POSITIVISASI HUKUM ISLAM PROBLEM DAN SOLUSINYA
Oleh : Rifqi
Abstrak : Positivisasi hukum Islam hingga saat ini masih mengalami
kendala serius hingga setiap perjuangan untuk menerapkan hukum Islam dalam
konteks negara selalu gagal di tengah jalan. Padahal hukum Islam dilihat dari
asas berfikirnya merupakan tuntutan dari aqidah Islam yang diyakini oleh
mayoritas penduduk negeri ini. Sumber-sumber rujukan hukum Islam juga memiliki
kepastian yang dapat meminimalisir unsur kepentingan politik dalam proses
legislasi hukum karena ia hanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan
proses legislasinya juga tidak rumit sebagaimana yang ada dalam sistem
demokrasi. Legislasi hukum Islam hanya menjadi hak ulil amri atau kepala negara
melalui proses ijtihad yang benar, baik melalui ijtihadnya sendiri maupun
ijtihad dari para mujtahid lain. Kekhawatiran terjadinya pemusatan kekuasaan
dalam masalah legislasi hukum Islam sesungguhnya dapat dijelaskan secara
argumentatif bahwa kepala negara juga memiliki batasan yang harus ia pegang
teguh yaitu setiap keputusan hukum yang telah dikeluarkannya hanya bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadits. Namun idealisasi hukum Islam tersebut masih menghadapi
beberapa kendala diantaranya problem paradigma sekularisme yang meracuni
pemikiran mayoritas kaum muslimin termasuk para elit politik muslim. Dan
kendala kedua adalah problem institusional yaitu adanya institusi politik
demokrasi yang diterapkan di negeri ini yang tentu secara prinsipil tidak
kompatibel dengan Islam. Solusi untuk mengatasi itu semua adalah merujuk pada
metode dakwah Rasulullah pada periode Mekah hingga berdirinya Negara Islam di
Madinah.
Kata Kunci : Positivisasi,
Hukum Islam, Legislasi, Metode Perubahan, Dakwah
Pendahuluan
Perbincangan
mengenai pemberlakuan hukum Islam sebagai dasar Negara telah dimulai sejak
negeri ini mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun arus pemikiran hukum Islam
tersebut terus mendapatkan rintangan dan kendala baik secara politik dan
sosial. Hingga wacana pemberlakuan hukum Islam tinggal sejarah dan sekedar
menjadi perdebatan akademis yang tak kunjung menemukan kata akhir penyelesaian.
Kenyataan
tersebut lebih di akibatkan oleh beberapa faktor yang menjadi penghalang agar
dapat diterapkan dalam kontek keindonesiaan. Kendala pertama adalah minimnya
pemahaman tentang hukum Islam baik secara konsep maun metode implementasinya.
Banyak dikalangan umat Islam terutama para tokoh yang berkompeten dalam kajian hukum
Islam hanya mendasarkan pada konsepsi hukum Islam secara global tanpa ada
rincian secara memadai semisal sekedar menyangkut filosofi dan tata nilai hukum
Islam. Belum menyentuh pada rincian yang dapat implementatif dalam kehidupan
masyarakat maupun negara.
Dari
sisi konsepsi, hukum Islam selama ini hanya dipahami dalam ruang lingkup yang
terlalu sempit. Hanya menyangkut seputar masalah peradilan, itupun saat ini
yang diterapkan adalah menyangkut ahwa>l al-syahshiyah. Pemahaman
tentang hukum Islam belum sampai pada seluruh problematika kehidupan manusia semisal
menyangkut masalah sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Hingga pada
gilirannya hukum Islam dianggap bukan solusi bagi segala permasalahan yang saat
ini terus mendera negeri ini semisal masalah korupsi yang terus menggurita. Problem
ekonomi seperti kemiskinan dan pengangguran. Masalah sosial seperti semakin
meningkatnya kriminalitas dan lain sebagainya.
Kendati
saat ini di beberapa perguruan tinggi Islam telah dibuka berbagai jurusan dengan
konsentrasi syariah dalam bidang ekonomi maupun politik Islam, namun sejauh
yang kita lihat belum dapat menumbuhkan kesadaran politik di kalangan umat
Islam akan penting dan mendesaknya pemberlakuan hukum Islam dalam konteks kenegaraan.
Ilmu-ilmu syariah yang didapatkan diperguruan tinggi hanya merupakan wacana
akademis yang tidak memiliki daya dorong kepada mahasiswa untuk memulai proses
perubahan menuju tegaknya syariah Islam.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, maka kiranya dipandang mendesak untuk menggagas problem
yang mengitari di seputar positifisasi hukum Islam dan bagaimana cara
memecahkannya hingga kedepan syariah Allah SWT yang diyakini akan membawa
rahmat bagi alam semesta dapat diwujudkan menjadi kenyataan.
Asas
dan Tujuan Hukum Islam
Setiap
hukum manapun pasti memiliki asas yang mendasari setiap perumusan maupun
penetapannya. Asas inilah yang menjadi kerangka pemikiran dalam setiap
penetapan sebuah hukum. Dengan demikian jika kita mengkaji setiap penetapan hukum
tertentu maka asas yang melandasinya juga harus dapat dipahami agar orientasi
penetapannya dapat dijangkau dan di analisis.
Hukum
yang berkembang dan sedang diterapkan saat ini, terutama di negeri-negeri Islam
adalah hukum yang didasarkan pada falsafah dan cara pandang yang tidak berasal
dari aqidah Islam, namun ia berasal dari paradigma sekularisme[1]
yang berkembang di negara-negara barat. Sehingga di dalam penetapannya tidak
dengan sengaja atau dengan keseriusan menjadikan agama sebagai rujukan.
Akhirnya hukum tunduk pada relatifitas berdasarkan kondisi sosial dan tuntunan
zaman. Kenyataan demikian disebabkan karena hukum yang berkembang di negara-negara
barat adalah dibangun berdasarkan landasan paradigma untuk menjamin asas kebebasan.
