentang Islam dan menggiring masyarakat menuju kesadaran tentang Islam.
Tahapan kedua ini merupakan tahapan pertarungan pemikiran antara pemikiran yang haq dengan kebatilan sehingga membutuhkan konsistensi dalam pemikiran dan kesabaran menghadap cobaan dan rintangan. Tahapan ini disamping merupakan tahapan perjuangan pemikiran, ia juga disertai dengan perjuangan politik untuk meraih dukungan dari pihak-pihak yang dipandang memiliki kekuatan riil di masyarakat guna menopang tegaknya sebuah institusi politik yang dapat menjalankan dan menerapkan syariat Islam. Pada tahapan ini Rasulullah SAW telah menghasilkan prestasi dakwah yang luar biasa setelah beliau bersama sahabat melaluinya dengan penuh pengorbanan, baik fisik, materi maupun jiwa. Sebuah prestasi yang menjadi jalan pembuka bagi kemenangan dan kemulyaan Islam yaitu peristiwa bai’at aqabah kedua dari para wakil masyarakat Madinah. Sebuah masyarakat yang sudah tertanam dalam diri mereka keimanan dan kesadaran terhadap Islam secara kokoh melalu perantara pembinaan oleh sahabat Rasul Mus}’ab bin Umair selama setahun penuh.[19]
            Teladan dari tahapan kedua perjuangan Rasulullah ini bisa diupayakan dengan menciptakan opini umum tentang pentingnya syariat Islam dan bobroknya system lainnya hingga bisa membangun kesadaran menuju perubahan ke arah Islam. Langkah ini bisa melalui seminar, pengajian-pengajian atau pembinaan umum yang di adakan di tengah-tengah masyarakat secara terbuka dengan konsepsi yang jelas dan tegas.
            Selanjutnya teladan dalam perjuangan politik dapat diupayakan dengan membangun komunikasi ideologis secara intensif untuk mencari dukungan dan pertolongan kepada pihak yang mempunyai kekuatan di masyarakat seperti kalangan militer dan lain sebagainya. Jika kesadaran umum tentang penting dan wajibnya hukum Islam telah merata dalam masyarakat serta ditopang oleh kekuatan militer yang dapat melindunginya, maka berarti dakwah telah memasuki fase ketiga yaitu penerimaan dan pengambil alihan kekuasaan untuk menerapkan sistem Islam
            Ketiga, tahapan penerimaan kekuasaan dan pembentukan institusi politik yang siap menerapkan Islam secara total dan memperjuangkannya ke seluruh dunia dengan kekuatan yang memungkinkan dapat mengakhiri berbagai rintangan fisik yang menghadang di depan dakwah.
            Dari ketiga tahapan dakwah yang merupakan metode Rasulullah dalam melakukan perubahan bisa dijadikan referensi ideologis untuk langlah penerapan hukum Islam menjadi hukum positif dalam mengatur masyarakat dan negara, sehingga konsep rahmatan lil ‘alamin Islam bisa diwujudkan menjadi kenyataan. Fase ketiga ini merupakan fase diterapkannya hukum Islam secara menyeluruh baik menyangkut masalah ibadah, masalah sistem ekonomi, sosial budaya maupun politik. Islam akan menjadi kekuatan ideologis satu-satunya sebagai dasar pembentukan negara.
Penutup
            Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.        Asas dan tujuan penerapan hukum Islam adalah dilandaskan pada aqidah Islam dengan tujuan sebagai manifestasi keimanan kepada Allah SWT hingga dengan hukum Islam konsep rahmatan lil ‘a>lami>n bisa diwujudkan.
2.        Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan proses legislasinya menjadi hukum positif adalah berada ditangan ulil amri atau kepala negara.
3.        Sejumlah problem yang menjadi kendala positivisasi hukum Islam setidaknya terbagi menjadi dua yaitu problem paradigmatik dan problem institusional. Dan cara pemecahannya adalah mengambil sikap keteladanan metode dakwah Rasulullah SAW pada periode Mekah hingga berdirinya negara Islam di Madinah.
Walla>hu a’lamu bi al-s{awa>b
  