Paradigma kebebasan ini kemudian terbagi menjadi empat, yaitu kebebasan
berpendapat, kebebasan kepemilikan, kebebasan ber aqidah atau kebebasan
berfikir dan kebebasan berkeperibadian.[2] Berdasarkan
asas kebebasan tersebut, hukum dibangun dan dirumuskan, sehingga ia tidak
memiliki prinsip yang tetap dan permanen.
Berbeda
halnya dengan hukum Islam, ia memiliki prinsip dan konsep yang jelas untuk
menjawab seluruh problematika yang dihadapi oleh seluruh manusia, baik
menyangkut masalah sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Islam telah
menempatkan seluruh problem yang dihadapi oleh manusia sebagai problem
kemanusiaan sehingga hukum memiliki konsepsi yang bersifat universal dan selalu
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Hal itu disebabkan karena asas
yang melandasi pemberlakuan hukum Islam didasarkan pada asas yang tetap yaitu
berlandaskan aqidah Islam.
Asas
aqidah Islam mengharuskan manusia tunduk dan patuh terhadap segala ketentuan
dan ketetapan yang Allah berikan. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا
مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا ) ألاحزاب : 36)
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata”.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ
إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (النور : 51)
“ Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka diseru
kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.
"Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.”
Tuntutan untuk mematuhi segala ketentuan Allah SWT juga
mesti bersifat komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya terbatas
pada masalah ibadah ritual saja. Namun harus mencakup segala dimensi kehidupan
seperti masalah ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Islam telah memberikan
solusi dalam setiap problem kehidupan manusia dengan sempurna dan menyeluruh
sebagaimana firman Allah SWT :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (النحل :
89)
“Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.”
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا...(
الما ئدة : 3)
“Pada hari Ini Telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Berdasarkan asas berfikir tersebut, maka bagi seorang
muslim dituntut untuk selalu terikat dengan apa yang diperintah oleh Allah dan
apa saja yang dilarang oleh-Nya. Perintah dilaksanakan dengan penuh keimanan
dan keikhlasan. Larangan dijauhi dengan tulus atas dasar pengabdian kepadanya.
Oleh karena itu penerapan hukum Islam dalam seluruh sendi kehidupan manusia
bukan sekedar termotivasi oleh tujuan rahmatan lil ‘a>lami>n, namun merupakan manifestasi dari keimanan kepada Allah SWT.
Peran Negara Dalam Pemberlakuan Hukum Islam
Islam yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad SAW bukan sekedar agama yang mencakup
nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup yang harus dijadikan sandaran oleh umat
Islam. Namun lebih daripada itu ia menjadi sekumpulan hukum yang harus
diterapkan dalam kehidupan masyarakat sebagai hukum positif. Hal tersebut nampak
dari keseluruhan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits yang tidak
sekedar bersifat konsepsi namun juga mencakup penjelasan metodologis untuk
mengimplementasikan konsep tersebut.[3]
Misalnya perintah Allah untuk selalu mencari rizki yang halal lagi baik sebagai
salah satu konsepsi dalam Islam, maka pada sisi yang lain Allah juga menetapkan
sangsi bagi yang melakukan pelanggaran terhadap konsepsi tersebut semisal
hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian dan lain sebagainya. Contoh lainnya
ketika Allah menetapkan sebuah konsepsi untuk memastikan pemerataan ekonomi di
tengah masyarakat sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ
الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ( الحشر : 7)
“ Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu”.
Maka Islam juga menetapkan
metode pendistribusiannya agar asas pemerataan ekonomi tersebut menjadi
kenyataan, seperti perintah untuk mengambil harta zakat bagi orang-orang yang
mampu dan mendistribusikannya kepada delapan golongan yang telah disebutkan di dalam
Al-Qur’an. Disamping itu, dalam rangka menjamin pemerataan kekayaan dan
keadilan ekonomi, Islam telah membagi tata cara kepemilikan harta menjadi tiga
yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.[4]
Dalam masalah sosial semisal menyangkut konsepsi yang
mengatur tata pergaulan di tengah masyarakat, seperti konsep pergaulan antara
laki-laki dan perempuan. Islam juga menetapkan metode praktis agar konsep
tersebut bisa terwujud menjadi kenyataan dan menetapkan beberapa sangsi bagi
setiap penyimpangan terhadapnya seperti hukuman cambuk bagi pelaku perzinahan.
Demikian pula masalah sosial yang terkait dengan wilayah
jaminan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Islam juga menetapkan beberapa
sangsi bagi tindakan kriminal yang dapat mengganggu keamanan seperti hukuman qisha>sh bagi pelaku pembunuhan dan lain sebagainya. Jadi semua hukum Islam
yang mengatur kehidupan seorang muslim baik itu menyangkut masalah ibadah yang
bersifat vertikal kepada Allah maupun yang bersifat horizontal mengenai
hubungan manusia dengan manusia lainnya memiliki seperangkat sistem sangsi ( ‘uqu>bat) yang terbagi
menjadi empat yaitu hudu>d, jina>yah, ta’zi>r dan mukha>lafat[5]
Hukum-hukum Islam yang terkait dengan aspek metodologi
praktis tersebut membutuhkan sebuah institusi untuk melaksanakan dan
menerapkannya. Sehingga semua ajaran Islam bisa terwujud menjadi kenyataan.
Dalam kajian fiqh Islam politik, institusi yang menerapkkan hukum Islam menjadi
hukum positif tersebut adalah negara yang dipimpin oleh seorang imam atau
kepala negara. Dengan demikian peran negara dalam Islam amat sangat penting
agar seluruh konsepsi Islam bisa diterapkan. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa
antara kekuasaan (negara) dengan agama adalah dua hal yang tidak bisa di
pisahkan. Agama adalah pondasi bagi sebuah negara, sedangkan negara berfungsi
untuk menjaga keberlangsungan agama tersebut.[6]
Dalam banyak hadits juga disebutkan tentang peran seorang
imam atau kepala negara dalam mengemban amanah untuk melayani kepentingan
rakyat dan melindungi umat Islam. Diantaranya adalah :
كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ : فَالْاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ.
“ Kalian semuanya adalah penanggung jawab atas kepemimpinannya;
Dan seorang pemimpin adalah penanggung jawab dan ia akan dimintai pertanggung
jawaban atas kepemimpinannya. ( Hadits riwayat Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu Umar ).[7]
Oleh karena itu,
penerapan hukum Islam menjadi hukum positif memerlukan peran negara sebagai
institusi pelaksananya. Hubungan antara negara dengan agama dalam konteks hukum
Islam adalah hubungan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan
Islam tanpa negara hanyalah menjadi agama ritual yang bersifat personal bagi
para pemeluknya. Dan itu bertentangan dengan sejarah risalah yang telah dibawa
oleh Rasulullah SAW sebagai nabi sekaligus sebagai pemimpin negara di Madinah.
Dimana kepemimpinan beliau sebagai kepala negara kemudian dilanjutkan oleh para
Khulafa> al-Ra>syidi>n setelah beliau wafat.
Sumber-sumber Hukum
Islam
Layaknya sebagai hukum
positif yang akan diberlakukan oleh sebuah Negara, maka hukum Islam juga harus
memiliki kepastian mengenai sumber-sumber hukum yang akan menjadi rujukan bagi
Negara. Jika demokrasi mendasarkan sumber hukumnya pada kehendak rakyat melalui
mekanisme representasi para wakil rakyat di parlemen, maka hukum Islam hanya
bersumber dari nash-nash syara’ yang telah ditetapkan oleh Islam, yaitu
Al-Qur’an, Hadits, ataupun dari sumber yang telah ditunjukkan oleh keduanya
semisal ijma’ sahabat maupun qiya>s syar’i.
Tuntutan untuk hanya merujuk kepada sumber-sumber syari’at
tersebut merupakan konsekuensi dari keimanan kepada Allah SWT. Seorang muslim
tidak diperkenankan mengambil atau mengadopsi hukum lain selain hukum Islam
dalam mengatur perilaku dalam hidupnya, termasuk dalam urusan pengaturan
masyarakat dan negara. Ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا
بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا ( النساء : 60)
“Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim
kepada thaghut, padahal mereka Telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan
syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya".
Ibnu Katsir ( 700 -774 H.) menjelaskan ayat ini dengan
menceritakan sebab turunnya ayat bahwa seorang muslim munafik dari kalangan anshor
telah menolak berhukum kepada hukumnya Rasulullah dan menampakkan
ketidakridhaannya terhadap putusan beliau mengenai persengketaannya dengan
seorang Yahudi. Kata Thaghut yang terdapat pada ayat tersebut dijelaskan
sebagai hukum yang tidak berasal dari kitabullah dan sunnah RasulNya.[8]
Dari pengertian ayat tersebut seorang muslim diwajibkan
terikat hanya kepada hukum Islam dan dilarang tegas untuk berhukum kepada
selainnya dalam penyelesaian masalah dan perselisihan yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat.
Proses Dan Metode Legislasi Hukum Islam
Proses legislasi dalam
pandangan hukum Islam adalah berarti upaya untuk menggali dan mengadopsi hukum
Islam kemudian dijadikan sebagai perundang-undangan untuk mengatur masyarakat
atau negara. Namun sebelum jauh membahas tentang proses legislasi tersebut, ada
hal yang harus diperhatikan menyangkut paradigma yang mendasari aspek legislasi
hukum tersebut, yaitu pertama, bahwa hak untuk membuat hukum hanyalah
milik Allah SWT, manusia tidak punya hak untuk membuat keputusan hukum. Dengan
demikian dalam kaitan ini dipertegas bahwa kedaulatan berada di tangan syara>’ saja. Sementara kedudukan
manusia hanya sebagai pihak yang berupaya memahami apa yang telah ditunjukkan
oleh hukum syara>’.
Paradigma ini
tentu berbeda secara diametral dengan sistem demokrasi yang menempatkan
kedaulatan berada ditangan rakyat, sehingga dalam perumusan undang-undang
didasarkan kepada kehendak dan aspirasi rakyat melalui para wakilnya dalam sidang
parlemen. Dalam sistem demokrasi yang memiliki otoritas untuk menetapkan baik
buruknya sesuatu adalah diberikan secara bebas kepada akal manusia. Akal
dipandang mampu menjangkau segala sesuatu yang dapat mendatangkan kemaslahatan
bagi semua. Sedangkan dalam pandangan Islam akal hanya berfungsi untuk mengkaji
dan memahami petunjuk tentang baik buruknya sesuatu atau perbuatan sesuai
dengan apa yang telah ditentukan oleh syara>’. Memang benar bahwa akal dapat
menjangkau baik atau buruknya sesuatu dari fakta empiris yang bersesuaian
dengan kecenderungan manusia dan fitrohnya seperti pandai itu baik, bodoh itu
buruk, mencuri hak orang lain itu buruk dan menolong orang yang mendapatkan
kecelakaan itu baik. Namun pada sisi apakah perbuatan itu mendapat ridha dan
pahala Allah serta apakah mendapat siksaNya, maka akal tidak akan dapat
menjangkaunya.[9] Dengan demikian
keputusan hukum untuk memberikan penilaian baik buruknya sesuatu hanyalah hak
Allah. Oleh karena itu syariat Islamlah yang mesti dijadikan sebagai patokan
bagi perundang-undangan untuk mengatur masyarakat maupun negara.