[1] Sekularisme merupakan paham yang memisahkan agama dari kehidupan atau memisahkan agama dari negara. Sekularisasi yang berkembang di negara-negara barat menurut banyak ahli bertolak dari ajaran Kristen sendiri. Dalam injil Matius XXII : 21 tercatat ucapan Yesus: “ Urusan Kaisar serahkan kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan. Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, ( Jakarta, Gema Insani, 2008 ), hlm, 87  
[2] Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam; Studi Tentang Transformasi Dan Kebangkitan Umat, cet, 3, ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2010), hlm, 91-92
[3] Ajaran Islam terbagi menjadi dua yaitu aspek fikroh (Konsepsi) dan thariqah (Metode). Kedua komponen tersebut yang membentuk Islam sebagai sebuah ideology yang layak diterapkan. Lihat Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik Dan Spiritual, cet; 2 ( Bogor, Al-Azhar Press, 2007), hlm,  257
[4] Taqiyuddi>n An-Nabha>ni, al-Nidza>m al-Iqtisha>di Fi al-Isla>m, ( Beirut, Dar al-Ummah, 2004 ), hlm. 11
[5] Abdurrahman Al-Maliki, Ahmad Daur, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian Dalam Islam,  terj; Syamsuddin Ramadhan, cet: 2 ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2008), hlm. 12
[6] Abu Hamid Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, ( t.p, Maktabah Syamilah, t.t ) hlm, 76
[7] As-Suyu>thi, al-Ja>mi’ al-Shaghi>r, ( Beirut, Da>r al-Fikr, t.t,), II, hlm, 289
[8] Abu Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, tahqi>q oleh Sami Ibn Muhammad Salamah, cet. 2 ( Beirut, Dar al-Thayyibah, 1999), hlm. 346
[9] Taqiyuddin An-Nabhani, al-Syahshiyah al-Islamiyah, cet.3 ( t.p. 2005 ) hlm. 14-16
[10] As-Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, ( t.p. Maktabah Syamilah, t.t), hlm. 77
[11] Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Sha>lih al-Waki>l, Legislasi Hukum Islam VS Legislasi Hukum Sekular. Terj: Uwais al-Qarni. Cet. 1 ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2006), hlm. 22
[12] ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh ; Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj : Yasin As-Siba’i. cet. 2, ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2008 ) hlm. 352
[13] Muh. Rawwas Qal’ahji, Sirah Nabawiyah; Sisi Politis Perjuangan Rasulullah SAW, cet. IV ( Bogor, Al-Azhar, 2010 ), hlm. 342
[14] Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Sha>lih al-Waki>l, Legislasi Hukum Islam hlm. 57
[15] Taqiyuddin An-Nabhani, Nidza>m al-Isla>m,  cet. VI ( tp. 2001 ) hlm. 110-112
[16] Taqiyuddin An-Nabhani, al-Takattul al-Hizbi>, cet. IV ( tp. 2001) hlm. 3-4
[17] Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam, hlm. 5-7
[18] Mengenai metode Dakwah Rasulullah dalam melakukan perubahan lebih lanjut
lanjut bisa dilihat Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy, Revolusi Islam; Jalan Terang Menuju Perubahan, ( Bogor, Al-Azhar Press, 2011) hlm. 52-68
[19] Muh. Rawwas Qal’ahji, Sirah Nabawiyah, hlm. 133-134



DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta, Gema Insani, 2008
‘Athiyat, Ahmad. Jalan Baru Islam; Studi Tentang Transformasi Dan Kebangkitan Umat, cet, 3,  Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2010
Abdurrahman, Hafidz. Diskursus Islam Politik Dan Spiritual, cet; 2, Bogor, Al-Azhar Press, 2007
An-Nabha>ni, Taqiyuddi>n. al-Nidza>m al-Iqtisha>di Fi al-Isla>m, Beirut, Dar al-Ummah, 2004
Al-Maliki, Abdurrahman. Ahmad Daur, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian Dalam Islam,  terj; Syamsuddin Ramadhan, cet: 2, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2008
Al-Ghazali, Abu Hamid al-Iqtishad fi al-I’tiqad,  t.p, Maktabah Syamilah, t.t
As-Suyu>thi, al-Ja>mi’ al-Shaghi>r, Beirut, Da>r al-Fikr, t.t
Ibnu Katsir, Abu Fida’ Ismail. Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, tahqi>q oleh Sami Ibn Muhammad Salamah, cet. 2,  Beirut, Dar al-Thayyibah, 1999
An-Nabhani, Taqiyuddin al-Syahshiyah al-Islamiyah, cet.3,  t.p. 2005
As-Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, t.p. Maktabah Syamilah, t.t
Ahmad Mufti, Muhammad. dan al-Waki>l, Sami Sha>lih. Legislasi Hukum Islam VS Legislasi Hukum Sekular. Terj: Uwais al-Qarni. Cet. 1,  Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2006
bin Khalil, Atha. Ushul Fiqh ; Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj : Yasin As-Siba’i. cet. 2, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2008
Qal’ahji, Muh. Rawwas Sirah Nabawiyah; Sisi Politis Perjuangan Rasulullah SAW, cet. IV,  Bogor, Al-Azhar, 2010
An-Nabhani, Taqiyuddin Nidza>m al-Isla>m,  cet. VI, tp. 2001
An-Nabhani, Taqiyuddin al-Takattul al-Hizbi>, cet. IV, tp. 2001
An-Nawiy, Fathiy Syamsuddin Ramadhan. Revolusi Islam; Jalan Terang Menuju Perubahan, Bogor, Al-Azhar Press, 2011


Komentar

Postingan Populer