Kedua, setelah
memahami bahwa hukum hanyalah hak Allah, maka selanjutnya dalam rangka
menerapkan atau mengamalkan hukum tersebut, manusia telah diperintahkan oleh
Allah untuk merujuk pada ketentuan yang telah ditetapkanNya. Dan melarang
melakukan satu tindakan apapun kecuali setelah mengetahui hukumnya. Allah SWT
berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya”. (
QS: Al-Isra’ : 36 )
Rasulullah SAW juga bersabda
:
إِذَا
حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ
فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
“Jika seorang hakim memutuskan perkara,
lalu ia berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala, dan jika ia
memutuskan perkara lalu berijtihad kemudian salah maka baginya satu pahala”.[10]
Terkait
dengan hadits ini, juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin
Jabal ke Yaman untuk menjadi Qadhi disana. Kemudian Rasulullah bertanya
kepadanya: Bagaimana engkau menetapkan hukum jika ada masalah yang harus engkau
hukumi? Mu’adz menjawab: “ Aku akan memutuskan hukum berdasarkan apa yang telah
ditetapkan dalam kitab Allah. Rasulullah SAW bertanya lagi. Jika engkau tidak
mendapatkannya dalam kitab Allah? Mu’adz kemudian menjawab: “Saya akan
berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya lagi: Jika
tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah maupun dalam kitab Allah? Mu’adz
menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan mengerahkan segenap
upayaku. Maka Rasulullah SAW bersabda : “ Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan petunjuk pada utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhai oleh
Rasulullah.[11]
Ayat
maupun Hadits di atas menegaskan bahwa ketika kita mengamalkan atau memutuskan
hukum dalam penyelesaian problem kehidupan, maka haruslah merujuk pada petunjuk
Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah SAW. Proses
penggalian dan pemahaman terhadap nash syara’ tersebut disebut sebagai proses
ijtihad. Ijtihad merupakan upaya mengerahkan
segenap kemampuan dalam rangka menggali hukum syara’ dengan dugaan kuat bahwa
hal itu adalah hukum Allah hingga pada batas ia merasa tidak mampu lagi berbuat
lebih dari apa yang telah diusahakannya.[12] Dan
hal ini adalah perkara penting yang sudah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam
hadits diatas.
Atas dasar itu proses
legislasi hukum Islam tentu didahului oleh proses ijtihad bagi orang-orang yang
sudah mampu kemudian hasil istimbathnya akan dijadikan sebagai hukum yang
mengatur kehidupan masyarakat maupun negara. atau dengan kata lain konsepsi
hukum yang telah digali oleh seorang mujtahid akan menjadi perundang-undangan
yang siap untuk diterapkan.
Namun permasalahan
selanjutnya dalam proses legislasi hukum untuk sampai menjadi hukum positif
bagi negara, siapakah yang berhak untuk merumuskan dan menetapkannya? Apakah hak
tersebut diserahkan kepada para anggota legislatif sebagaimana yang ada dalam
system demokrasi, atau sebuah lembaga yang ditunjuk oleh negara untuk
menetapkannya sebagaimana peran wila>yatul faqi>h dalam sistem
kenegaraan Iran, atau itu hanya menjadi hak bagi kepala negara atau seorang
imam. Untuk menjawab semua itu, kita harus merujuk pada praktek kepemimpinan
negara sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau
memimpin negara di Madinah atau para khulafa> al-ra>syidi>n sebagai penerus beliau.
Jika diamati dengan seksama sirah nabawiyah dan praktek
kepemimpinan para khulafa> al-ra>syidi>n maka akan didapatkan bahwa
hak legislasi hukum Islam hanya berada ditangan kepala negara atau ulil amri.
Hal itu dapat disimpulkan ketika Rasulullah SAW memutuskan untuk menjalin
hubungan damai melalui perjanjian Hudaibiyah dengan para kafir Quraisy. Beliau
memutuskan sendiri karena hal itu merupakan petunjuk dari Allah SWT tanpa
memperhatikan penolakan kaum muslimin atas perjanjian tersebut[13].
Demikian pula apa yang dilakukan oleh Abu Bakar As-Shiddiq ketika mau
memutuskan untuk memerangi orang-orang yang murtad, orang-orang yang menolak
membayar zakat dan orang yang mengaku sebagai nabi palsu. Semula sejumlah para
sahabat tidak sepakat atas keputusan Abu Bakar, namun beliau meneguhkan
keputusannya dan meyakinkan kebijakannya tersebut.
Keputusan para khalifah setelah Abu bakar juga menunjukkan
demikian, kendati khalifah bisa jadi meminta pendapat hukum terhadap para
mujtahid tentang berbagai persoalan yang tidak dapat dipecahkannya sendiri.
Namun keputusan legislasi tetap berada di tangannya, baik berdasarkan
ijtihadnya sendiri maupun hasil ijtihad dari mujtahid lainnya.
Fakta tersebut diperkuat dengan wajibnya taat terhadap ulil
amri sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ ( النساء : 59)
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu”.
Kewajiban taat terhadap ulil amri yang disebutkan dalam ayat
tersebut menegaskan bahwa otoritas kepemimpinan dalam sebuah negara hanya ada
pada satu orang yaitu ulil amri dengan mendasarkan pada kitabullah dan sunnah
Rasulullah.
Namun demikian, kepemimpinan kepala
negara atau ulil amri tentu tidak mutlak sesuai dengan hasrat kekuasaan sang
penguasa, ia juga harus tunduk terhadap hukum Allah. Artinya bahwa setiap
keputusan hukum yang ia tetapkan haruslah sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan oleh syara’ atau tidak bertentangan dengan ketentuan syara’.
Keputusan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam saja yang wajib ditaati.
Sedangkan apabila ada keputusannya menyalahi hukum Islam maka ia tidak wajib di
taati, bahkan harus di ingkari dan pada saat itu umat Islam wajib menasehati
dan meluruskannya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
اَفْضَلُ
الجِهَادِ كَلِمَةُ الحَقِّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
“Paling utamanya jihad adalah
menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim”
Berdasarkan hal itu, maka perkara
legislasi hukum Islam hanya ada ditangan para pemimpin negara dengan standard
harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum syara’ dalam wilayah yang
menjadi wewenangnya sebagai kepala negara.
Berkaitan dengan itu, apa yang saat
ini ada dalam sistem demokrasi dengan konsep pemisahan kekuasaan yaitu
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif sesungguhnya merupakan gagasan
dari Montesquieu yang bertolak dari traumatik sejarah gelap eropa, dimana
kekuasaan berpusat pada kalangan gerejawan sehingga memberikan peluang dominasi
dan tirani kekuasaan. Oleh sebab itu harus dibangun kekuasaan yang berimbang
dan mencegah dari kekuasaan tunggal yang rentan dominatif dan bersikap
sewenang-wenang.[14]
Hal itu dapat dipahami karena dalam
sistem demokrasi dengan konsep pemisahan
kekuasaannya, hukum yang akan dirumuskan dan ditetapkan masih belum ada
kejelasan karena bersifat fleksibel dan relatif sesuai dengan rasionalitas manusia.
Dalam keputusannya manusia bisa menetapkannya sesuai dengan kepentingannya
tanpa ada batasan yang pasti sehingga pemusatan kekuasaan berpotensi
menciptakan kekuasaan dzalim dan bersikap sewenang-wenang.
Kendati pemisahan kekuasaan dalam
sistem demokrasi dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjadi
dominasi, namun yang sering terjadi justru adalah kompromi di antara para elit
penguasa tersebut untuk melanggengkan hasrat dan kepentingan kekuasaannya. Atau
malah saling melakukan politik penyanderaan ketika salah satu lembaga penguasa tersebut
sedang terancam kepentingan politiknya.
Fenomena yang terjadi pada sistem demokrasi tersebut tidak berlaku bagi sistem
hukum Islam. Kepala negara juga terikat dengan syariat Islam dan tidak boleh menyalahinya. Setiap
bentuk penyimpangan terhadap hukum Islam akan dengan mudah dapat diketahui oleh
umat Islam sehingga hal itu dapat di kontrol dan diluruskan. Mekanisme kontrol ini
bisa melalui peran majelis
umat sebagai lembaga representatif dari para tokoh masyarakat untuk melakukan
hak menyampaikan pendapat dan koreksi terhadap penguasa.[15]
Berdasarkan
landasan pemikiran demikian, legislasi hukum Islam menjadi hukum positif tidak
akan terbelenggu oleh tendensi kepentingan politik penguasa sekaligus juga
tidak terjebak pada arena konstelasi para elit politik sebagaimana proses
legislasi hukum dalam sistem demokrasi. Hukum Islam ketika dirumuskan menjadi
hukum perundang-undangan bagi negara akan sangat mudah untuk diterapkan karena
proses legislasinya tidaklah rumit. Kepala negara atau seorang imam akan
melakukan pengkajian hukum terhadap sumber hukum yang sudah pasti melalui
metode ijtihad yang s}ahih. Seandainya hasil legislasi hukum oleh
negara dipandang lemah dari sisi dalil
yang digunakan atau metode istimba>th yang dipakai kurang kuat,
Majelis Umat bisa mengoreksinya dan mengajukan hasil ijtihad baru yang
dipandang lebih kokoh dari sumber hukum yang sudah pasti pula.
Demikianlah
proses dan metode legislasi dalam sistem hukum Islam yang dapat diterapkan
sebagai sistem alternatif untuk menggantikan sistem hukum buatan manusia yang
tentu banyak kelemahan karena kelemahan manusia itu sendiri. Allah SWT
berfirman:
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ (المائدة : 50)
“Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin”
Problem Positivisasi Hukum Islam
Perdebatan tentang pentingnya syariat Islam untuk
diterapkan menjadi dasar perundang-undangan negara telah dimulai sejak
Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya. Namun hingga saat ini syariat
Islam yang di idamkan tersebut belum juga bisa diterapkan bahkan nyaris tinggal
wacana kendati partai politik yang berbasis Islam cukup reperesentatif dari
sisi perolehan suara. Ditambah lagi mayoritas penduduk Indonesia adalah umat
Islam, sehingga jika menggunakan logika demokrasi selayaknya hukum Islam sudah
bisa diterapkan.
Kenyataan tersebut disebabkan oleh
problem krusial yang hingga saat ini belum tergarap secara serius. Diantara
beberapa problem yang menghadang positivisasi hukum Islam agar bisa diterapkan
setidaknya ada dua kategori. Pertama, problem paradigmatik dan kedua adalah
problem institusional.
Problem paradigmatik adalah problem pemikiran
yang saat ini menjangkiti kaum muslimin. Ini menjadi masalah serius karena umat
akan teracuni pemikiran asing yang menghalangi mereka untuk berfikir jernih
sesuai dengan aqidah yang diyakini yaitu aqidah Islam. Aqidah Islam mestinya
menjadi landasan berfikir umat dalam menyelesaikan problem kehidupan mereka.
Namun aqidah ini telah bercampur dengan berbagai pemikiran asing tanpa
disadari. Diantara pemikiran yang paling dominan melanda umat Islam adalah
sekularisme, yaitu suatu pandangan yang memisahkan antara agama dengan
kehidupan, antara wilayah dunia yang profan dengan wilayah akhirat yang
transendental. Agama hanya dianggap sebagai ajaran yang mengatur kehidupan
individual yaitu menyangkut masalah ibadah ritual dan sedikit masalah
moralitas. Sementara dalam kaitan membangun masyarakat dan negara dianggap
bukan wilayah agama namun diserahkan pada otoritas dan kreatifitas manusia.
Selanjutnya paradigma sekularisme
ini telah memunculkan ide bahwa agama tidak boleh intervensi dalam urusan
negara dan negara juga tidak boleh campur tangan dalam urusan agama, sehingga
pada gilirannya lahirlah generasi yang memiliki keahlian dalam bidang agama
namun tidak mempunyai skill dalam urusan negara. Sebaliknya muncul pula para
negarawan yang kosong dari pemahaman agama.
Pihak-pihak yang berupaya
menjembatani ketegangan antara agama dengan negara mencoba memasukkan unsur
agama dalam negara sebatas pada prinsip nilai dan moralitas. Mereka
menyatakatan bahwa nilai-nilai Islam bisa menjadi standard untuk mengatur
negara ini dari sisi substansialnya bukan pada formalitas agama itu sendiri.
Namun upaya ini juga bisa dinyatakan gagal karena formulasi antara substansi
Islam dengan sistem yang masih dilandasi oleh semangat sekularisme tidak pernah
ada wujudnya dalam kenyataan. Justru nilai-nilai Islam semakin tergerus dan tak
pernah secara serius menjadi landasan bagi negara. Hal itu wajar karena dalam
Islam tidak pernah ada kompromi antara haq dan kebatilan. Islam tidak akan
pernah bisa menyatu dengan sistem yang bukan berasal dari sistem Islam itu
sendiri, karena sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya bahwa antara konsepsi
dengan aspek metode praktis dalam Islam adalah dua komponen yang membentuk
kekuatan ideologis.
Problem paradigma seperti ini bukan
hanya melanda umat Islam secara umum namun sudah menjangkiti para politisi
Islam yang berjuang atas nama Islam. Tanpa sadar mereka berupaya membalut
sistem sekularisme yang diterapkan ini dengan kemasan Islam. Hal itu di
akibatkan karena para politisi muslim yang tergabung dalam gerakan ataupun
partai politik Islam menurut Taqiyuddin An-Nabhani mengalami kegagalan dalam
perjuangan menegakkan hukum Islam disebabkan empat faktor[16]:
Pertama, gerakan politik yang
mereka perjuangkan tegak diatas pemikiran yang masih global tanpa ada batasan
yang jelas sehingga pemikirannya menjadi kabur dan bias. Kedua, gerakan
politik tersebut belum memiliki aspek thariqa>h (metodologi
praktis) dalam menjalankan konsepsi Islam sehingga perjuangannya simpang siur
dan tidak memiliki orientasi yang jelas. Ketiga, para politisi yang yang
ada dalam gerakan maupun partai politik tersebut belum memiliki kehendak dan
kesadaran yang benar, mereka hanya bermodal semangat saja. Dan keempat,
para politisi tersebut belum memiliki ikatan yang benar diantara mereka selain
hanya rumusan program aktifitas dan slogan-slogan politik.
Demikianlah problem paradigmatik
yang saat ini masih melanda dan meracuni pemikiran umat Islam sehingga harapan
umat Islam guna meraih kemulyaan tak kunjung dapat diraih dengan tegaknya
syariat Islam. Oleh karena itu solusi untuk menuntaskan problem tersebut
merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditunda-tunda sehingga kedepan umat
Islam kembali dapat meraih derajat khaira ummah sebagaimana
ditegaskan di dalam Al-Qur’an.
Problem kedua yang tak kalah
krusialnya dengan yang pertama adalah problem institusional. Problem ini adalah
problem institusi politik yang diterapkan di negeri ini, termasuk hampir
seluruh negeri-negeri
Islam. Dengan demikian perjuangan penegakan syariat Islam tidak akan dapat
diterapkan secara sempurna jika masih berharap pada sistem politik yang saat
ini mendasari negeri ini. Sistem politik demokrasi yang diterapkan negeri ini
dengan asas sekularismenya tidak akan pernah kompatibel dengan Islam. Oleh
karena itu institusi politik demokrasi berikut struktur serta varian-varian
yang ada di dalamnya juga harus dapat dipecahkan sehingga sedapat mungkin bisa
mewujudkan institusi baru dengan falsafah dan asas baru yaitu falsafah dan asas
yang dibangun berdasarkan aqidah Islam.
Perubahan institusi politik sebagai
alternatif baru bagi tegaknya hukum Islam bukan ditujukan untuk merombak
institusi sebelumnya secara destruktif, karena problem institusional yang
menjadi kendala bagi positivisasi hukum Islam masih ada kaitannya dengan
problem paradigmatik yang telah digagas sebelumnya. Artinya bahwa perubahan
institusi politik tidak akan memiliki makna signifikant jika perubahan
paradigma ke arah Islam belum terwujud menjadi kenyataan. Karena perubahan
hakiki untuk meraih kebangkitan umat Islam dengan tegaknya hukum Islam secara
sempurna hanya dapat diraih dengan perubahan pemikiran yaitu berupa kesadaran
politik terhadap fakta kebobrokan sistem yang berlangsung saat ini dan
kesadaran untuk menggantinya dengan sistem baru yang berasal dan digali dari
konsep Islam. Dua kesadaran antara fakta yang rusak dan kesadaran terhadap
fakta penggantinya inilah yang harus dimiliki oleh umat Islam guna
mengarahkannya dalam melakukan langkah-langkah perubahan yang benar.[17]
Problem
paradigmatik maupun problem institusional inilah yang membelenggu umat Islam
sehingga perjuangan untuk menegakkan hukum Islam menjadi hukum positif di negri
ini mengalami kendala serius dan membutuhkan solusi mendasar untuk
mengatasinya.
Langkah-langkah
Memantapkan Positivisasi Hukum Islam
Kendala
paradimatik maupun institusional yang menjerat umat Islam untuk menegakkan
hukum Islam sesungguhnya bukan perkara yang sama sekali baru, namun hal itu
telah berakar sejak Islam pertama kali di perjuangkan oleh Rasulullah SAW pada
masa jahiliyah di wilayah dan pada periode dakwah di Mekah. Dengan demikian
langkah-langkah yang harus diambil dalam masalah tersebut adalah merujuk pada
metode perjuangan Rasulullah untuk meruntuhkan paradigma jahiliyah di satu sisi
seperti kebanggaan terhadap kehormatan kabilah, fanatisme terhadap doktrin
nenek moyang dengan bentuk penyembahan berhala dan lain sebagainya. Kemudian
beliau meletakkan sebuah institusi baru di atas puing-puing reruntuhan
paradigma jahiliyah bangsa arab sebelumnya dengan mendirikan negara Islam yang
berasaskan aqidah Islam menggantikan institusi politik sebelumnya yang bersifat
keqabilahan.
Ada
beberapa langkah perjuangan yang layak kita teladani dari metode Rasulullah
dalam melakukan perubahan.[18] Pertama,
sebagai tahapan awal Rasulullah telah melakukan pembinaan intensif dengan
aqidah dan pemikiran Islam kepada orang-orang terdekat beliau, dan menghimpun
mereka dalam sebuah kelompok dakwah yang siap secara bersama untuk
memperjuangkan Islam. Tahapan ini beliau lalui dengan upaya kaderisasi secara
intensif dengan menyampaikan fakta-fakta kerusakan masyarakat Jahiliyah dan
membangun kesadaran terhadap konsepsi dan bangunan pemikiran Islam. Periode
dakwah pada tahapan ini merupakan langkah penyiapan sebuah kelompok dengan
dasar ideologi Islam guna memasuki pada tahapan dakwah selanjutnya.
Tahapan
awal ini bisa kita teladani dalam konteks kekinian dengan membentuk sebuah
organisasi dakwah yang berjuang secara pemikiran, yaitu melakukan proses
pembinaan dan kaderisasi sehingga membentuk para pengemban dakwah yang
berkepribadian Islam dan siap untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam.
Kedua,
tahapan penyampaian dakwah secara terang-terangan dan berinteraksi dengan
masyarakat secara langsung guna membentuk opini umum tentang Islam dan
menggiring masyarakat menuju kesadaran tentang Islam.
Tahapan kedua ini merupakan tahapan
pertarungan pemikiran antara pemikiran yang haq dengan kebatilan sehingga
membutuhkan konsistensi dalam pemikiran dan kesabaran menghadap cobaan dan
rintangan. Tahapan ini disamping merupakan tahapan perjuangan pemikiran, ia
juga disertai dengan perjuangan politik untuk meraih dukungan dari pihak-pihak
yang dipandang memiliki kekuatan riil di masyarakat guna menopang tegaknya
sebuah institusi politik yang dapat menjalankan dan menerapkan syariat Islam.
Pada tahapan ini Rasulullah SAW telah menghasilkan prestasi dakwah yang luar
biasa setelah beliau bersama sahabat melaluinya dengan penuh pengorbanan, baik
fisik, materi maupun jiwa. Sebuah prestasi yang menjadi jalan pembuka bagi
kemenangan dan kemulyaan Islam yaitu peristiwa bai’at aqabah kedua dari para
wakil masyarakat Madinah. Sebuah masyarakat yang sudah tertanam dalam diri
mereka keimanan dan kesadaran terhadap Islam secara kokoh melalu perantara
pembinaan oleh sahabat Rasul Mus}’ab
bin Umair selama setahun penuh.[19]
Teladan dari tahapan kedua
perjuangan Rasulullah ini bisa diupayakan dengan menciptakan opini umum tentang
pentingnya syariat Islam dan bobroknya system lainnya hingga bisa membangun
kesadaran menuju perubahan ke arah Islam. Langkah ini bisa melalui seminar,
pengajian-pengajian atau pembinaan umum yang di adakan di tengah-tengah
masyarakat secara terbuka dengan konsepsi yang jelas dan tegas.
Selanjutnya teladan dalam perjuangan
politik dapat diupayakan dengan membangun komunikasi ideologis secara intensif
untuk mencari dukungan dan pertolongan kepada pihak yang mempunyai kekuatan di
masyarakat seperti kalangan militer dan lain sebagainya. Jika kesadaran umum
tentang penting dan wajibnya hukum Islam telah merata dalam masyarakat serta
ditopang oleh kekuatan militer yang dapat melindunginya, maka berarti dakwah
telah memasuki fase ketiga yaitu penerimaan dan pengambil alihan kekuasaan
untuk menerapkan sistem Islam
Ketiga,
tahapan penerimaan kekuasaan dan pembentukan institusi politik yang siap
menerapkan Islam secara total dan memperjuangkannya ke seluruh dunia dengan
kekuatan yang memungkinkan dapat mengakhiri berbagai rintangan fisik yang
menghadang di depan dakwah.
Dari
ketiga tahapan dakwah yang merupakan metode Rasulullah dalam melakukan
perubahan bisa dijadikan referensi ideologis untuk langlah penerapan hukum
Islam menjadi hukum positif dalam mengatur masyarakat dan negara, sehingga
konsep rahmatan lil ‘alamin Islam bisa diwujudkan menjadi kenyataan.
Fase ketiga ini merupakan fase diterapkannya hukum Islam secara menyeluruh baik
menyangkut masalah ibadah, masalah sistem
ekonomi, sosial budaya
maupun politik. Islam akan menjadi kekuatan ideologis satu-satunya sebagai dasar
pembentukan negara.
Penutup
Dari uraian yang telah dikemukakan
di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Asas dan tujuan penerapan hukum Islam adalah dilandaskan
pada aqidah Islam dengan tujuan sebagai manifestasi keimanan kepada Allah SWT
hingga dengan hukum Islam konsep rahmatan lil ‘a>lami>n bisa
diwujudkan.
2.
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan
proses legislasinya menjadi hukum positif adalah berada ditangan ulil amri atau
kepala negara.
3.
Sejumlah problem yang menjadi kendala positivisasi hukum
Islam setidaknya terbagi menjadi dua yaitu problem paradigmatik dan problem
institusional. Dan cara pemecahannya adalah mengambil sikap keteladanan metode
dakwah Rasulullah SAW pada periode Mekah hingga berdirinya negara Islam di
Madinah.
Walla>hu a’lamu bi al-s{awa>b
[1] Sekularisme merupakan paham yang memisahkan agama dari
kehidupan atau memisahkan agama dari negara. Sekularisasi yang berkembang di
negara-negara barat menurut banyak ahli bertolak dari ajaran Kristen sendiri.
Dalam injil Matius XXII : 21 tercatat ucapan Yesus: “ Urusan Kaisar serahkan
kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan. Lihat Syamsuddin Arif, Orientalis
dan Diabolisme Pemikiran, ( Jakarta, Gema Insani, 2008 ), hlm, 87
[2] Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam;
Studi Tentang Transformasi Dan Kebangkitan Umat, cet, 3, ( Bogor, Pustaka
Thariqul Izzah, 2010), hlm, 91-92
[3]
Ajaran Islam terbagi menjadi dua yaitu aspek fikroh (Konsepsi) dan thariqah
(Metode). Kedua komponen tersebut yang membentuk Islam sebagai sebuah
ideology yang layak diterapkan. Lihat Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam
Politik Dan Spiritual, cet; 2 ( Bogor, Al-Azhar Press, 2007), hlm, 257
[4]
Taqiyuddi>n An-Nabha>ni, al-Nidza>m al-Iqtisha>di Fi
al-Isla>m, ( Beirut, Dar al-Ummah, 2004 ), hlm. 11
[5]
Abdurrahman Al-Maliki, Ahmad Daur, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian Dalam
Islam, terj; Syamsuddin Ramadhan,
cet: 2 ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2008), hlm. 12
[7]
As-Suyu>thi, al-Ja>mi’ al-Shaghi>r, ( Beirut, Da>r al-Fikr,
t.t,), II, hlm, 289
[8]
Abu Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, tahqi>q oleh
Sami Ibn Muhammad Salamah, cet. 2 ( Beirut, Dar al-Thayyibah, 1999), hlm. 346
[9]
Taqiyuddin An-Nabhani, al-Syahshiyah al-Islamiyah, cet.3 ( t.p. 2005 )
hlm. 14-16
[10]
As-Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, ( t.p. Maktabah Syamilah, t.t), hlm. 77
[11]
Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Sha>lih al-Waki>l, Legislasi Hukum Islam
VS Legislasi Hukum Sekular. Terj: Uwais al-Qarni. Cet. 1 ( Bogor, Pustaka
Thariqul Izzah, 2006), hlm. 22
[12]
‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh ; Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj
: Yasin As-Siba’i. cet. 2, ( Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2008 ) hlm. 352
[13]
Muh. Rawwas Qal’ahji, Sirah Nabawiyah; Sisi Politis Perjuangan Rasulullah
SAW, cet. IV ( Bogor, Al-Azhar, 2010 ), hlm. 342
[14]
Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Sha>lih al-Waki>l, Legislasi Hukum Islam
hlm. 57
[15]
Taqiyuddin An-Nabhani, Nidza>m al-Isla>m, cet. VI ( tp. 2001 ) hlm. 110-112
lanjut bisa dilihat Fathiy Syamsuddin
Ramadhan An-Nawiy, Revolusi Islam; Jalan Terang Menuju Perubahan, (
Bogor, Al-Azhar Press, 2011) hlm. 52-68
[19] Muh. Rawwas
Qal’ahji, Sirah Nabawiyah, hlm. 133-134
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan
Diabolisme Pemikiran, Jakarta, Gema Insani, 2008
‘Athiyat, Ahmad. Jalan Baru Islam;
Studi Tentang Transformasi Dan Kebangkitan Umat, cet, 3, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2010
Abdurrahman,
Hafidz. Diskursus Islam Politik Dan Spiritual, cet; 2, Bogor, Al-Azhar
Press, 2007
An-Nabha>ni,
Taqiyuddi>n. al-Nidza>m al-Iqtisha>di Fi al-Isla>m, Beirut,
Dar al-Ummah, 2004
Al-Maliki,
Abdurrahman. Ahmad Daur, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian Dalam Islam, terj; Syamsuddin Ramadhan, cet: 2, Bogor,
Pustaka Thariqul Izzah, 2008
Al-Ghazali,
Abu Hamid al-Iqtishad fi al-I’tiqad, t.p, Maktabah Syamilah, t.t
As-Suyu>thi,
al-Ja>mi’ al-Shaghi>r, Beirut, Da>r al-Fikr, t.t
Ibnu
Katsir, Abu Fida’ Ismail. Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, tahqi>q oleh
Sami Ibn Muhammad Salamah, cet. 2, Beirut, Dar al-Thayyibah, 1999
An-Nabhani,
Taqiyuddin al-Syahshiyah al-Islamiyah, cet.3, t.p. 2005
As-Syafi’i,
Musnad al-Syafi’i, t.p. Maktabah Syamilah, t.t
Ahmad
Mufti, Muhammad. dan al-Waki>l, Sami Sha>lih. Legislasi Hukum
Islam VS Legislasi Hukum Sekular. Terj: Uwais al-Qarni. Cet. 1, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2006
bin
Khalil, Atha. Ushul Fiqh ; Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis, terj :
Yasin As-Siba’i. cet. 2, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2008
Qal’ahji,
Muh. Rawwas Sirah Nabawiyah; Sisi Politis Perjuangan Rasulullah SAW,
cet. IV, Bogor, Al-Azhar, 2010
An-Nabhani,
Taqiyuddin Nidza>m al-Isla>m, cet.
VI, tp. 2001
An-Nabhani, Taqiyuddin al-Takattul
al-Hizbi>, cet. IV,
tp. 2001
An-Nawiy,
Fathiy Syamsuddin Ramadhan. Revolusi Islam; Jalan Terang Menuju Perubahan, Bogor,
Al-Azhar Press, 2011
Komentar
Posting Komentar